info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

UAN: Untuk Apa Nyontek?

Rahman Pradana 21 Mei 2011
Masih ingatkah kamu ketika menjalani Ujian Akhir Nasional SD dahulu? Pada zamanku, di tahun 1998, ujian nasional SD masih disebut EBTANAS, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Aku mengerjakan soal-soal EBTANAS di ruang kelas SDN Yapis I Jayapura, Irian Jaya. Sekolah di dasar lembah di pinggir kota. Aku masih bisa mengingat, betapa aku was-was menghadapinya. Semua komik kesukaanku sudah disembunyikan oleh orang tuaku supaya aku bisa belajar dengan baik. Tiada hari tanpa belajar, tiada hari tanpa berdoa. Di hari ujian pun aku gugup dan takut sekali, takut tidak mengerti soal, dan takut salah menjawab. Kawan-kawan sekelaskupun begitu. Beberapa anak terlihat bingung dan berusaha mencari jawaban, entah berusaha mengingat atau bertanya. Tapi kami semua takut ketahuan mencontek. Kami tidak ingin tidak lulus SD karena ketahuan mencontek. Aku tak mengira akan kembali merasakan ujian nasional SD di Indonesia Timur, hanya berbeda pulau. Bedanya adalah aku bukan yang anak mengerjakan soal, tetapi sebagai guru yang membimbing anak itu. Meski ruangan, meja, kursi, pensil, kertas soal dan kertas jawaban tidak begitu berbeda, tapi mengapa bisa begitu berbeda dalam kenyataan. Setiap ujian nasional, murid-murid kelas 6 SD dari 5 desa di pulauku datang ke desa Indong untuk melaksanakan UAN. Mereka datang bersama kepala sekolah, guru dan orang tua mereka. Kepala sekolah dan guru akan menjadi panitia dan pengawas ujian, sedangkan para orang tua menyiapkan makanan untuk semuanya. Ada yang berbeda dari tingkah anak-anak itu dengan tingkah lakuku dulu sehari sebelum ujian berlangsung. Tidak ada kecemasan. Tidak ada anak yang sibuk belajar di kamar. Kebanyakan berjalan2 keliling desa dan bercanda. Termasuk anak-anak desaku. Anak kelas 6 SD Indong selama 1 bulan terahkhir sudah mendapatkan pelajaran tambahan dari wali kelasnya sebagai persiapan ujian. Tapi mengapa mereka bisa terlihat begitu santai? Jawabannya kutemukan di hari ujian. Aku datang ke sekolah bukan sebagai panitia atau pengawas, sayangnya aku tidak diikutsertakan dalam kepengurusan UAN ini. Aku datang hanya untuk melihat-lihat, membantu menulis berita acara dan mengambil gambar dengan kamera. Namun karena itulah aku bisa melihat banyak hal. Sepintas semua berjalan tertib dan lancar. Selama 3 hari ujian berlangsung tenang. Setiap guru menjalankan tugas mengawas dengan baik. Benarkah begitu? Sejak hari pertama, aku melihat beberapa anak dapat dengan bebas mengobrol selama ujian berlangsung, bahkan saling melihat kertas jawaban masing-masing. Guru pengawasnya? Duduk diam di depan kelas, menulis berita acara, mengerjakan soal ujian, atau sekedar melihat HP. Aku melihat guru-guru lain berpatroli dari kelas ke kelas memeriksa hasil jawaban anak-anak, dan berkata “yang ini C,” “yang ini A.” Aku mendengar dari beberapa anak kalau bahkan ada beberapa guru pengawas yang memberikan kertas kecil berisi jawaban dari soal nomor 1-27. Aku melihat banyak anak yang tidak menandai jawaban di kertas jawaban. Ketika aku tanya mengapa mereka tidak mengisi, mereka menjawab “Kata Bu/Pak A , kalau su tara bisa jawab kase kosong saja.” Selesai ujian aku melihat para guru sibuk “bersembunyi” di kelas mengisi kertas jawaban anak-anak. Bahkan ada yang anak-anak peserta ujian dipanggil kembali ke sekolah dengan membawa pensil 2B untuk mengulang mengisi kertas jawaban komputer dengan jawaban yang sudah disediakan. Anak-anak itu tidak mencontek ketika mengobrol di ujian. Mereka tahu mereka tidak perlu mencontek.Karena jawaban akan segera diberikan sebentar lagi. Apa yang bisa kulakukan? Lapor kepada pemerintah? Para pejabat pemerintah semua ada di sana, dari Camat, Kepala UPTD sampai staf-stafnya. Mereka sibuk bermain domino di bawah pohon dekat sekolah. Fenomena ini sudah menjadi tradisi sejak zaman kakek-nenek mereka. Mungkin orang tua dari anak-anak, bahkan guru dan kepala sekolahnya pun pada waktu kelas 6 SD juga melakukan hal yang sama. Budaya ini didukung oleh segenap guru, kepala sekolah, masyarakat dan istansi pemerintah. Aku bertanya pada beberapa guru dan staf, kebanyakan mengelak pertanyaan itu. “Kita cuma memeriksa dan mengkoreksi biodata yang salah” sudah menjadi standar jawaban. Aku bertanya pada salah seorang mantan kepala sekolah yang menjadi pengawas. Paling tidak beliau menjawab jujur “Kalau tidak lulus, masyarakat akan marah.” Aku hanya bisa bertanya pada anak-anak. Mereka akan dengan jujur dan polos menceritakan kembali semuanya tanpa perasaan bersalah. Seperti itulah UAN yang mereka tahu sejak dulu. Seperti itulah ujian yang diceritakan kakak kelas, orang tua dan guru-guru mereka. Karena itulah mereka tetap santai sebelum UAN, ujian yang seharusnya menentukan nasib mereka setelah 6 tahun belajar. Karena itulah mereka tidak belajar dan tidak berusaha untuk lulus, mereka pasti akan diluluskan. Lalu untuk apa mereka mendapatkan les persiapan ujian? Mungkin lebih tepatnya, untuk apa uang les itu digunakan? Karena itulah masih ada beberapa anak kelas 6 yang masih sulit membaca dan menulis. Sejak kelas 1, mereka tetap naik kelas meski sebenarnya “belum boleh” naik kelas. Para guru tetap menaikkan mereka karena “takut masyarakat marah.” Karena itulah murid-murid SMP dan SMK sekarang menganggap remeh pelajaran dan ujian, pengalaman mereka waktu SD membuat mereka berpikir kalau mereka pasti akan lulus meski tidak belajar. Karena itulah banyak lulusan SMA yang menganggur. Untuk apa berkuliah? Dua belas tahun bersekolah tidak belajar apa-apa. Karena itulah banyak guru yang tidak mengajar, setahun sekali mereka hanya perlu mengisi jawaban di kertas jawaban muridnya dan selesailah tugas untuk “mendidik” anak murid mereka. Karena itulah banyak pegawai pemerintah yang korupsi. Sejak kecil mereka tidak mengenal apa itu “Kejujuran” dan “Usaha.” Dan itulah yang mereka ajarkan kembali kepada anak-anak mereka. Inilah lingkaran setan “pembodohan” yang terjadi di Indonesia, tidak hanya di Maluku, tapi juga di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Inilah wajah pendidikan Indonesia kita tercinta. Aku bukan malaikat. Aku pun pernah mencontek. Aku pun penuh dosa sejak celanaku masih berwarna merah. Tapi paling tidak aku tahu kalau mencontek itu salah. Kalau kita harus jujur. Kalau ketahuan mencontek, kita akan mendapat hukuman. Kalau sebelum ujian harus belajar. Jika tidak belajar, nilai akan jelek. Kalau nilai jelek, bisa tidak naik kelas, atau tidak lulus. Kalau kita harus berusaha supaya berhasil. Rajin pangkal pandai. Hemat pangkal kaya. Sebutkanlah semua kata mutiara itu. Aku diajarkan guru-guruku seperti itu. Aku diajarkan orang tuaku seperti itu. Dulu aku merasa jengah dan malas mendengar mereka, tapi sekarang aku merasa beruntung. Ini adalah etika dan nilai yang seharusnya diwariskan oleh masyarakat kepada anak-anak. Tidak semua anak-anak kita ternyata tidak diajarkan seperti itu. Ini adalah bencana sistemik moral Indonesia. Apa yang harus kulakukan? Aku sudah mencoba memberikan pandanganku kepada semua pranata pendidikan desa. Saat ini kata-kata itu hanya menjadi angin lalu bagi mereka, sebuah lembaran yang hanya dibaca di buku PPKN. Saat ini aku hanya bisa merubah dari murid-murid kelasku. Aku coba berikan contoh “etika” dan “moral” dari kelas 4, meskipun aku bukan orang yang pantas. Berikut berdoa semoga ketika mereka kelas 6 tidak merasakan hal yang sama. Aku akan mencoba mencari jalan lain. Kalau tidak bisa dari bawah, coba dari tengah, dari kanan, dari kiri, atau dari atas. Semoga kau memberikan petunjuk kepadaku ya Allah. Semoga kau menolong bangsaku ini ya Allah.

Cerita Lainnya

Lihat Semua