info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Anak-Anakku Sang Kepala Angin

Rahman Pradana 13 Februari 2011
Masih ingatkah dengan Abule? Putra Ibu Maryam, mama piaraku dulu, bocah berumur 5 tahun yang terkenal nakal di seluruh desa. Selama 2 bulan aku tinggal di rumah Ibu Maryam, aku hanya berhasil mengajari dia dua hal. Mengucapkan Assalamualaikum ketika masuk kamarku, dan bermain bermacam “bongkar pasang” atau puzzle. Suatu hari aku sedang mengajar kelas olimpiade. Abule dan Ikra, tetangganya, tiba-tiba masuk kelas. “Kenapa Abule?”, tanyaku. Ia hanya tersenyum nakal. Aku menjulurkan tangan, meminta tangannya menggenggam tanganku. Dengan malu-malu dan tertawa ia menggenggam tanganku, diikuti dengan tangan Ikra. Aku mengajaknya keluar kelas dan berkata “Jangan masuk dulu ya, Pak Adi sedang mengajar”. “Apa!?” balasnya. Tiba-tiba matanya berbinar, senyum nakalnya merekah, dengan segera ia berlari masuk ke dalam kelas sambil tertawa, berlari kesana-kemari, mengganggu murid-murid yang sedang belajar. Mulutku ternganga. “Apa yang kubilang salah?” pikirku bingung. Perilaku seperti ini tidak hanya terlihat pada anak berumur PAUD di desaku. Salah seorang anak yang ikut serta kelas olimpiade bernama Sahjad Said, biasa dipanggil Awin. Ia duduk di kelas 4 SD, kelas yang aku ajar. Ia anak yang pintar. Tidak ada yang bisa mengalahkan dia dalam minatnya membaca. Hampir setiap hari, siang, sore dan malam, ia datang ke rumah dan membaca segala macam buku yang bisa ia baca. Buku yang paling ia sukai adalah seri ensiklopedi dan pengetahuan alam. Meski tinggi minta membaca, lain halnya dengan minat mencatat, memperhatikan pelajaran, dan mengerjakan PR. Ketika aku menerangkan pelajaran di kelas, ia selalu mengajak teman sebangkunya mengobrol. Ia selalu menjadi sasaran pertanyaan tentang pelajaran jika aku menangkapnya sedang mengobrol, dan ia selalu menjawabnya hanya dengan senyuman sambil menggaruk-garuk kepala. Jika aku meminta murid-murid mencatat, dia salah satu yang sulit mencatat. Kecepatannya menulis sangaaat lambat. Bukan karena ia sulit menulis, tetapi karena ia tidak bisa konsentrasi menulis dan lebih banyak mengobrol. Bahkan ketika duduk paling depan dan aku menulis di papan tulis di depannya. Bagaimana dengan PR? Ia jarang sekali mengerjakan PR. Kalaupun mengerjakan, ia biasanya bohong dan bilang “belum kerja Pak” sambil tersenyum-senyum. Di akhir pelajaran, tiba-tiba ia mengumpulkan PR-nya. Kadang aku tak mengerti mengapa ia melakukannya. Iseng? Ingin melihatku marah? Atau hanya sekedar mencari perhatianku. Rifalci Kisman, biasa dipanggil Pachi. Firja Tuahons, biasa dipanggil Ija. Dua bocah cilik laki-laki dan perempuan ini adalah saudara sepupu yang duduk di kelasku. Banyak persamaan di antara mereka. Orang tua Pachi 6 hari dalam seminggu tinggal di kebun, meninggalkannya bersama kakak-adiknya di rumah. Ayah Ija tinggal di Sorong, Papua, sedangkan ibunya di Tobelo, Halmahera Timur. Ija tinggal bersama neneknya. Keduanya dicap sebagai anak nakal oleh seluruh penduduk desa. Keduanya sering dipukul di rumah dan di luar rumah karena kenakalannya. Dan aku sendiri telah melihat sendiri seperti apa kenakalan mereka. Keduanya paling suka memukul dan menjahili temannya di kelas dan di luar kelas. Tidak terhitung berapa jumlah tangisan yang mereka buat. Keduanya tidak pernah mengerjakan PR, meskipun sudah diingatkan dari malam sebelumnya. Keduanya selalu berkata kasar dengan bahasa pasar khas Maluku, mengancam dan mengejek teman-temannya. Aku sungguh sedih bagaimana anak sekecil dan semanis mereka bisa mengeluarkan kata-kata kotor sepert itu. Mereka pasti belajar dari orang-orang di sekitar mereka. Ija tidak pernah mencatat. Jika diingatkan, ia hanya menunjukkan seringainya yang lebar, sambil menggeleng-gelengkan kepala di atas meja sambil pura-pura menulis. Ketika pelajaran olah raga, ia akan menghindar, berlari dan memanjat pohon di halaman. Ya, memanjat pohon sampai dahan teratas. Itu ia lakukan sambil mengajak teman-temannya yang lain. Ia dengan mudah menjambak anak perempuan lain, bahkan menendang anak laki-laki lain. Pachi selalu melakukan apapun supaya aku memperhatikannya. Dari berlari-lari di kelas, memukul teman sebangku, berteriak-teriak “Pak! Pak! Pak!” saat aku menjelaskan, apapun. Pernah ia menyembunyikan bendera merah putih saat latihan upacara di rumahnya sehingga aku kebingungan mengganti bendera untuk latihan. Pernah juga ia berbohong kepadaku bahwa ia sudah seminggu tidak makan karena orang tuanya tidak ada sampai aku tercekat dan memberikannya Biskuat. Sudah berbagai cara aku lakukan untuk membantu mereka “kembali ke jalan yang lurus”. Dari hukuman menulis 2 halaman “Aku berjanji tidak akan lupa mengerjakan PR lagi”, berdiri di pojok kelas menghadap tembok, berlari mengelilingi gedung sekolah, dikeluarkan dari kelas, walkout dari kelas, sampai bicara man-to-man dan man-to-woman dengan mereka, tetapi tidak juga berhasil. Jika mereka berjanji tidak akan mengulangi, mereka akan melakukan hal yang sama keesokan harinya. Ini adalah sifat khas anak Maluku. Keras Kepala. Penentang. “Nyeleneh” dalam bahasa Jawa. Kalau dalam bahasa pasar Maluku disebut "Pahe" atau “Kepala Angin”. Ketika aku minta sesuatu, mereka akan melakukan hal sebaliknya. Mereka juga ringan tangan. Sedikit-sedikit keluar pukulan dan tendangan. Mereka senang melihatku kebingungan dan berusaha segala cara untuk mencuri perhatianku. Percaya atau tidak, hampir seluruh kelasku memiliki sifat yang sama. Bayangkan betapa lelahnya menghadapi 39 anak dengan sifat seperti itu. Hukuman yang aku berikan biasa dilakukan berjamaah setengah kelas. Aku tidak menyerah. Aku merasa ini adalah sebuah tantangan. Bagaimana cara terbaik untuk mengajar dan mendidik mereka. Aku selalu mencoba berusaha berpikir seperti mereka. Hidup di rumah tanpa orang tua. Semua orang mencap “anak nakal” dan selalu memukul mereka. Maka tidak heran jika mereka melakukan apa yang anak nakal lakukan. Tidak ada yang melarang di rumah, dan mereka memang yakin mereka sudah ditakdirkan menjadi anak nakal. Karena itu aku selalu melakukan yang mereka tidak pernah duga. Aku tidak pernah memukul. Aku tidak pernah menyebut kata kasar. Aku selalu memberikan positive reinforcement. “Ngana (kamu) itu anak baik. Jika ngana yakin ngana anak baik, maka ngana pasti bisa jadi baik. Percaya Bapak!”, hal ini selalu kuingatkan pada mereka. Mereka kadang tidak percaya dan malah berkata “Torang (saya) bukan anak baik Pak, tong anak setan!”. Coba dengarkan apa yang mereka ucapkan. Itulah cerminan diri mereka yang dijejalkan oleh orang-orang “dewasa” di sekitar mereka. Kata-kata mereka benar-benar membuat hatiku terenyuh. Hal lain yang kulakukan adalah mengajarkan lagu gubahan salah seorang teman Pengajar Muda, Ayu. Aku berkata sopan. Aku berbuat baik. Ku Antre. Kudengarkan guru-guru. Buang sampah di tempatnya. Kusayang binatang tanaman. Itulah tata tertib SD kita. SD Indong, Yes! Lagu di atas dinyanyikan dengan nada lagu Apuse dan sangat mudah dinyanyikan. Dalam sekejap lagu ini menjadi hit single di desa Indong dan menjalar ke semua anak-anak di desa. Semua anak pasti hafal! Aku percaya, lambat laun, jika hal ini dilakukan dengan terus menerus dan konsisten, mereka pasti bisa berubah. Yang mereka butuhkan adalah suatu cermin diri dan kepercayaan diri bahwa mereka adalah anak baik dan pasti bisa menjadi anak baik. Mereka butuh orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, kakak, tetangga, dan semua orang “dewasa” berkata “ngana bukan anak nakal, ngana anak baik.” Lihatlah Awin, Pachi, Ija, dan semua murid-murid kelas 4 dan anak-anak desa Indong. Pak Adi tidak peduli meski setiap hari keluar kelas dengan keringat bercucuran dan suara serak! Pak Adi masih punya banyak jurus sakti mandraguna untuk menghadapi kalian! Meski kalian “Kepala Angin”, tetapi “angin” yang kalian hembuskan pasti nantinya akan menyejukkan hatiku dan juga hati seluruh penduduk desa Indong. Cap anak nakal itu pasti akan kuhilangkan! Pasti!

Cerita Lainnya

Lihat Semua