info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sekardus buku untuk Indonesia

Rahman Pradana 18 Desember 2010
“Seketika tubuh Malin Kundang berubah menjadi batu ...” “Hujan terjadi karena uap air yang terperangkap di dalam awan ...” “Dirtie tak mau jorok lagi karena ...” “Gigitan ular berbisa dan cukup mematikan ...” “Meski dimusuhi, Kyai Ahmad Dahlan tidak menyerah ...” Kira-kira itulah beberapa suara yang hinggap di telingaku dari puluhan suara lain yang berasal dari puluhan anak-anak SD yang sibuk membaca, dengan suara keras, semua buku, majalah, inseklopedi, novel, dan cerita bergambar lain yang aku bawa dari Jakarta. Malam itu, rumah keluarga piaraku tak biasanya sangat ramai oleh anak-anak desa. Bahkan ruangan tengah yang disulap menjadi perpustakaan darurat tidak sanggup menampung, sampai-sampai anak-anak juga membanjiri ruang tamu dan ruang makan. Anak-anak itu duduk di atas tikar, di kursi panjang ruang tengah, kursi plastik ruang tamu, bahkan berjongkok beralas tanah di dalam rumah. Maklum, rumah keluarga piaraku belum berlantai ubin, bahkan temboknyapun masih berbentuk semen dan bata abu-abu. Suasana keramaian perpustakaan kecil di rumah. Sekitar pukul 9 malam, akhirnya suara-suara itu semakin surut seiring pulangnya anak-anak ke rumah masing-masing satu persatu. Hari itu lebih dari 70 buku dan majalah keluar untuk dipinjam oleh anak-anak, pemuda dan guru. Aku sungguh tak menyangka reaksi dari mereka akan sebesar dan secepat ini ketika aku membuka kardus yang penuh berisi buku dan majalah itu. Aku bahkan belum sempat membuat sistem peminjaman apapun. Aku hanya mencatat judul buku/majalah dan nama peminjamnya saja, dengan dibantu 2 asisten terpercayaku, Faila siswi SMP kelas 1 putri salah satu keluarga piaraku, dan Chairil siswa SD kelas 6 yang suka meminjam kameraku. Sembari aku membereskan kardus buku yang sudah tandas kosong, aku berpikir “mengapa mereka bisa seantusias itu membaca buku ya?” Semangat anak-anak desa Indong untuk membaca sangat tinggi. Mereka bahkan tidak perlu memahami apa isi bacaannya. Bagi mereka yang terpenting adalah memegang buku, membuka lembarannya satu persatu, mengagumi gambar yang ada, dan membaca setiap kata yang ada sekeras mungkin. Sepertinya bagi mereka buku adalah suatu kemewahan yang jarang ada. Sama halnya dengan film kartun. Penduduk desa Indong sudah familiar dengan televisi. Tetapi karena televisi hanya menyala di waktu malam (karena listrik hanya ada waktu malam), anak-anak hanya bisa menikmati “Kemilau Cinta Kamila”, “Cinta Fitri” dan “Putri yang Tertukar” pada jam-jam primetime. Sudah beberapa kali aku memutar film kartun dengan menggunakan laptop. Ruangan tengah yang kali ini disulap menjadi bioskop kecil lagi-lagi kebanjiran penonton. Para penonton pun cukup beragam, dari siswa PAUD sampai siswa SMK. “Lampu... Kamera... Action!” adalah aba-aba tanda film dimulai. Mereka sangat menyukai aba-aba ini. Terima kasih kepada Mas Bobby, pakar Quantum Learning atas sharing ilmunya. “Lampu.. Kamera.. Action!” Bioskop kecil akan segera dimulai. Aku tak menyangka hal-hal seperti ini yang kita anggap remeh di kota, ternyata bisa menjadi begitu bermakna di desa, padahal sama-sama berada di wilayah yang kita sebut Indonesia. Fenomena seperti ini, yang setiap hari semakin beragam kutemukan dalam berbagai bentuk, menyadarkanku bagaimana pemerataan kemajuan semakin jauh dari adil. Di desa Indong, tidak ada jaringan PLN, Telkom, PAM, jalanan aspal, atau tabung gas 3 kg yang bahkan ada di desa paling terpencil di pulau Jawa. Di sini, listrik adalah kemewahan, yang hanya hanya bisa dinikmati di malam hari di rumah-rumah yang memiliki genset. Untuk sarana komunikasi, sinyal Telkomsel bisa dinikmati di beberapa hotspot, tempat-tempat yang dekat dengan laut, tanah yang lebih tinggi atau terbuka, karena jauh dari halangan bangunan desa. Untuk air bersih, penduduk memanfaatkan pipa air yang terbentang sejauh lebih dari 3 km untuk mengantarkan air sungai ke tiap rumah, bahkan 1 keran dibagi untuk beberapa rumah sekaligus. Untuk memasak, penduduk desa menggunakan kayu bakar yang harus ditebang dahulu dari pohon-pohon di hutan. Seperti inilah kondisi Indonesia sebenar-benarnya. Indonesia bukanlah hingar bingar gemerlap lampu kota dan rimba mall dengan midnite sale setiap minggunya. Indonesia bukanlah apartemen yang menjulang tinggi dengan fasilitas mentereng. Indonesia bahkan bukan pemukiman kumuh di bantaran sungai kali Ciliwung yang masih mendapatkan listrik PLN dan air PAM. Indonesia adalah desa Indong, desa Pelita, desa Bajo, desa Sawangakar, desa Belang-Belang, desa Indomut, dan desa-desa lain yang tingkat kemajuannya tidak jauh berbeda sejak Indonesia merdeka. Tapi sekardus buku dan majalah dapat mengubah itu semua. Bagi anak desa Indong kardus buku itu seperti kantong Doraemon, atau karung yang dibawa Santa Klaus, yang membagikan sejumput “kemajuan” dan “impian” yang mereka idamkan. Aku jadi teringat kisah dari buku Room to Read yang menceritakan perjalanan seorang mantan eksekutif Microsoft, John Wood, yang membaktikan hidupnya untuk membagikan mimpi dan kesempatan, dalam bentuk buku, perpustakaan dan sekolah baru dan gratis ke negara-negara miskin di dunia. Semoga dalam perjalananku di sini aku dapat membagikan lebih banyak kardus yang tidak hanya berisi buku, tetapi juga mimpi dan kesempatan, yang sedikit demi sedikit memperkenalkan Indonesia yang ada di depanku dengan masa depan yang lebih gemilang. PS: Jika anda tertarik untuk menyumbang buku/majalah anak-anak, bisa berupa buku cerita, buku bergambar, buku pelajaran, cara membaca menulis menghitung, alat tulis/gambar, baik bekas atau baru, bahasa indonesia atau inggris, silahkan langsung email ke adipradana@pengajarmuda.org. Atau Anda bisa kirimkan langsung buku/majalah tersebut melalui paket/pos ke SDN Indong, Jalan Siswa, Desa Indong, Kecamatan Mandioli Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Biaya pengiriman dari Jakarta ke desa Indong. Paket Tiki: Rp 45.000/kg – 5 hari Paket Pos: Rp 10.000/kg – 2 minggu Buku dari Anda dapat membuka jendela mimpi anak-anak desa Indong. :) Mari kita berbagi. Terima kasih.

Cerita Lainnya

Lihat Semua