Indonesia itu masih ada di SDN Indong
Rahman Pradana 18 Desember 2010
“Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka! Tanahku negeriku yang kucinta..
Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka! Hiduplah Indonesia raya...”
Teriakan nyanyian murid SD memecah kesunyian pagi itu, mengiringi bendera merah putih yang pelan tapi pasti menuju puncak tiang bendera. Ini mungkin menjadi lagu Indonesia Raya terbaik yang pernah dikumandangkan di telingaku.
Kelas 1 – Kelas 4 SDN Indong, pulau Mandioli, bernyanyi dengan khidmat. Meski kelas 1 masih agak terbata-bata menyanyikan lagu kebangsaan ini, mereka tetap berusaha mengikuti dengan serempak. Wajah mereka semua sumringah, mata mereka memercikkan semangat. Mereka bernyanyi seperti telah lama tidak menyanyikan lagu gubahan W.R. Supratman ini.
Para warga di sekitar sekolah pun serentak keluar dari rumahnya masing-masing. Meneropong dari teras rumahnya masing-masing, bahkan mengintip di pagar sekolah yang patah-patah karena lapuk. Wajah mereka menyiratkan keheranan, seperti bertanya “Memang hari ini ada hari besar apa sampai ada upacara bendera di SD?”
Senin, 29 November 2010, menjadi hari bersejarah bagi SDN Indong. Untuk pertama kali sejak lebih dari satu tahun, upacara bendera diadakan di lapangan SD gedung lama. Upacara bendera ini bisa dibilang mendadak, tanpa direncanakan, tanpa latihan sama sekali.
Hari Senin itu, aku bangun sedikit lebih pagi. Setelah bersiap-siap berganti kemeja dan celana bahan, aku berangkat ke SD. Penduduk Desa Indong, seperti halnya penduduk Maluku pada umumnya, tidak biasa menyantap sarapan. Kebiasaan ini tidak menjadi masalah untukku yang sudah lebih dari 4 tahun hidup menjadi “mahasiswa kos-kosan” di Bandung.
Perjalananku dari rumah keluarga piaraku cukup singkat. Dari pintu dapur menuju halaman, keluar belok kanan. Aku berjalan di jalanan putih yang terbuat dari semen bercampur pasir pantai, karang dan kerang selebar kira-kira 2 meter. Sesampainya di perempatan, aku berjalan lurus sambil menyapa beberapa penduduk yang baru bangun dan anak-anak SD yang baru muncul di pintu-pintu rumah. Setelah sampai di pertigaan depan masjid, aku belok kanan. Dari sini sudah terlihat puncak gedung lama SDN Indong.
Semakin dekat semakin terlihat atap-atap seng yang kehilangan beberapa lapis di sana sini. Dinding kayu dengan cat putih yang menguning dan terkelupas, berlubang-lubang sebesar ukuran badan anak kecil. Jendelanya berupa kusen tak berkaca, entah pecah atau memang dibuat seperti itu. Pintunya sebagian dipalang karena sudah rusak, sebagian terbuka karena tak bergagang. Hanya sebuah tiang bendera yang gagah berdiri di halaman yang berlapis pagar kayu lapuk di sisi Barat.
Gedung lama SD ini konon dibuat sejak tahun 1952, dibangun sendiri dengan swadaya masyarakat Desa Indong. Gedung ini awalnya dibangun untuk Madrasah Diniyah Al-Khairat, yang kemudian dihibahkan kepada SD. Gedung lama ini memiliki 5 ruangan, 4 ruangan untuk kelas 1 sampai kelas 4, dan satu ruang kantor yang hanya berisi 2 lemari lapuk dan satu papan kayu yang diletakkan di atas kursi. Papan itu berisi jadwal pelajaran semua kelas tahun ajaran 2006/2007 yang terus dipakai sampai sekarang. Kelas 5 dan kelas 6 sudah menempati gedung baru yang berada 50 meter ke arah Timur, jauh terpisahkan oleh rumah-rumah penduduk.
Tiap ruangan kelas dipisahkan oleh sekat kayu tipis, terbuka di bagian kanan sebagai pintu kelas dan di atas untuk sirkulasi udara. Bisa dibayangkan betapa rusuhnya kegiatan belajar mengajar di SDN Indong. Para murid kelas 3 bisa dengan mudah keluar masuk kelas 4 dan kelas 2 lewat“pintu” di samping atau mengintip ke kelas sebelah melalui “jendela” di atas atau dinding-dinding yang berlubang hampir di setiap bagian kelas.
Pagi itu tidak seperti pagi biasanya, para murid bergerombol di halaman, asyik bermain dan mengobrol, tetappi belum ada guru lain yang muncul. “Mungkin karena beberapa guru di kota,” pikirku. Saat itu pemerintah daerah sedang membuka lowongan CPNS, jadi para guru honorer serta merta ikut mendaftar di ibukota kabupaten. Ini berarti 1 minggu aku harus mengajar di kelas 3 dan kelas 4 sekaligus.
Tiba-tiba muncul sebuah ide, ide yang cukup liar. Aku mengalihkan arah jalanku ke ruang kantor. Aku membuka salah satu lemari lapuk yang ada. Aku segera mendapatkan benda yang aku cari, bendera merah putih yang sudah agak berdebu. Sambil membawa bendera aku keluar menemui anak-anak. Aku bertanya kepada mereka, “Siapa yang hari ini mau menjadi pemimpin upacara, pengibar bendera dan pembaca Pancasila?” Serentak mereka mengangkat tangan sambil berteriak “Saya Pak! Saya Pak!” Aku kaget, tak mengira mendapatkan reaksi sebanyak ini.
Aku memilih beberapa murid dengan acak dan mulai membagi peran. Aku menertibkan barisan kelas 1 sampai kelas 4. Setelah semua siap di tempat, upacara bendera pertama kali itu pun dimulai. Sambil jalan aku mengarahkan para petugas upacara, menertibkan barisan peserta, dan menjadi pembina, pembaca susunan acara dan dirijen upacara sekaligus. Pembukaan UUD 1945 dan pembacaan doa aku lewatkan. Selama upacara berjalan aku bisa merasakan antusiasme para murid untuk mengikuti. Sepertinya upacara ini mereka rindukan.
Selesai upacara, aku menemui Pak Anwar, guru kelas 1 yang sedari tadi menonton di pinggir lapangan. Aku buru-buru menjelaskan mengenai upacara dadakan yang aku baru saja aku lakukan. Tak disangka, beliau ikut mendukung. Pak Anwar kemudian memberikan pengumuman kepada para murid bahwa upacara bendera ini yang sempat mati suri selama setahun lebih ini akan digiatkan kembali dan dilaksanakan setiap hari Senin. “Petugasnya berasal dari kelas 3 dan 4. Nanti Pak Adi yang akan melatih para petugas,” jelas Pak Anwar. Aku senang. Akhirnya kemampuan baris berbaris yang diwariskan kakak-kakak seksi upacara di SMA dan para pelatih Resimen Induk Kodam Jaya bisa berguna kembali.
Semoga ini menjadi riak kecil yang akan diikuti gelombang-gelombang perubahan menuju kemajuan di SDN Indong. Begitu banyak hal-hal yang bisa dilakukan untuk membangkitkan dan mewujudkan mimpi para anak-anak di desa tepi pantai kepulauan Maluku ini. Semoga Tuhan memberikan petunjuk dan meridhoi segala usaha ini. Amin.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda