Abule, anak yang (sebenarnya tidak) nakal
Rahman Pradana 28 November 2010
Anak itu bernama Abule. Nama aslinya Rivaldi. Bocah berumur 5 tahun itu adalah anak laki-laki paling kecil dari keluarga piaraku. Jadi alkisah saat Bu Maryam mengandung Abule, ada seorang Korea yang sedang berada di Laboha untuk membeli teripang di desa Indong. Orang Korea itu berambut pirang. Terinpirasi darinya, Bu Maryam berketetapan hati untuk memberi nama anaknya Abule.
Sesuai dengan namanya, Abule berambut pirang. Saudara Bu Maryam yang mengecat rambutnya. Dengan rambut pirang dan kulit hitamnya tentu Abule menjadi pusat perhatian di desa Indong. Hampir semua penduduk desa mengenal Abule. Karena selain penampilannya, dia pun terkenal nakal.
Aku sering melihat Abule berlari telanjang di sekitar rumahnya, bahkan sesuai dengan peribahasa, dia kencing sambil berlari. Abule selalu berbicara dengan bahasa Indonesia pasar khas Maluku, dan banyak yang diucapkan adalah bahasa kotor dari yang paling kotor, itu aku tahu dari komentar orang-orang yang mendengarnya. Abule suka sekali mendorong, menjambak, memukul, menendang, ataupun melempar barang ke anak lain, baik lebih tua atau lebih muda. Seringkali dia pulang menangis karena dibalas dipukul atau didorong jatuh oleh anak lain.
Bagiku, Abule adalah potret anak Maluku, tidak hanya di desa Indong. Di manapun kau berada di Maluku, acap kali kau melihat anak berkulit gosong berbahasa Indonesia pasar berbuat kasar pada teman sebayanya. Bahkan kadang itu juga bisa dilihat pada remaja Maluku. Jika kau memperhatikan kulit anak-anak di sini, banyak torehan luka, baik yang baru dan yang lama, disekujur tubuhnya.
Lambat laun ku melihat, tingkah polah seperti itu memang berasal dari lingkungan sehari-hari, terutama di keluarga. Orang tua di Maluku, termasuk guru, sering menggunakan kekerasan, ancaman, dan makian untuk mendisiplinkan anak mereka. Orang tua sudah biasa mengangkat tangan dan menengadahkan telapak tangan kepada anak untuk mengisyaratkan tamparan jika membantah. Batang rotan sudah tersedia hampir di setiap meja guru, siap digunakan untuk mendiamkan murid yang berulah.
Jika para orang tua melihat anaknya berbicara jorok atau mengasari orang lain, mereka hanya tertawa saja, seperti melihat anaknya bercanda biasa saja. Kalau anaknya pulang kesakitan dengan luka, mereka tidak panik, kadang mengobati kadang mendiamkan. Pernah ada satu anak yang sakit demam aku carikan obat ke puskesmas karena orang tuanya tidak memberikan obat. Inilah budaya Maluku. Mungkin budaya ini yang membentuk orang Maluku berwatak keras, suka berteriak, kasar dan menggunakan kekerasan.
Tetapi, bagaimanapun orang tua, mereka pasti akan selalu menyayangi anaknya. Bahkan seekor induk harimau pasti akan melindungi anaknya dari bahaya dan memberi makan ketika mereka lapar. Begitu juga di desa Indong.
Aku pernah melihat Abule menggeloyoti ibunya, lalu ibunya menggendong dengan penuh kasih. Sang ibu selalu menyuapi sang anak dengan sabar, meski Abule berlari-larian dan melompat-lompat jungkir balik. Aku sempat khawatir makanan akan naik kembali ke mulutnya. Sang ibu juga selalu memandikan dan mengeringkan badan Abule, meski dia telanjang berlarian mengelilingi rumah. Aku lihat seorang ayah meninabobokan anaknya dengan lagu “kasih ibu”.
Dari pemandangan itu aku menyadari persepsi kita mengenai apa yang salah dan benar dalam mengasuh anak, apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, semua bergantung di mana kita berada, bergantung budayanya. Cara mengasuh anak seorang ibu di San Fransisco akan berbeda dengan cara mengasuh di Ulanbaatar. Cara mengasuh anak seorang ayah di Osaka akan berbeda dengan cara mengasuh di Kinshasa. Cara orang tua saya mengasuh di Jakarta tentu akan berbeda dengan di Indong.
Kita harus mencari tahu mengapa para orang tua di Indong membebaskan anaknya dalam berkata dan berbuat kasar, baru kita bisa memberikan opini. Seperti dikutip Harper Lee dalam novel terlaris sepanjang masanya To Kill a Mockingbird, “Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya… hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya”. Beruntunglah aku, memiliki waktu 1 tahun untuk melakukannya. Doakan saya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda