info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Desa itu bernama Indong

Rahman Pradana 28 November 2010
Rasa itu ada, gugup, khawatir, antusias, penasaran, semangat, semua campur aduk. Sama seperti ombak yang pecah di sauh kapal, benak pikiran ini berseliweran dengan tak karuan. Aku mengantarkan teman-teman Halmahera Elite Squad, satu istilah yang kami sebut untuk tim kami karena kenarcisan kami, ke desa masing-masing. Rute perjalanan dibuat sesuai dengan jarak penempatan desa dari ibu kota kabupaten, Laboha. Dani ke Indomut, Aheng ke Belang-Belang, Ajip ke Bajo, Jun ke Sawangakar, Dika ke Pelita, dan akhirnya tujuan terakhir sampai juga, aku ke Indong. Indong adalah ibukota kecamatan Mandioli Selatan yang baru saja terbentuk karena pemekaran. Hari sebelumnya aku sudah bertemu dengan bapak camat, Pak Achmad. Pak Achmad bertubuh gemuk, dengan warna kulit dan logat khas maluku. Beliau baru diangkat sebagai camat 3 bulan, dan meski tempat kerjanya di pulau Mandioli, beliau sehari-hari tetap bertempat tinggal di Laboha, ibu kota kabupaten Halmahera Selatan. Dari kejauhan, kapal kami mendekati dermaga Indong. Sudah ramai penduduk di sana. Rupanya kapal motor hari Rabu dari Laboha baru saja merapat dan menurunkan penumpang. Dengan sigap aku mengirim SMS kepada calon kepala sekolahku, Ibu Aisyah, memberitahukan bahwa aku sudah sampai di dermaga. Aku menjejakkan kaki di dermaga Indong, perasaan semakin campur aduk. Sambil menurunkan perbekalan untuk satu tahun, yang terdiri dari 1 tas cruiser 40L, 1 tas punggung 23L, 1 tas angkat hadiah dari Total dulu, 1 tas kecil yang terpaksa dibawa karena tiba-tiba diberikan oleh ibunda di airport berisi berbagai makanan dan obat-obatan, 1 life-vest yang wajib dibawa, dan sebungkus apel untuk oleh-oleh stakeholder beserta keranjang rotannya. Dari kejauhan tampak ibu Aisyah berlari mendekati dermaga. Beliau tampak berbeda dari pertemuan pertama kami kemarin. Ya, beliau tidak memakai jilbab. Aku dan tim IM berjabat tangan dengan beliau, dan kami diantarkan ke rumah beliau. Rumah beliau berada dekat sekali dengan dermaga, berseberangan dengan bibir pantai. Bagian muka rumah dibuat sebagai warung. “Seperti rumah idaman Ayu, rumah tepi pantai”, pikirku. Ayu adalah salah seorang pengajar muda yang hari itu juga ditempatkan di Papaloang. Kami semua duduk, sambil menunggu semua berkumpul. Aku coba memulai beberapa obrolan ringan dengan Bu Aisyah. Dari sudut mata, aku melihat Bayu, yang baru akan ditempatkan ke Bibinoi esoknya, bermain dengan anak-anak. Aku beranjak untuk bergabung dengannya. Aku mulai mengajarkan beberapa lagu ke anak-anak, seperti “jempol” dan “halo-halo bandung”, sedangkan Bayu sibuk mengambil gambar dengan kameranya. Aku melihat anak-anak tampak antusias mengikuti. “Alhamdulillah”, pikirku, “rupanya aku masih bisa membuat anak-anak tersenyum”. Sudah agak lama sejak interaksi terakhirku dengan murid SD. Aku mulai menyadari, segala kegundahan dan perasaan campur aduk tadi menghilang. Keceriaan anak-anak telah mengusirnya. Senyum mereka mengingatkan kembali untuk apa aku harus mengikuti pelatihan selama 7 minggu di Ciawi, termasuk 3 hari 2 malam bertahan hidup tidur beratap ponco dan makan dedaunan di Gunung Bundar. Tawa mereka menyadarkan untuk apa aku melewati 3 jam di pesawat, menginap di kapal dari Ternate ke Laboha, dan hampir 4 jam mengarungi laut dengan speed boat untuk hadir di pulau ini. Akhirnya Bu Aisyah, Pak Yaser (suaminya), Pak Bahar (Badan Pengawas Desa), dan Bu Maryam (mama piara – istilah untuk orang tua di rumah tempat aku menumpang) sudah hadir dan duduk di ruang tamu. Pak Hikmat, direktur IM dan Ummi Poni, fasilitator kabupaten, memulai prosesi penyerahanku. Dimulailah kehidupan baruku di Desa Indong, Kecamatan Mandioli Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, untuk 1 tahun ke depan. Bismillahirrohmanirrohim..

Cerita Lainnya

Lihat Semua