info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Demi mereka, monster kecilku

Rahman Pradana 2 November 2010
Apa yang bisa kuceritakan pada minggu ke-6 ini, selain semakin dekatnya waktu kami akan berangkat untuk penempatan kami di masing-masing daerah? Cukup satu. Di minggu ini justru kami mendapatkan bekal paling berharga yang bisa kami dapatkan selama pelatihan, MENGAJAR. Kami menjadi pengajar di kelas SD bersama anak-anak SD sebenar-benarnya selama satu minggu, bukan sesi teori di kelas, bukan latihan, bukan micro-teaching. Saatnya membuktikan kemampuan para pengajar muda sebenar-benarnya. Madrasah Ibtidaiyah (MI) RW, sebuah SD Islam yang bertempat di tepi jalan Pancawati. Tidak ada gerbang megah untuk masuk SD tersebut, hanya ada lorong seukuran garasi mobil untuk tempat parkir Pak B, sang Kepala Sekolah. SD tersebut mempunyai 5 ruang kelas, di mana kelas 1 dan kelas 2 tergabung dalam satu kelas yang hanya terpisahkan oleh papan triplek. Tidak ada ruang guru khusus, hanya ada satu meja di depan tangga di mana guru piket biasa berjaga, dan ruangan arsip di bawah tangga. Ada sebuah lapangan yang jika dua kelas dikumpulkan, maka tidak ada lagi ruangan yang tersisa. Di lantai 2, rencananya akan dibangun satu kelas tambahan, tapi belum terlihat adanya jejak pembangunan. Uniknya, sekolah ini layaknya MI lainya, berada di sebelah masjid yang luasnya melebihi luas sekolah. Masjid tersebut juga satu yayasan dengan sekolah, dan berdiri bahkan sebelum sekolah tersebut berdiri. Kami disambut dengan hangat oleh para guru. Bu E, guru agama, seorang wanita mungil yang santun. Bu H, guru kelas 1, sudah lebih dari 25 tahun mengajar. Bu R, guru kelas 2, wanita berparas sunda dan teduh. Bu S, guru kelas 3, seorang ibu yang dulu pernah diajar oleh Bu H, dan saat ini anaknya pun diajar oleh Bu H. Hampir semua pengajar berasal dari keluarga kepala sekolah, bahkan guru kelas 4 adalah istri dari Pak B. Mereka adalah keluarga pengajar yang yakin jalan hidupnya memberikan manfaat bagi orang lain dan akan mengantarkan mereka ke surga. Kami bisa melihat betapa tulusnya pengabdian mereka di bidang pendidikan, mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenar-benarnya. Hanya saja masih ada rasa khawatir ketika melihat mereka memukul meja dengan tongkat untuk mendiamkan murid, membuat kami yang berada di luar kelas terkaget-kaget. Ada rasa sedih ketika ada beberapa anak “berkebutuhan khusus” disebut sebagai anak “idiot” dan disalahkan karena mereka tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas. Ada rasa sakit, ketika mereka mencubit lengan atau pinggang siswa karena tidak tenang dan menuruti perintah guru. Mereka telah diajarkan untuk mengajar dengan cara seperti itu selama berpuluh-puluh tahun. Mungkin cara-cara itu yang mereka terima ketika mereka masih belajar di SD. Saya menyadari perbedaan yang cukup dalam. Kami, para pengajar muda, mungkin pernah mengalami gaya mengajar seperti itu ketika kami SD dulu, atau bahkan lebih parah. Tapi selama pelatihan, kami belajar bahwa mengajar anak-anak itu bisa dan HARUS menyenangkan. Dengan kata lain, kami telah tercerahkan bahwa ada cara yang lebih baik dalam mengajar. Saya pun sadar, satu-satunya cara untuk memberikan pencerahan yang sama pada guru MI RW adalah dengan membuktikannya melalui praktek mengajar saya. Saya mengajar kelas 1, 2 dan 3. Sempat juga mengajar kelas 4 dan 6 secara tidak sengaja. Pada semua kelas saya, dan para pengajar muda lain, ada satu persamaan. Saya melihat kelas kami menjadi hidup. Para siswa terus menerus beraktivitas, baik melalui ice breaking, permainan, nyanyian, yel-yel, ataupun dengan pembelajaran kreatif yang kami siapkan berikut lembar kerjanya. Setiap anak-anak di kelas kami begitu bersemangat memperhatikan pelajaran. Itulah yang ingin kami mereka rasakan ketika belajar, bersemangat dan menyenangkan. Minggu ini juga merupakan pengalaman yang membuka mata, dengan sangat terbelakaknya.Ternyata mengajar itu tidak mudah, betapa susahnya. Dari membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), mempersiapkan media dan bahan ajar, dan tentu ketika mengelola kelas dan menghadapi "little monsters" itu. Suara saya sampai habis hanya dalam waktu 3 hari. Ada perasaan kecewa ketika melihat mereka ternyata belum memahami materi yang kami ajarkan. Namun ketika mereka belajar dengan senyum, tawa dan binar mata yang antusias, apalagi ketika mereka bisa memberikan jawaban yang tepat ketika kami evaluasi di akhir pelajaran, betapa bangga hati ini, tangan terkepal seperti merayakan keberhasilan. Wajah merekalah yang mencambuk kami untuk memberikan yang terbaik, dengan RPP terbaik dan bahan ajar terbaik, tak peduli itu memaksa kami tidur melewati tengah malam. Saya harap apa yang kami lakukan tidak hanya bisa menginspirasi anak-anak supaya bisa belajar lebih baik lagi dengan gembira dan antusias, tapi juga menginspirasi para guru supaya mencoba, dan menerapkan metode pengajaran yang menempatkan para siswa sebagai anak manusia yang perlu dikembangkan tidak dengan suara pukulan tongkat dan cubitan di pundak. Semoga.. Amin.. Bersama “monster kecilku” yang menggemaskan

Cerita Lainnya

Lihat Semua