info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Two Thousand and Eighty Eight Hundred Times of Love: Bukan Judul Film Romantis

Raden Roro Cahya Wulandari 24 Juli 2011
Siang tadi, sepulang sekolah sambil menunggu hujan reda, saya mampir ke rumah Guru. Rumah Guru adalah tempat tinggal bantuan dari dinas pendidikan untuk para guru yang mengajar di daerah. Ada Pak Kei—guru kelas 1 dan 2, serta Pak Aris—guru kelas 5 dan 6. Maka dimulailah percakapan yang saya mulai tentu saja dengan tendensi supaya dekat dengan guru-guru tersebut. Saya mulai dengan bertanya kegiatan mereka hari ini di kelas. Berceritalah mereka tentang pelajaran yang diberikan setiap hari ialah; matematika, bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan alam, dan kadang-kadang ilmu pengetahuan sosial. Singkatnya, belum adanya jadwal yang jelas. Berhubung mata pelajarannya saja tergantung mood, maka rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP atau lesson plan) pun boro-boro dibuat. Satu percakapan menarik lainnya adalah saat Pak Aris memberitahu saya untuk menggunakan sandal saat mengajar, yang saya jawab dengan: “Tara pa pa, Pak. Kalau beta pakai sandal, dong tiru beta” (Tidak apa-apa, Pak. Jika saya pakai sandal nanti anak-anak meniru saya) yang dijawab dengan sangat luar biasanya “Ah, kalau dong tiru, kasih lima jari saja, ibu” (Ah, kalau mereka meniru, ibu cubit saja mereka). Maka di sanalah saya berfikir: cubitan, sekecil apapun itu, adalah tetap bentuk kekerasan. Ironisnya, tamparan, pukulan, tendangan, serta kekerasan verbal sudah menjadi sarapan anak-anak di sini setiap hari. Setiap hari anak-anak mendengar umpatan seperti; bodoh, a****g, cukimay, dan lain-lain. Seakan belum cukup ironis, umpatan itu keluar dari orang tua atau guru. Coba bayangkan jika satu hari anak-anak mendengar setidaknya satu kali umpatan. Kalikan satu bulan, maka ada 30 kali. Dikalikan dengan 12, maka 360 kali dalam setahun. Jika mau hitung usia mereka di kelas tiga rata-rata delapan tahun, berati 360 dikali 8 maka ada 2880 kali. Berulang-ulang, setiap hari. Selama delapan tahun dan entah berakhir hingga kapan. Saya percaya bahwa metode pengulangan adalah salah satu cara informasi masuk ke ingatan jangka panjang. Ingatan jangka panjang mereupakan salah satu faktor pembentuk karakter serta pengambilan keputusan seseorang. Maka mana kala anak-anak mendengar 2880 umpatan, bukan tidak mungkin isi umpatan itulah yang menjadi ingatan jangka panjang mengenai diri mereka. Anak-anak kemudian mendefinisikan diri mereka sebagaimana orang tua dan guru mengidentifikasikan diri mereka. Jadi, rasanya tidak salah apabila seorang anak merasa dirinya bodoh disebabkan oleh label “bodoh” yang diberikan orang tua dan gurunya. Demikian juga sebaliknya apabila kita memberi label yang baik pada anak-anak. Ikat mereka dengan kasih sayang, berikan kata-kata yang baik pada mereka. Maka label itulah yang akan selalu anak-anak ingat. Dan setelah hujan reda, saat hendak pamit pulang, saya sempatkan berkata pada Pak Aris bahwa saya akan tetap menggunakan sepatu saat mengajar, dan bahwa saya tidak akan memukul anak-anak didik saya. Tentu saja pernyataan itu saya ungkapkan sambil setengah bercanda. Setidaknya jangan sampai ada kesan menggurui. Bagaimanapun juga saya adalah guru baru di sini, dan saya harus tetap menghormati dia sebagai guru yang lebih dahulu mengajar. Kulangkahkan kaki ku yang bersepatu, kemudian bertekad dalam hati: “Apapun yang terjadi, akan ku didik anak-anak dengan rasa sayang dan kelekatan. Bukan dengan pukulan dan umpatan. Akan kuberikan 2880 kali cinta, dan bukan 2880 makian”

Cerita Lainnya

Lihat Semua