The Endless Happiest Moment

Raden Roro Cahya Wulandari 9 Desember 2011

I remembered when I was 9 I would be laughing at practically anything. Teman sekelas yang terjatuh ... orang dewasa yang aneh ... semua dapat membuatku tertawa. Aku bahkan bisa tertawa melihat batu. Dan yang kuingat ... teman-temanku juga mudah sekali tertawa. Kami tertawa bersama-sama. Tidak berhenti meski orang dewasa memandang kami aneh. Rasanya, menjadi sembilan tahun sangatlah menyenangkan. Siang itu matahari tepat berada di atas kepala. Panas bukan kepalang. Bahkan payung yang kami pakai pun tak mampu menutupi sangar nya terik mentari. Langkah kaki ku semakin berat, manakala melihat tanjakan tinggi di depanku. Di siang bolong begini, mama angkat ku mengajak kami mencari sayur sementara Bapak dan saudara laki-laki pergi menebang pohon-pohon besar. Bagi yang sudah mulai bertanya sedang apa kami siang itu, kuberikan jawabannya: kami sedang berkebun di gunung. Gunung yang konon milik Bapak angkat ku. Tanah, air, dan pepohonan yang ada di sana. “hebat yaa orang Papua, bisa mendapatkan warisan sebuah gunung. Bahkan pulau ... “, kataku dalam hati. “Ibuuuu .....” suara Ida--adik angkat ku yang agak masih kelas tiga membuatku kembali ke bumi, tersadar dari lamunan tengah hariku. “Ya?” sahutku. “cepat sedikit”, ajaknya. Kaki kaki kecilnya berjalan begitu gesit mencari-cari celah jalan di tanah berbatu itu. Ia bahkan tak bersepatu, tak memakai payung. Hanya selembar kain sarung ia ikatkan di kepala supaya sinar matahari tidak terlalu membakar rambutnya. Di belakang nya berjalannya Dela yang belum bersekolah. Tampaknya dia sedang berbicara dengan gelang-gelang karet yang memenuhi tangan kirinya. Lalu jauuuuh ... di depan kami: di sana lah Mama—begitu aku memanggilnya. Ibu angkatku. DI tangan kirinya ia memegang parang, dan di bahu kanan ia membawa tomang (tak khas papua dibuat dari anyaman daun tikar pandan), sementara tangan kanannya lincah menyisiri dedaunan pohon pepaya. Dengan cepat namun teliti ia memilih-milih daun yang masih muda, ia juga memetik bunga-bunga pepaya supaya dapat disayur bersama dengan kangkung. Dalam waktu tak sampai 15 menit mama sudah membersihkan sekitar 2 meter lahan dari rerumputan yang menjalar. Bersih tanpa bekas. Lalu jadilah lahan yang siap ditanami dengan batang-batang singkong yang telah ia bawa dari kampung. Semua ia lakukan dengan sangat cekatan. Setelah ‘ritual’ berkebun itu ia lakukan, bak kera sakti, ia melesat naik ke tanjakan yang lain. Kali ini tanjakan itu begitu miring ... mungkin 30 derajat, jika salah melangkah dijamin langsung di sambut ombak yang sudah menari-nari di bawah. Ia Mencari-cari lahan penuh rumput lainnya lalu ia lakukan ritual yang sama. Bahkan di tengah semua pekerjaan penugh resiko itu, Mama masih sempat mengingatkan anak-anak supaya menjauh dari jurang. Semua tanpa payung, tanpa alas kaki, dan tanpa mengeluh. My host mum is a super Mum. Kataku dalam hati. Di belakang, di bawah sana aku melihat Bapak dan tiga orang saudara laki-laki sedang berusaha memotong pohon besar yang menghalangi jalan. Begitu besar pohon itu hingga tiga laki-laki berbadan besar itu membutuhkan waktu yang lama untuk mematahkan batangnya. Terlalu asyik melihat pemandangan itu, aku sampai lupa memperhatikan mama yang kini sudah kembali berjalan turun dengan setumpuk penuh daun pepaya dan singkok di dalam tomangnya. Wajah nya begitu berseri-seri. Tentu saja, karena arti nya dua sampai tiga hari ke depan keluarga kami bisa makan ikan dengan sayur. Sebuah makanan mewah jika ditemani sayur. Membayangkannya saja aku ikut senang, lalu kembali membuntuti mama dari belakang. Mama berhenti di sebuah ‘genangan’ air di pinggir pantai. “uuuu ... dingin, Ibu mari coba. Air es”. Kata Mama. Ya, mama memang memanggilku Ibu. Singkatan dari Ibi guru. Aku jalan mendekat. Benar saja. Genangan air tadi ternyata dingin sedingin es. Agak aneh juga melihat air di sekitarnya adalah air garam yang hangat, ia dingin dan tawar. Maka berkubanglah kami di sana. Aku senang sekali merasakan dingin nya air itu. Hampir aku berfikir akulah orang paling bahagia siang itu, sampai .... Dela dan Ida lompat salto di genangan air itu! Tertawa begitu lepas, saling menyirami air satu sama lain. Lalu ketika hujan perlahan turun, saat orang-orang dewasa berlarian menghindari airnya, Dela dan Ida semakin riang bermain di ‘genangan air’. “Dela ... kau dari sana e, beta dari sini” ujar Ida yang sedand mengajak Dela lomba renang. Dela tertawa cekikikan dan mereka pun adu cepat. Dela, yang di bagian punggungnya sedang berbisul besar, tanpa sengaja tersenggol oleh Ida. Ku kira Dela akan menangis, tapoi di tengah suasana penuh tawa dan air begitu, dia malah cengar-cengir sambil memamerkan bisulnya yang pecah. “Ibu, beta bisul picah ... hahahaha” kata Dela sambil menunjukkan bisulnya pada ku dari jauh. Begitu gembira mereka. Aku setengah merasa iri. Aku ingin sekali menjadi 9 tahun dan kembali di masa itu, Masa ketika segalanya dapat ditertawakan. Lalu datanglah Bapak yang sudah usai menebang pohon. Bapak datang membawa ubi, kemudian memanggil kami datang. Di bawah lindungan pohon pala itu lah, kami makan ubi bersama. Hingga hujan berhenti dan akhirnya kami pun kembali ke kampung.


Cerita Lainnya

Lihat Semua