Tentang Manaf

Raden Roro Cahya Wulandari 18 November 2011

Daya tangkapnya bisa dibilang rata-rata, ia bukan murid yang briliant namun tidak juga dapat dikategorikan lambat. Beberapa guru juga acap kali menceritakan kesusahan yang mereka alami karena murid yang satu ini. Ia sering ngambek hingga langsung walk out meninggalkan kelas, menangis di pojok sekolah, atau bahkan membanting buku. Semua ia lakukan mana kala guru atau orang dewasa yang lain mengatakan sesuatu hal tentang dirinya yang ia tidak sukai.

Misalnya sore ini, ketika Mega—seorang penari Lakadinding Cilik yang aku latih—berkata padanya untuk lebih kuat memukul tifa. Sebenarnya Mega punya alasan yang tepat, suara tifa tidak terdengar sehingga untuk menari pun susah karena para penari jadi kehilangan ritme. Meski ia tahu Mega benar, murid spesial ini tetap saja tidak mau terima dan justru memilih ngambek, meletakkan tifa, kemudian lari pergi ke dalam rumah. Bersembunyi di dalam kamarnya yang nyaman baginya. Terlalu nyaman hingga ia tak mau mencoba bahkan untuk keluar sebentar dari sana.

Muridku ini bernama Manaf. Ia tahun ini kelas lima. Manaf sejak kecil sudah dirawat oleh saudaranya dan tinggal dengan mereka di ujung lain di kampung ini. Manaf satu satunya yang bermarga “Wou” manakala saudara-saudaranya yang lain bermarga “tunggin”. Garis wajahnya kasar, gaya jalannya bak preman yang sudah dewasa. Rambutpun ia potong bergaya mohawk. Dari gerak-geriknya kau akan tahu bahwa Manaf tak sabar untuk segera dewasa. Tapi di balik raut wajah sangar itu, di balik semua perilaku sok maskulin yang ia tampakkan, Manaf tetap lah anak kecil yang punya ketakutan akan banyak hal. Ia takut ketinggian, ia takut dengan ayah kandungnya, ia takut salah bicara manakala berada di depan kelas, ia takut suaranya jelek, ia takut permainan tifa nya tidak bagus, dan beberapa hal lainnya.

Saya tidak bisa memaksa diri ini untuk tidak menyukai Manaf. Anak ini punya sesuatu yang membuat dia ‘berbeda’. Dia punya suara yang bagus dan ia dapat membaca nada. Ia bisa cepat belajar memukul tifa hanya dengan sekali melihat kakaknya bermain. Ia punya daya ingat yang luar biasa terhadap nada dan lirik lagu, namun tak berlaku untuk matematika atau pelajaran yang lain. Saya pikir, Manaf memiliki apa yang Munif Khatib katakan sebagai Kecerdasan Musik. Ia pandai menari, meski pun ia bukan perenang yang ulung. Ia tak malu menyanyi di depan kelas, meskipun ia selalu takut tenggelam.

Segala yang ada dalam diri anak ini—kekurangan dan kelebihan yang ia miliki—membuat rasa sayang tumbuh. Saya berusaha keras agar dapat membagi perhatian sama banyaknya kepada seluruh murid-murid, namun ketika situasi telah mendesak, ketika tak ada lagi yang dapat saya lakukan—saya tahu saya punya Manaf. Entah mengapa, anak ini selalu bisa diandalkan. Saat badan ini terlalu lelah untuk sekadar menimba air di sumur, muridku ini selalu hadir membantu. Saat kondisi kelas kacau balau, anak ini—yang terkenal sebagai pembuat onar—dapat dengan sangat kooperatif bersikap diam dan justru membantuku menenangkan murid-murid yang lain.

Entah mulai sejak kapan, aku mulai sering bertanya pada murid yang lain

“manaf dimana ya?”, yang aku tahu tidak terlalu baik, karena murid lain bisa jadi merasa saya tidak berlaku adil. Kini saya sudah mulai dapat menahan diri dan menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu di dalam hati, supaya murid lain tidak ada yang merasa ‘tidak diperhatikan”.

Yah, itulah tentang satu murid spesial yang saya punya. Manaf yang spesial, diantara semua muridku yang juga sama spesial nya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua