Si "silang" dan si "Pagar"

Raden Roro Cahya Wulandari 9 Desember 2011

“Sa tara bisa, Ibu”. Kalimat itu keluar dari bibir mungil Herman—siswa kelas empat. Herman punya tulisan yang sudah bagus dan sangat bisa dibaca. Sayangnya ini tidak diimbangi dengan kemampuan dia berhitung. Herman bingung membedakan lambang perkalian dengan penjumlahan. Padahal sudah berapa kali saya berkata:

“Perkalian itu seperti silang, kalau penjumlahan bentuknya seperti pagar”.

Tapi Herman tak juga paham. Kalaupun bisa menuliskan dengan benar, dia masih bingung arti lambang tersebut. Kadang dia melihat lambang X, tapi dia menjalankan operasi penjumlahan. Sebaliknya, saat melihat lambang + dia menjalankan operasi perkalian.

Di sana lah saya sempat berfikir kalau Herman lambat dalam belajar Matematika. Tapi ternyata, beberapa muridku yang lain mengalami hal yang serupa: Mereka bingung antara makna di balik lambang-lambang operasi bilangan tersebut.

Lalu aku berfikir kembali dan mencoba mengingat saat aku kelas empat.

Dan ya, memang benar guru SD ku memang tidak pernah menjelaskan kenapa perkalian selalu ditulis dengan lambang X sedangkan penjumlahan dengan lambang +. Pokoknya yang aku tahu, kalau tanda silang berarti harus dikalikan. Kalau ketemu tanda pagar Ya harus ditambahkan. Tapi di sini ... things just have to be more tricky. Pikiran dan pola pikir anak-anak—menurutku—masih sangat sederhana, dan apa yang ilmu psikologi katakan, masih sangat konkret. Sehingga operasi bilangan serta lambangnya masih terlalu abstrak buat anak-anak. Alhasil saya harus memutar otak sedikit supaya Herman dan teman-temannya dapat memahami perkalian dan penjumlahan, sehingga ketika membahas pembagian dan pengurangan mereka dapat lebih mudah menerimannya.

Maka inilah yang aku pakai:

Tambah, huruf depannya kan T, dan lambangnya jadi +, kan mirip huruf T ... nah jadi kalau tandanya begitu maka harus diTambah”.

Dan untuk perkalian: “Perkalian adalah penjumlahan yang berulang. Lambang penjumlahan tadi adalah +, nah karena dia berulang-ulang seperti bola yang menggelinding, maka lambangnya pun ikut miring, jadilah dia berbentuk x, seperti pagar T yang berguling karena dia berulang-ulang terus”.

Wajahku bersemangat sekali berharap analogi ini cukup konkret untuk dimengerti anak-anak muridku. Maka kuhela nafas panjang dengan senyum ceria tertoreh di wajahku, lalu bertanya:

“Paham kan, anak-anak?”

 

...

Dan yang kudapat adalah total silence.

Ha ha ha ... oh well, kurasa butuh lebih dari sekali untuk menjelaskannnya. Tak apa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua