info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

24 November (part - 2 - finished)

Novianus Efrat 24 November 2011

     Masih di hari ulang tahunku. Malamnya, kami belajar seperti biasa. Yang menjadi luar biasa adalah selesai belajar, aku pergi ke dalam kebun untuk menjaga durian. Aku, Eki, dan Papa Wani, si empunya pohon durian, masuk ke dalam kebun. Kalau tidak dijaga, orang lain akan mengambil seenaknya. Perlu waktu 15 menit naik motor dan dilanjutkan 40 menit jalan kaki menyusur ke dalam kebun di gunung. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kami turun dari motor dan siap hiking ke dalam. Begitu masuk ke dalam, aku lebih merasa seperti berada di dalam hutan daripada di kebun. Hanya dua senter saja modal kami. Satu senter kembali mengidolakan peribahasa hidup segan mati tak mau. Gelap. Sunyi. Bahkan langit pun tak bisa diintip. Ini medan yang cukup berat yang pernah kulewati. Naik turun dengan curamnya. Jalan setapak yang licin karena habis hujan. Terperosok ke bawah pasti akan menyebabkan cedera yang serius. Baru kali ini aku merasa latihan Survival bersama KOPASSUS menjadi sangat berguna.

     Sesampainya di dalam, kupikir ada beberapa pohon durian. Ternyata, hanya ada satu pohon saja, saudara-saudara. Kami pun segera menyusuri area sekitar pohon durian untuk mencari dan mengumpulkan durian yang sudah terjatuh. Ada sekitar 15 durian saat itu. Kami mengumpulkan ke bawah pondok tempat kami tidur nanti. Pondok ini hanya berukuran sekitar 1,5 x 1,8 cm2 dengan ketinggian 1 m. Diatapi dengan terpal yang asal saja diatur seadanya. Kami pun tidur beralaskan anyaman bambu. Api unggun di bawah pondok sangat berfungsi untuk mengusir nyamuk. Aku pun segera mengeluarkan sarung sambung yang kupakai ketika Survival dulu. Kubuka kausku, karena sudah banjir dengan keringat. Sebelum tidur, kami membuka dulu beberapa buah durian dan kemudian makan bersama. Kenyang makan durian, kami naik ke pondok dan mengatur posisi untuk tidur. Aku pun masuk ke dalam sarungku dan meringkuk dengan space yang sudah diatur sedemikian rupa supaya muat untuk tidur bertiga. Mereka cepat sekali tertidur. Kini hanya tinggal aku dan kegelapan.

     Kudengar suara burung hantu di kejauhan. Juga suara “Bruk!” yang mengagetkanku. Itu adalah suara durian runtuh, kawan. Tahukah kalian, durian yang runtuh dari pohonnya, bila bagus kematangannya, maka biasanya akan terbelah lima dengan sendirinya? Sehingga kita akan dengan mudah membukanya tanpa perlu menggunakan golok. Baru kali ini aku tahu arti peribahasa “bagai tertimpa durian runtuh” secara mendalam.

     Aku tidak bisa tidur. Eki dan  Papa Wani sudah tertidur dengan pulasnya. Kesunyian ini terasa aneh dan mencekam. Kucoba menenangkan diri dengan mendengarkan musik dari handphone pintar yang belum bertambah pintar ini. Sesekali aku mendapatkan ide, dan kucatat di note. Sesekali aku membuat rencana-rencana ke depan. Hanya itu saja yang kulakukan. Terakhir kulihat jam sudah lewat pukul 2 pagi. Aku harus bangun pagi untuk langsung mengajar kembali. Tiba-tiba saja aku terhanyut dalam kesunyian itu dan tertidur.

     Pagi-pagi esok harinya, kami mengumpulkan buah-buah yang terjatuh ketika kami tertidur. Tidak banyak. Hanya ada sekitar 10 buah. Seperti biasa, kami pun membuka dan langsung makan di tempat durian yang sudah terbelah. Banyak yang kami dapat. Namun, banyak juga yang kami makan. Kami membawa pulang 20 buah durian. Perjalanan pulang lebih merepotkan karena harus menenteng durian tersebut. Tak ingin kuceritakan berapa kali durian itu terjatuh di tengah perjalanan.

Inilah sepenggal cerita yang terjadi dalam satu hari di hidupku. Tidak ada perencanaan jauh-jauh hari sebelumnya untuk hari ini. Namun, ini adalah cerita yang kupilih sendiri secara tiba-tiba untuk mengisi hari ulang tahunku. Hari yang penuh cerita. Dan juga makna.


Cerita Lainnya

Lihat Semua