24 November (part - 1)
Novianus Efrat 24 November 2011Aku selalu ingin membuat hal yang pertama menjadi sesuatu yang “wah”. Sama halnya ketika aku memutuskan untuk menjadi Pengajar Muda sebagai awal dari karirku. Begitu juga dengan tulisanku ini. Ada beberapa orang yang selalu bertanya, mana “blog”-mu? Atau, mana ceritamu? Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan blog kujawab dengan enteng saja. “Belum ada sesuatu yang ‘wah’ untuk dibagikan”, jawabku pada mereka. Akhirnya ada juga cerita seru yang bisa kubagikan kepada kalian semua. Mungkin tidak cukup menarik untuk beberapa orang, tapi sangat berkesan untukku pribadi. Cerita ini terjadi saat hari ulang tahunku.
24 November 2011. Hari ini hari ulang tahunku. Boleh dibilang, ulang tahun pertama kali yang kurayakan tanpa keluarga dan kerabat dekatku. Hari ini juga, tepat aku berada di Tanah Mandar selama 3 minggu. Aku tinggal di Desa Tippulu, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Aku tinggal di desa yang begitu indah. Bagaimana tidak? Kau bisa membayangkan laut, pantai, gunung dan hutan. Semuanya tersedia di sini. Jalan poros menuju desaku menyusuri garis pantai dengan pemandangan yang begitu menenangkan hati.
Masuk ke desaku, berlawanan arah dengan pantai, berarti naik ke bukit. Di desa kami, setiap pekarangan rumah memiliki rumput yang biasa kita sebut dengan rumput Jepang. Menakjubkan bukan? Namun ada satu hal yang tidak bisa kudapat di sini. Signal. Ia manjadi sosok yang hampir punah di desa ini. Setiap rumah mempunyai handphone. Tapi, tidak ada signal yang tersedia. Handphone menjadi seonggok benda yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Di rumah tetanggaku, ada satu spot yang menyediakan signal. Begitu lemah signal di spot ini. Hidup segan, matipun tak mau. Peribahasa ini cocok untuk menggambarkan signal di spot ini. HP milikmu harus digantung di satu titik pada tiang pondasi rumah. Bergerak sekian milidetik saja akan membuat signal kembali kabur dan entah kapan kembali lagi. Sungguh, aku tidak melebih-lebihkan ataupun mengurangkan sesuatu dari cerita ini. Atau, jika kau cukup kuat, ada pilihan untuk pergi naik ke atas bukit yang menyajikan signal yang sedikit lebih baik. Tetapi, untuk mencapai bukit ini, kita harus mendaki dan menghabiskan waktu sekitar 40 menit pulang pergi dengan kecuraman yang pasti membuat otot betismu begitu kencang. Yang mana yang akan kau pilih, kawan?
Akhirnya, malam sebelum ulang tahunku aku memutuskan untuk berjalan ke atas bukit. Selesai mengajar kelas malam, aku dan Eki bersama-sama naik ke bukit untuk mencari signal. Eki merupakan adik dari Bu Juli, tetanggaku yang juga guru wali kelas 2 di sekolah. Keinginan kami sama, ingin mendapat kabar dari orang yang kami kasihi. Singkat cerita, kami sampai di bukit dengan bermodalkan senter. Di sini, sebelum kami asik dengan HP kami masing-masing, kami saling berbagi cerita dan bercanda. Eki pun lalu menelpon pacar barunya. Tidak ada teman mengobrol, aku pun mendongak ke atas. Begitu terkejutnya aku. Terhampar jutaan bintang di langit yang begitu cerah tanpa awan. Kegelapan malam tanpa lampu di sini menambah eksotis pemandangan ini. Sekejap hatiku terasa nyaman melihat ini semua. Sejauh mata memandang ke langit, berbagai penjuru dipenuhi oleh bintang-bintang. Banyak bintang yang tersenyum begitu berkilau. Ada juga yang malu-malu menampakkan keindahan cahayanya. Dan akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Orang yang kukasihi tiba-tiba menelpon dari seberang lautan sana. Ia pun menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Pertanda umurku sudah bertambah satu tahun lagi. Aku, dia, dan bintang-bintang. Bertambah sudah satu hal lagi yang tak mungkin terlupakan dalam hidupku.
Pagi harinya aku dan anak-anak bersiap untuk pergi jalan-jalan ke sungai. Anak-anak sudah siap dengan bekalnya masing-masing. Atas kesepakatan bersama, kami menggunakan baju bebas hari ini. Aku pun sudah siap dengan kamera di dalam ranselku. Di sini tidak ada yang tahu tanggal ulang tahunku. Aku memang sengaja mengajak mereka ke sungai ketika hari ulang tahunku. Mereka tidak tahu aku ulang tahun hari ini. Guru-guru di sekolahku pun tidak tahu. Begitu juga keluarga baru di rumahku. Aku secara sengaja menyembunyikan hal ini. Aku khawatir mereka akan repot-repot menyiapkan sesuatu untukku. Setelah mengoreksi PR yang kuberi sehari sebelumnya, kami pun bergegas pergi ke sungai.
Para guru selalu mengatakan bahwa sungai itu jauh. Ternyata tidak sejauh yang kubayangkan. Hanya sekitar 35 menit berjalan kaki. Namun medan yang ditempuh lah yang membuat perjalanan ini menjadi melelahkan. Naik turun bukit. Melewati kuburan. Menembus kebun coklat milik orang. Melewati kebun langsat juga. Akhirnya kami pun tiba di tempat bermain kegemaran anak-anak ini.
Anak-anak sudah tak sabar ingin terjun ke air sungai yang jernih. Kalau saja tak kuingatkan akan kesepakatan bersama supaya tidak turun sebelum mendengarkan penjelasan dariku, mungkin mereka semua sudah berada di dalam sungai sekarang. Selain refreshing, aku juga ingin mengajarkan satu hal kepada mereka yaitu tentang siklus air. Belum sempat kuulang kembali, mereka semua sudah berada di dalam air. Dasar anak-anak, kataku sembari menggelengkan kepala. Selagi mereka asyik berenang, aku pun mengambil kamera dan segera mengambil beberapa foto. Kuabadikan keceriaan mereka saat itu. Hatiku pun turut senang melihat mereka bermain air begitu lepasnya. Aku sedikit melamun saat melihat mereka. Entah apa yang kupikirkan.
Tiba-tiba dua anak membuyarkan lamunanku. Ayu dan Rini berkata kepadaku, “Pak, celang (ayo) buka tasnya”. “Celang, Pak, celang!”, ulang mereka. Aku mencium niat iseng mereka. Kutebak, mereka tahu aku ulang tahun hari ini. Mungkin Bu Juli ingat dan memberi tahu mereka. Kutanya mereka, “Kenapa?”. Hanya celang saja jawab mereka. Kali ini yang lain pun ikut menyerukan, “celang,celang!”. Kali ini, belum sempat kutanyakan “kenapa?”, cipratan air sudah mendarat di mukaku. Akhirnya aku bilang, “Baik, tunggu sebentar,ya. Bapak taruh tasnya dulu ya.” Seketika tas kutaruh, kubalikkan badanku. Seketika itu juga mereka langsung menyiramku sembari menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan nada versi mereka sendiri (baca: sumbang). Segera kulari mendekati mereka semua, masuk ke dalam sungai, dan membalas semburan mereka. Dalam hitungan detik, aku sudah basah kuyup. Aku tak menyiapkan pakaian ganti karena memang aku tak ingin masuk ke air. Namun, biarkanlah. Momen indah ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Untuk pertama kalinya aku membaur bersama mereka sebagai teman. Kami bermain air bersama. Mengadu siapa yang paling kuat tahan napas di dalam air. Juga balapan berenang. Kurasakan segenap hatiku begitu senang akan surprise dari mereka. Kami bermain sampai lupa waktu. Sampai kulit jari-jari kami mengerut. Sampai badan kami semua menggigil kedinginan.
(bersambung.......)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda