info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Jadi apapun itu, jadilah orang yang pintar dan baik

Furiyani Nur Amalia 7 Desember 2011

Tersebutlah sebuah desa yg sedang dilanda musim utara yg cuacanya sangat tidak menentu. Jika panas, panas sekali. Jika hujan deras, ia takkunjung berhenti. Ditambah lagi bunyi petir, ombak, gemuruh dan angin yang membuatnya menjadi lengkap. Seperti hari itu, mulai dari malam hari sampai pagi harinya, desa itu tak henti-hentinya diberikan berkah hujan deras. Bahkan matahari tak sedikit pun menampakkan sinarnya sepanjang harinya.

Seorang guru kebingungan hari itu. Jam 7 pagi masih nampak seperti jam 5 pagi. Masih gelap. Dan pada jam 7 pagi itu dia tidak mendengar derap langkah malaikat-malaikat kecilnya yang turun dari gunung. Rasa takut dan khawatir mulai dirasakan guru itu. Takut jalan licin di bukit, lalu muridnya terpeleset atau ada muridnya jatuh, atau bahkan karena cuaca buruk banyak muridnya yang sakit. Prasangka buruk bersarang di kepalanya. Semua kekhawatiran akan malaikat-malaikat kecil itu merasuki pikirnya. Namun, akhirnya guru itu memutuskan untuk tetap pergi tanpa ditemani jagoan-jagoan kecilnya. Ia harus ke sekolah cepat, lantaran hari ini UAS.

Gontai dan khawatir masih ada di benaknya. Namun, tak lama ketika guru tersebut mulai menapak kakinya ke arah tanjakan, dari ujung mulai terdengar tawa dan napas yang tak teratur dari ujung sana. Derap larian kaki sambil teriak khas anak-anak, memanggil nama guru itu. Nafasnya tersengol-sengol, tangan kanannya memegang daun pisang, tangan kirinya memegang sepatu di dalam tas kresek, entah itu keringat atau air hujan yang menetes deras dari kepala ke wajahnya. Yang guru itu tau, tas punggung mereka sudah basah air hujan.Dia pun berhenti menatap secercah cahaya tawa dan ketulusan di balik wajah mereka.

Lega, guru itu lega. Senyum-senyum itu seakan mengembalikan kelesuan dan kekhawtirannya. UAS pun berjalan dengan baju kuyup dan kaki telanjang. Guru itu benar-benar haru.

***

Sampai sore pun, hujan masih ingin berbagi berkat untuk desa itu. Namun, rumah kecil tempat guru itu tinggal sudah ramai dikerumuni bocah-bocah yg ingin belajar seperti biasanya. Riuhhh sekali. Tanya, canda, tawa, baca, semua bisa dilihat di rumah itu. Guru itu melihat murid2nya satu per satu, seraya membangunkan ingatan semacam absensi murid2 yang sudah datang. Laga, hanya satu orang saja yang absen.

Selang satu jam, berbagai pertanyaan, tatapan mata bingung, ayunan pensil dan goyangan kaki sambil tiduran di lantai dingin, kerutan dahi menghiasi pemandangan sore hujan itu. Soal latihan dan bukulah penyebabnya.

Tiba2 rumah itu dikejutkan oleh tangis isak seorang anak dari jauh. Ia menangis sesenggukan diantar ayahnya dari melaut. Bajunya basah kuyup hujan, badan dan tangannya mengkerut kedinginan. Dia tak henti2nya menyalahkan bapaknya yg membuatnya terlambat berangkat les. Dia menangis, karena dia tertinggal satu jam dengan temannya.

Sang guru memeluknya anak yang tak henti menangis. Bapaknya hanya menjelaskan seadanya. Bapaknya bilang, si anak sudah meronta ingin les. Guru itu hanya senyum sambil merangkul anak itu. Bapak itu lalu pergi.

Guru mempersilakan masuk anak itu, menenangkan dan menghibur lalu mengajaknya bicara. Suasana kembali tenang. Apalagi murid itu sudah bisa bercanda dengan teman yg lain.

Masih hujan. Dan saatnya les diakhiri, mereka harus pulang. Istirahat dan belajar di rumah untuk besok.Satu persatu murid2 meninggalkan rumah dengan senyum sapa dan salam yg khas. Bahagia sekali guru itu. Namun, ternyata masih ada satu yang tersisa. Anak yang terlambat itu tadi. Dia ingin mengajak bicara gurunya.

'Bu, saya ingin minta maaf kepada ayah saya'

'Kenapa, Nak?'

'Itu keinginan saya ikut melaut, karena saya harus bantu jual ikan untuk dijual buat beli buku tulis. Buku tulis saya habis'

Bu guru itu diam. Ia trenyuh. Anak itu melanjutkan

'Tapi saya menyalahkan Bapak,' menunduk dan sedih si bocah itu.

'Tidak apa-apa, kamu sudah benar mau mengakuinya'

'Bu, ketika semua teman-teman saya bercita2 ingin jadi dokter atau tentara, saya tidak ingin jadi apa-apa. Saya hanya ingin jadi nelayan. Jadi nelayan seperti ayah saya. Apa ada yang salah Bu jika saya jadi nelayan?'

Guru itu diam. Percakapan singkat itu membuat guru itu menarik nafas panjang lalu ia berpikir sambil melihat tatapan sayu anak didiknya.

'Nak, jadi apapun kamu nanti. Setinggi apapun kamu nanti, jadilah kamu orang yg baik dan pintar. Kalau jadi dokter, jadilah dokter yang pintar dan baik. Jadi polisi, jadilah polisi yang baik dan pintar. Jadi nelayan juga jadilah nelayan yang baik dan pintar. Sekolah lah yang baik dan pintar, kelak kamu harus jadi orang yang baik dan pintar pula.'

Murid itu diam.

'Saya tidak ingin jauh-jauh ke tanah itu. Saya ingin di sini, di sini saja. Akan saya jadikan di sini seperti di sana,' jawabnya sambil meringis dan tertawa.

Guru itu hanya bisa mengusap kepalanya, seraya menyuruhnya pulang. Karena hari sudah hampir gelap. Kemudian, guru itu hanya menatap dari jauh kepergian muridnya yg dengan kakinya yg sedikit berirama. Mungkin tanda dia senang.

Hari ini sempurna bagi guru itu. Dia banyak belajar dari kegigihan, ketangguhan, dan kejujuran muridnya. Bahwa jadi apapun kita nanti dan sekarang. Jadilah orang yg baik dan orang yg pintar. Karena dari situlah sebenarnya kunci keistiqomahan itu sendiri.

***

Menjelang maghrib

Beengdarat, ujung utara Indonesia


Cerita Lainnya

Lihat Semua