info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Terlalu Lekat Dilepaskan

Pemi Lestari 6 Desember 2011

“Mereka yang lolos seleksi, adalah mereka dengan kemauan yang tinggi”

Beberapa anak terlihat menenteng buku tulis dan pensil di dalam kantong plastik hitam. Saat itu baru saja lewat sedikit dari tengah hari, anak-anak itu berjalan menuju satu tempat yang sama, sekolah. Saya sedang berjalan pulang dari sekolah ketika berpapasan dengan mereka di jalan. Heran melihat anak-anak sepulang sekolah dengan baju bebas menenteng buku tulis menuju sekolah. Mereka adalah anak kelas rendah yang memang pulang lebih awal dari anak-anak kelas tinggi. Ternyata mereka hendak mengikuti les tambahan baca yang baru akan dimulai sekitar satu setengah jam lagi. Semangat betul berangkat jauh sebelum waktunya.

Padahal sayalah yang menginisiasi jam tambahan membaca tersebut. Setelah mendapati anak-anak kelas 2 belum bisa membaca, sehingga saya menemukan tambahan kesulitan ketika mengajar mereka, meski pelajaran saya adalah matematika.Dan sayapun menyadari banyak anak belum bisa membaca, termasuk yang di kelas tinggi. Tapi saya tidak menyangka anak-anak yang saya temui di jalan itu ternyata hendak mendatangi kelas tambahan saya tersebut. Apalagi saat itu bahkan saya sendiri baru saja akan pulang dari sekolah (dan kemudian akan berangkat lagi setelah waktunya tiba).

Ketika saya akan berangkat kembali dari rumah, di jalan juga masih banyak ditemui anak-anak berjalan kaki, dengan penampilan mirip-mirip dengan yang tadi berpapasan dengan saya di jalan, baju bebas, sandal, kantong plastik berisi buku dan alat tulis. Lokasi yang mereka tuju sama dengan saya, sekolah. Saya berseloroh pada tetangga yang hari itu memberi tebengan pada saya, “kalau melihat anak-anak jam segini jalan menuju sekolah, bisa ditebak mereka itu adalah anak-anak yang belum bisa membaca”. Si tetangga sayapun berseloroh pula pada anaknya “itu pasukanmu ya Dul, panglimanya siapa?” (anaknya juga berangkat ke sekolah untuk les baca).

Begitu sampai di sekolah puluhan anak sudah berkumpul. Antusiasme terlihat di wajah mereka. Semangat ikut “les”, mereka sendiri yang menamai kegiatan ini sebagai les, saya tidak pernah menyebutnya begitu di awal. Seorang guru PNS menjadi partner saya dalam mengelola jam tambahan membaca ini. Tidak lama kemudian, dari SDN 2 Langkahan, di siang hari, terdengarlah suara anak-anak yang mengeja huruf dengan keras-keras. Mereka semangat belajar membaca.

Namun ini adalah cerita lama. Tulisan ini pernah hendak saya tuliskan dulu. Draftnya tersimpan sejak bulan oktober dan tak sempat saya selesaikan. Suasana seperti ini terlihat di bulan oktober. Kini, 2 bulan sejak saat itu, suasanya tidak lagi sama. Itulah pula sebab draft ini tak pernah terselesaikan.

Semangat anak-anak belajar membaca ternyata tidak berlangsung lama. Di awal, ada 40an anak hadir. Tapi semakin lama, semakin surut angka kehadirannya. Alasan anak-anak bermacam-macam, alasan klasik di SDN 2 Langkahan ini, alasan yang kerap dipakai, “banyak pekerjaan bu”, “rumah saya jauh bu”, “ga dikasih uang sama ayah”, dll. Ditambah kemudian partner saya sakit, saya punya urusan di kota Lhokseumawe yang tidak bisa ditinggalkan, les baca beberapa kali diliburkan. Setelah libur, peserta berkurang. Kemudian musim hujan datang, maka anak-anakpun nihil kehadirannya. Les baca di siang hari, tak pernah seramai dulu lagi. Kemudian libur idul adha, saya cuti dan pulang ke jakarta, maka les baca diliburkan kembali. Semangat anak-anak itu, meredup dan semakin meredup nyaris mati.

Dengan kehadiran yang bisa dihitung jari, partner sayapun jadi malas untuk datang lagi. Dia mengusulkan pada saya untuk menghentikan saja les ini, karena sudah capek-capek datang tapi anak-anaknya tidak ada. Saya lapor ke kepala sekolah, ttapi tidak menemukan solusi yang benar-benar mengena. Kalau dipikir malas, tentu saja rasanya malas. Sudah berjalan kaki sejauh 1 km dari rumah di siang hari terik, sampai di sekolah hanya beberapa gelintir anak yang datang. Andai saya tetap di rumah, saya bisa melakukan aktivitas lain, atau istirahat tidur siang. Jauh lebih menyenangkan secara duniawi. Hehe. Tapi saya teringat mereka, yang belum bisa membaca padahal sudah kelas 4 bahkan 5. Kalau les baca ini saya akhiri, adakah yang lain yang mau peduli dan memfasilitasi anak-anak ini? Ah, tapi bahkan anak yang mau difasilitasi inipun tidak peduli. Untuk apa saya melelah-lelahkan diri sendiri?

Tapi tenang saudara-saudara, saya tetap melanjutkan les baca ini. Karena kalau dipikir-pikir sepertinya sayalah yang belum berusaha optimal dalam menyelenggarakannya. Saya belum memuntahkan semua amunisi, masih ada senjata rahasia yang belum digunakan. Hehe. Jadi menyerah adalah kalah, perang masih bisa dilanjutkan.

Sebenarnya sepinya les baca ada hikmahnya, karena guru-guru jadi lebih perhatian pada murid-muridnya yang belum bisa baca. Mereka jadi tidak bisa mempercayakan belajar baca pada les, karena toh anak-anaknya tidak ada yang datang. Anak-anak yang minim kemampuan bacanya dipanggil ke kantor dan diberi ekstra tambahan belajar membaca oleh wali kelas ybs. Baguuuus. Meskipun ini juga tidak rutin, dan tidak terlalu efektif, yah, setiap hal baik perlu disyukuri bukan? Oleh karenanya les baca siang hari tetap jalan, berapapun anak yang hadir. Anak yang semula rajin sekarang tidak datang saya hampiri satu per satu. Saya mulai home visit, berbicara dengan orang tua mereka langsung. Hasilnya, yah, tetap sedikit juga. Hehe.

Pernahkah anda mendengar tentang seleksi alam? Bahwa yang kuatlah yang akan tetap bertahan? Saya merasa seleksi alampun ada di kelas les baca ini. Anak-anak yang tetap hadir meski bisa dihitung jari adalah mereka yang benar-benar niat, yang memang beritikad baik, yang memang ingin, untuk belajar membaca.

Pernah suatu hari saya dibuat terharu, dulu waktu anak-anak masih banyak mereka senang kalau les baca sudah selesai. Tapi anak-anak terseleksi alam ini, waktunya sudah selesai, semua anak sudah mendapat giliran membaca. Saya bilang pada mereka, “sudah boleh pulang, tapi kalau masih ada yang mau baca lagi, boleh kesini”, ternyata responnya membuat hati saya ingin melompat, semua dari mereka bilang dengan semangat “saya mau baca lagi buuu!”.

Mungkin aktivitas ini efektif bagi mereka si terseleksi itu, tapi tidak efisien. Saya beberapa hari terakhir ini sedang banyak berfikir, bagaimana mengifisienkan aktivitas-aktivitas ini (belajar baca dan belajar di balai) karena semua permasalahannya sama, partisipannya sedikit. Saya jadi teringat seorang teman pernah bercerita, waktunya banyak habis untuk beberapa kegiatannya di desa, sampai-sampai tidak punya waktu luang, tapi kegiatannya tersebut dirasa tidak strategis olehnya. Atau teman saya yang lain juga cerita, nasibnya mirip dengan saya, “anak-anak yang dateng baca makin sedikit. Rugi di aku, mending aku ikut ibu-ibu kumpul”. Saya juga beberapa kali berpikir begitu, apa baiknya saya hentikan saja, dan memilih mencari aktivitas lain?

Siang ini luar biasa, sepanjang jalan saya sedang memikirkan hal ini. Hari ini, untuk pertama kalinya saya memindahkan jadwal les baca yang semula selasa-kamis-sabtu, jadi senin sampai kamis. Jadi untuk pertama kalinya hari senin ada les baca. Sepanjang jalan saya cemas adakah anak yang datang, apakah mereka ingat kata-kata saya di pertemuan terakhir. Ketika sampai di sekolah, ini selalu saya lakukan semenjak les baca jadi sepi, sebelum masuk hal pertama yang akan saya perhatikan dengan seksama adalah keberadaan sandal-sandal di luar kelas. Ternyata ada! Mereka datang! Mereka ingat perubahan jadwal yang saya buat! Dan seperti biasa, ketika saya sampai mereka bersorak “ibu ludi dataaang!”.

Ah, meski cuma sekitar 5-6 orang yang hadir-dari seharusnya 40 lebih-, tapi bagaimana mungkin saya menghentikan kegiatan ini? Meski hanya mereka dan mereka lagi yang hadir, bagaimana mungkin saya tidak melanjutkan les baca ini dan memotong antusiasme mereka tiap mereka maju ke halaman berikutnya? Bahkan tadi di jalan, saya ditanya oleh seorang ayah dari rumahnya “bu, Fazhil harus bawa buku atau tidak?!”, setelah sekian lama ikut les baca, akhirnya ayahnya peduli dan memperhatikan apakah anaknya perlu membawa buku, maka bagaimana mungkin saya bisa bilang “rugi di aku”?

Tadi siang seorang anak bertanya “singoh hana jak les bu?”, dan yang menjawab adalah teman-temannya yang lain “na!”. Mungkin keputusan saya terasa aneh, sudah tahu anak yang datang cuma sedikit sekali, saya malah menambah frekuensinya. Semula 3 kali seminggu sekarang jadi 4 kali. Tapi tahukah kawan, ketika saya ingin mengubah jadwal ini saya tanyakan dulu pada mereka, “mau tidak kalau lesnya jadi 4x seminggu?”, dan mereka sendiri yang menjawab “mauuu!” dengan kerasnya, dengan sukarela, tanpa dipaksa. Maka bagaimana mungkin saya menghentikannya?

Merekalah pasukan saya yang tersisa, pasukan pilihan, yang telah melewati seleksi dengan sendirinya. Dulu saya menamakannya pasukan BBB (belum bisa baca), sekarang saya ganti kepanjangannya jadi pasukan Bersemangat Belajar Baca.

Keep moving forward anakku..aku menantikan hari-hari kalian membacakan cerita, untuk ibu

 

Terjemahan:

Singoh hana jak les bu?: besok tidak ada les bu?

Na: ada

 

Salam "ini ibu ludi" dari barat Indonesia,

 

Pemi Ludi


Cerita Lainnya

Lihat Semua