Catatan dari Papua (3): Generasi Karbit-an

Raden Roro Cahya Wulandari 24 Juli 2011
Dulu, sewaktu jadi relawan korban bencana letusan gunung berapi di Magelang, saya melihat kebun-kebun salak penduduk rusak berat. Dedaunannya rubuh, demikian juga dengan batang pohon. Amburadul. Melihat itu, saya pernah bertanya pada seorang Bapak “Bagaimana dengan buah salaknya yang di dalam tanah? Apakah rusak juga?”. Bapak itu menjawab “Ada yang rusak, tapi ada yang tidak. Kalau belum rusak dan masih belum matang, kita ambil lalu kita karbit agar cepat masak”. Dan itu adalah kali pertama saya mendengar istilah karbit. Sejauh yang saya pahami dari cerita pada petani salak, itu adalah cara pemasakan paksa. Sehingga rasa buah pun akan sangat berbeda dengan buah yang masak di pohon. Kulit daging buah akan pucat dan rasa manisnya akan sangat berkurang. Karbit-an adalah istilah bagi buah-buah hasil pemasakan paksa. Seperti halnya buah yang dipaksa agar segera masak, anak-anak di sini pun sering kali dewasa sebelum waktunya. Mereka dipaksa dewasa karena kondisi dan karena pendidikan yang belum mencukupi. Contoh dewasa karena kondisi adalah menikah pada usia yang terlalu muda. Lima belas tahun atau kurang. Kapan lalu saya bertemu perempuan muda. Tujuh belas tahun ia punya usia. Anaknya sudah tiga. Jika dihitung mundur, bisa diperkirakan usia berapa ia menikah. Contoh dewasa karena pendidikan yang belum mencukupi adalah tingginya kasus married by accident, tentunya karena pendidikan sex education dan agama yang mungkin belum dipahami betul. Dan hari itu saya melihat contoh lain. Saya jadi saksi mata. Karbit itu bernama Sinetron. Malam itu saya makan agak terlambat bersama Kak Eka. Setelah makan, saya keluar ke ruang tengah untuk melihat anak-anak yang bergerombol melihat televisi. Dengan ramah saya tanya, nonton apa: “sinetron ... “ kata mereka. Mata melirik ke televisi, dan memang itu yang mereka tonton. Ada sekitar lima anak di sana. Dua perempuan, tiga laki-laki. Yang paling tua besok sudah kelas 1 SMP, yang paling kecil 5 tahun. Tanpa ada orang tua yang menemani mereka di sana, menontonlah mereka sinetron itu. Siapa sih yang tidak tahu kualitas sinetron kita? Tanpa mengurangi rasa hormat, mungkin memang ada yang cukup baik dan sarat dengan nilai pendidikan. Tapi sinetron malam itu tentang anak-anak SMA yang berpakaian ketat dan mini. Anak-anak SMA yang sedang jatuh cinta dan berciuman. Adegan nya pun luar biasa mesra. “eh eh tutup matanya” saya berseru pada anak-anak itu. Sambil salah tingkah sendiri mencari remote televisi untuk mengganti channel. Esoknya saya cerita kepada salah satu dari orang tua anak tersebut tentang apa yang saya lihat malam itu. Pelan-pelan dan sangat halus saya pendekatan dengan orang tua untuk mau memperhatikan anaknya, atau setidaknya jangan memperbolehkan terjaga sampai larut sehingga bisa menonton acara dewasa begitu. Ibu itu hanya menjawab: “ah, disini su biasa Ibu”. Tanpa rasa khawatir, tanpa sedikit saja garis-garis wajah yang memancarkan kepedulian. Saya berkata dalam hati; baiklah, tidak apa-apa, tapi nanti malam akan aku temani anak-anak itu menonton televisi. Akan ku coba ajak mereka nonton berita atau yang lain. Apapun selain karbit sinetron itu lagi. Jika diumpamakan dengan pohon, anak adalah buah dan hasil dari pohon itu. Guru dan orang tua adalah petaninya. Mereka yang merawat, memupuknya dengan ilmu pengetahuan, menyiraminya dengan kasih sayang, menjaganya dari segala ancaman dari luar. Kemudian menunggu waktu yang tepat hingga ia masak. Bukan sebaliknya, membiarkan ia masak karena hasil karbit-an.

Cerita Lainnya

Lihat Semua