Catatan dari Papua (1): Kembali Ke Urat!

Raden Roro Cahya Wulandari 24 Juli 2011
Tiga setengah pekan sudah aku melalui hari pasang surut antara sakit dan sembuh di ibu kota kabupaten Fak-Fak.. Malam ini, malam pertama aku tidur di Urat kembali. Sudah lama rasanya laut dan langit Urat memanggilku untuk kembali. Senyuman anak-anak dan semangat mereka membuat ku terharu manakala aku turun dari perahu Johnson dua mesin yang mengantarkanku tak kurang satu jam. Rupa rupanya masyarakat sudah mendengar kabar bahwa ibu guru (panggilan mereka untuk ku) terlah berkenalan dengan penyakit endemik malaria. Antara canda dan haru mereka menyambutku dan melarang aku membawa barang-barang ku yang jumlahnya tiga kardus itu. Aih, malunya aku jadi ratu begini. Harusnya aku yang memberi manfaat pada mereka, harusnya aku yang membantu mengenalkan dunia pada mereka. Harusnya aku yang menyentuh mereka dengan kasih sayang. Hari ini aku sadar, bahwa mereka lah yang sebenarnya adalah guru bagiku. Ketulusan dan kasih yang mereka ajarkan padaku seolah menjadi teguran yang membisikkan kesadaran bahwa di sini lah aku harus banyak belajar dari mereka. Maka ucapan Pak Anies Baswedan waktu di Bogor dulu terngiang di kepalaku: ...”Mengajar di sana satu tahun bukanlah pengorbanan, melainkan sebuah kehormatan...”. Benar saja, aku merasa begitu terhormat dapat mengenal dan tinggal dengan masyarakat Urat. Mungkin memang belum kutemukan pengalaman bertemu orang jahat di sini, dan semoga tidak. Namun kawan, apalah arti satu dua orang yang berniat jahat, dibandingkan dengan orang-orang di hadapanku ini? Jangan dulu pusingkan mereka, manakala banyak jiwa-jiwa tulus menyambut mu dengan tangan terbuka. Urat, 8 Juli 2011 Saya di kamar tidur baru dan ditemani lampu pelita

Cerita Lainnya

Lihat Semua