18 Juni 2011: Catatan yang terlambat diketik -PERTEMUAN AWAL-

Raden Roro Cahya Wulandari 24 Juli 2011
“Being a teacher is all about consistency, persistency, and love” -          Terlintas begitu saja di dalam pikiran. Juli 2011 Ini hari keduaku di Desa Urat, Fak-Fak Timur. Malam ini terasa begitu syahdu ... aku dalam temaram pelita, teringatlah tentang kejadian hari ini. Pagi itu kubuka pintu rumah orang tua angkatku di sini. Langit cerah menyambutku ramah. Lautan berbisik-bisik entah apa lewat ombaknya. Menjelang siang, aku, Ibu Hamindan, dan Una pergi melepas Pak Mujid untuk menjemput istrinya di Ambon. Aku harap-harap cemas seperti apakah wajah ibu angkatku itu. Sebelumnya, ia harus ke desa seberang selama beberapa hari. Rupanya akan ada imam baru yang akan diangkat. (Iman adalah sebutan untuk tokoh agama beragama Islam). Maka berangkatlah kapal penuh berisi orang itu. Usai pelepasan, aku melangkah ke rumah-rumah tetangga. Menyapa mereka, ikut aktivitas mereka, memotret mereka, lalu menunjukkan hasil jepretanku. Rupanya dengan begini, kami bisa bicara banyak hal. Tentang Urat, tentang anak-anak mereka, dan tentang harapan orang tua supaya anaknya bisa sekolah tinggi. Namun sayangnya tak semua orang tua demikian. Di beberapa rumah, orang tua sebagai agen utama pendidikan justru belum menyadari pentingnya bersekolah. Usia delapan tahun seringkali baru dimasukkan ke kelas 1, sehingga lepas sekolah dasar usia mereka sudah hampir lima belas tahun. Belum lagi keluhan para orang tua tentang guru yang sering sekali meninggalkan tugas mengajar dan lebih memilih berlama-lama di kota. Libur lebaran yang hanya tiga hari bisa jadi satu minggu karena guru-guru belum ke desa. “Biasanya alasannya ombak tinggi, belum bisa lewat”. Tutur seorang Bapak bercerita. Aku sementara ini hanya mengangguk-angguk saja sambil mencoba menggali lebih banyak informasi. Rupanya banyak juga guru yang memanfaatkan mengajar di desa sebagai upaya cepat mendapatkan SK PNS. Kalau SK PNS sudah turun, barulah mereka minta ditempatkan di kota. Alhasil, desa menjadi kekurangan guru. Di SD Inpres Urat sendiri jumlah guru termasuk kepala sekolah ada lima. Ditambah aku nantinya, berarti ada enam. Tidak semua guru PNS, ada Pak Saleh, guru agama yang masih honorer. Dari kaca mata guru, mereka menilai orang tua malas untuk membina anak-anak untuk belajar. Sehingga sebaik apapun anak-anak diajar di dalam kelas, di rumah anak tetap tidak belajar. Selain itu, anak-anak disini harus diberi kekerasan karena jika tidak mereka akan membandel. Hmm ... persepektif tentang kekerasan ini adalah salah satu yang aku paling tidak setuju. Tapi ya sudah. Aku anggukan kepala saja, enggan membuat guru di depanku ini merasa ditentang. Ada waktu sendiri untuk mengubah sebuah kebiasan. Dan itu bukan lewat lisan, tapi lewat perbuatan. Hhh..memang benar, bahwa pendidikan sudah punya segudang masalah. Bahkan di desa kecil ini pun, permasalahan sudah menumpuk. Sebuah permasalahan yang saling berkaitan. Seperti yang selalu diajarkan kepada kami saat pelatihan, bahwa satu tahun di daerah penempatan, tugas kami bukanlah mencari kambing hitam, sebaliknya, tujuan kami ialah perlahan-lahan menciptakan jalan keluar bersama masyarakat asli di sana. Mari mulai berhenti menyalahkan orang lain dan berbuat sesuatu yang nyata.

Cerita Lainnya

Lihat Semua