info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Diplomasi Makan Siang ala Jokowi; Trust Me, It Works!

R. Dhimas Utomo 17 Januari 2013

Dalam ekonomi, kita tidak asing dengan istilah opportunity cost. Untuk meraih sesuatu, biasanya kita mengorbankan sesuatu yang lain. Konsep ini, dalam istilah yang lebih populer dikenal dengan TANSTAAFL (There ain't no such thing as a free lunch). Istilah ini dipopulerkan oleh peraih nobel di bidang ekonomi dari University of Chicago Milton Friedman. "The term means that nothing is free, and if something seems free, it's just that you're getting charged through a back-door means." Konon, istilah "free lunch" itu sendiri bermula dari kebiasaan pengelola bar di Amerika memberikan makanan gratis kepada para pelanggannya. Makanan yang diberikan adalah makanan-makanan yang cenderung asin/gurih (ham, cheese, salted crackers), yang menstimulasi pelanggan untuk minum bir lebih dan lebih lagi. Makanannya memang gratis, tetapi tidak untuk minumannya. Bagi pengelola bar, orientasinya profit semata. Yang gratis pun ternyata tidak benar-benar gratis. 

Dan memang benar, sejak dulu, meja makan dan peristiwa makan-memakan ternyata telah menjadi media diplomasi yang ampuh untuk meraih tujuan tertentu. Sampai hari ini pun masih demikian. Misalnya, seseorang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk sebuah jamuan makan dalam rangka proses lobi, demi mulusnya jalan sebuah proyek.

Joko Widodo, alias Jokowi, pun ternyata menggunakan jurus ini sebagai andalannya. Dalam sebuah buku yang memuat kisah hidupnya, tercatat bahwa Jokowi menggunakan media makan siang sebagai ajang diskusi untuk melobi 989 pedagang kaki lima yang akan direlokasi. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi menjamu para pedagang kaki lima tersebut hingga 54 kali. Ia pasti telah menghitung opportunity cost-nya. Akhirnya, relokasi berjalan lancar dan tertib. Atas pemindahan pedagang yang berlangsung aman dan tertib itu pemerintah kota mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan predikat pembangunan kios terbanyak yang diperuntukkan bagi pedagang kaki lima. Pada kisah yang lain, diceritakan bahwa dulu ketika masih menjabat sebagai manajer produksi di sebuah perusahaan, Jokowi biasa menegur beberapa karyawan yang tidak tertib dengan cara mentraktir mereka di restoran yang mahal, tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Tindakan itu sepertinya terlihat konyol dan rugi, tapi ternyata cara tersebut tetap mencapai tujuannya. Karyawan nakal tersebut justru menjadi luar biasa malu dan pada akhirnya menunjukkan perubahan sikap kerja yang positif di pabrik. Di bagian lain, tercatat pula bahwa Jokowi pernah melobi wakil menteri perhubungan dengan santapan soto pinggir jalan dengan suasana santai merakyat. Terlepas dari kurang lebihnya, pada konteks tersebut cara itu berhasil.                

Pendekatan-pendekatan di atas yang berujung pada sebuah keberhasilan, kemudian menginspirasi kami, guru-guru di Wadankou, untuk menduplikasinya. Masih segar dalam ingatan saya, 28 Agustus 2012, itulah pertemuan perdana saya secara resmi dengan pihak sekolah, di mana saya menyerahkan surat tugas saya sebagai pengajar muda, dilanjutkan dengan rapat koordinasi awal semester yang sebenarnya sudah terlambat. Pada saat itu suasananya jauh dari kesan formal. Yang kami lakukan adalah duduk melingkar di atas tikar di emperan sekolah, membahas ini dan itu, sambil minum es kelapa muda, diselingi guyonan khas daerah timur. Pada beberapa kesempatan lain, kami cukup sering makan siang bersama, baik di sekolah, di rumah salah satu guru, maupun di pantai, sambil bercengkrama. Kami mendapati bahwa informasi-informasi esensial justru muncul lebih sering dalam pertemuan informal ketimbang di rapat-rapat resmi. Dan, pada saat itu komitmen-komitmen bersama terbangun secara tak terduga. 

Kami juga sedang mencoba membangun saluran komunikasi lintas pemangku kepentingan yang lancar bebas hambatan (baca: tidak tersumbat). Karena itu, setiap mengadakan rapat, kami selalu berusaha menghadirkan semua unsur terkait untuk mendengar masukan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, yang justru akan memperkaya pertimbangan sebelum mengeksekusi sebuah keputusan.

Cara tersebut kami nilai cukup efektif, meskipun pada awalnya belum ada keputusan yang dieksekusi tetapi paling tidak kami semua berkumpul dan saling mendengar. Semuanya harus terlibat. Kami percaya, bahwa kami akan segera melihat perubahan entitas perilaku yang positif.   

Dalam perenungan akhir tahun sekaligus akhir semester pertama, kami telah belajar bahwa komitmen itu urusan hati. Karena itu, untuk mendapatkan komitmen seseorang, very first of all, kita perlu mencoba pendekatan dari hati ke hati. :)

Wadankou, Desember 2012

-USD-


Cerita Lainnya

Lihat Semua