Merica dan Pendidikan Lalomerui

Putri Monalisa 10 Januari 2021
“Jika pohon memerlukan akar untuk dapat membantunya berdiri kokoh maka pendidikan di desaku memerlukan merica sebagai penyokongnya.” Desa Lalomerui tempatku mengabdikan diri hampir 11 purnama ke belakang dianugerahi oleh sumber daya alam berupa perkebunan merica yang sangat luas. Jika kamu berkesempatan untuk mengunjungi desa ini maka sejauh mata memandang kamu akan menemui hamparan tiang-tiang kayu besi yang dikelilingi oleh tumbuhan yang memiliki biji bulat bersusun seperti anggur. Sepertinya hampir semua masyarakat desaku memiliki merica baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit. Mama dan Bapak piara tempatku tinggal di desa juga mempunyai kebun merica. Awal kedatanganku di Lalomerui pada bulan Agustus lalu disambut dengan musim panen merica. Bulir-bulir hijau sudah mulai bergelantungan di pohon-pohon merica. Semua masyarakat sibuk di kebun mulai dari menyiram, memberi pupuk hingga memanen merica yang sudah masak. Biasanya merica yang dipetik merupakan merica yang telah berwarna kuning kemerahan. Dari bulir-bulir merica ini harapan untuk dapat bersekolah ditawarkan kepada anak-anak Desa Lalomerui. Dari hasil penjualan merica ini jugalah orangtua muridku mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari termasuk kebutuhan akan pendidikan anak-anaknya. Tidak jarang pula anak-anak muridku juga ikut pergi di kebun sepulangnya dari sekolah apalagi ketika musim panen tiba, banyak dari mereka yang bahkan ikut tidur di kebun bersama oranngtuanya. Aku tak ketinggalan, beberapa kali sepulang sekolah aku mengikuti mama memanen merica yang berada di dekat rumah kami. Pagi itu aku memulai kegiatan seperti biasa. Bangun tidur aku langsung membantu mama di belakang, memasak untuk sarapan pagi itu. Mama memasak nasi kuning makanan kesukaan ku yang hampir setiap pagi disugguhkan mama. Tiba-tiba bapak memanggil ku dari ruang tengah, ku saut dari dapur dengan nyaring. “Bu guru, ada pi yang cari kita, teriak Bapak”. “Ohh iya pak, sautku”. Sebelum aku menuju ruang tengah ternyata yang mencari ku sudah tiba duluan di pintu dapur. “Ohh Nayen, kenapa kah Nayen?, tanyaku”. Pagi itu ternyata tamunya merupakan Nayen, anak muridku yang kini duduk di kelas 5. Langsung ku hampiri ia di pinggir pintu dapur tersebut. Sambil menunduk, ia sambil takut-takut berkata kepadaku. “Bu guru sa mau minta izin sama kita, ucap Nayen”. “Mau kemanakah? Jawabku”. “Sa mau ikut mama pi kebun bu guru. Tapi bu guru…ucapnya”. “Tapi menginap, lanjutnya”. Aku sudah paham menginap dalam artian disini bukan hanya tentang satu malam saja. Paling tidak 3 hari lamanya yang dimaksud disini. Perkara meliburkan diri untuk pergi ke kebun juga sebenarnya bukan hal pertama yang ku hadapi selama di sini. Beberapa kali bahkan aku harus merelakan anak muridku untuk tidak masuk sekolah. Seringkali ku cari jalan tengahnya dengan mengizinkan mereka pergi ke kebun ketika hari sabtu siang sepulang sekolah sehingga mereka tetap bisa menginap di kebun hingga keesokan harinya. Namun dalam situasi yang sangat darurat aku tidak bisa melarang mereka untuk tidak bisa ikut. Pendekatan dengan orangtua merupakan upaya yang ku lakukan agar mereka tetap mengizinkan anaknya bersekolah. Jika tidak mempan juga ku bekali anak-anak muridku dengan buku bacaan ataupun tugas sebagai teman mereka di kebun agar tetap tidak ketinggalan pelajaran. Merica memegang peranan penting untuk menunjang berbagai sektor di Lalomerui mulai dari ekonomi hingga pendidikan. Namun harga merica yang anjlok hingga sampai Rp. 30.000 per kgnya membuat petani merica hanya bisa memasrahkan diri. Ada yang sementara di simpan sambil sambil menunggu harga merica naik barang seribu dua ribu, ada juga yang tidak ada pilihan karena kebutuhan yang mendesak sehingga harus menjual merica dengan harga murah. Harapku tak banyak semoga dari kelas kecil yang ku temani selama satu tahun kebelakang ada sosok pembaharu yang bisa mengangkat kembali nilai merica di masa depan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua