Cita-cita

Putri Rizki Dian Lestari 3 Agustus 2011
Masih cerita di hari pertama, usai pemilihan Presiden, aku meminta murid-muridku menuliskan cita-cita mereka. Tidak semua kenal kata cita-cita. “Apa bu, cita-cita?’ tanya Linda. Sedih rasanya mengetahui anak-anak kelas enam tak mengetahui arti besar sebuah cita-cita. Mereka belum diajarkan untuk bermimpi. Namun disatu sisi aku bahagia, punya kesempatan menjadi yang petama bercerita tentang cita-cita. Aku mulai cerita dengan menanyakan pekerjaan orang tua mereka, Ayah Yuyun, Linda dan Nain bekerja di Malaysia, mereka tak tahu apa yang Ayah mereka kerjakan, dugaanku adalah Tukang Bangunan seperti kebanyakan perantau asal Bawean lainnya. Orang Tua Sulis adalah seorang petani dan peternak, Padi dan hasil ternaknya hanya cukup untuk makan keluarga. Ayah Ulil adalah satu-satunya yang punya mobil Kol, beliau adalah supir yang setiap pagi mengantar Ibu-ibu ke pasar. Terakhir, Ayah Irfan, seorang Tukang Pijet dan Tuna Netra. Ku bercerita sedikit tentang perjalanan cita-citaku, sampai akhirnya aku menjadi seorang Guru di Dusun mereka. Aaku juga ceritakan beberapa pekerjaan yang bisa mereka temui di Pulau mereka, juga pekerjaan-pekerjaan lain di Dunia. Ku katakan pada mereka “Kita harus memiliki mimpi, harapan dan cita-cita untuk senantiasa bersemangat setiap hari, karena setiap Pekerjaan baik yang kita jalani akan membuat kita dan sekitar kita bahagia” Ku beri crayon dan kertas metaplan, ku minta mereka menulis juga menghias kertas cita-cita mereka di sana, tidak lupa dengan alasannya,  mengapa cita-cita itu terlintas di benak mereka. Dalam 30 menit, lahirlah cita-cita ke tujuh muridku. Sulis dan Yuyun ingin menjadi Dokter, alasan Yuyun membuatku terenyuh, Ibunya sedang terbaring sakit, dan suatu saat ia ingin menyembuhkan ibunya yang ada di Malaysia.  sedangkan Nain ingin menjadi Guru supaya anak di Dusun Tana Rata bisa belajar kapan saja. Maklumlah, sebelum kedatanganku, tidak ada Guru yang tinggal di Dusun Mereka. Ulil bercita-cita ingin menjadi Pemain Sepak Bola, alasannya sederhana, ia ingin Tim Nasional Indonesia bisa mengalahkan Malaysia, tebakanku Ulil masih kecewa atas kekkalahan TimNas Indonesia di Final Piala AFF lalu. Teman, yang paling ku banggakan, walau mereka setengah orang produktif di dusun mereka tinggal di Negeri seberang, lebih sering menggunakan pakaian tradisional Negara tetangga itu, lebih kenal kota Penang dari pada Padang, mereka selalu bangga jadi orang Indonesia. Linda mempunyai cita-cita yang sangat sederhana, ia hanya ingin terus bisa melanjutkan sekolah. Bagi anak-anak Tanah Rata, melanjutkan pendidikan ke SMP atau SMA bukanlah suatu hal yang bisa dipastikan. Terakhir adalah Irfan, lama Ia menatap kertasnya dan sesekali menatapku. Kertasnya tak ada tulisan hanya ada beberapa gambar layang-layang, ku dekati dia “Irfan cita-citanya apa?” malu-malu ia menjawab pelan “Jadi Pembuat Layang-layang Bu” aku tersenyum lebar dan ku katakan, Hebat Irfan, itu cita-cita yang bagus sekali, “ayo ditulis”. Reaksiku mungkin diluar dugaannya, seketika ia bersemangat dan langsung menuliskan cita-citanya. Keesokan harinya, Irfan tidak masuk sekolah, semua anak-anak bilang ia ada dilapangan, bermain layang-layang. Kata guru-guru yang pernah mengajar Irfan dan teman-temannya, Irfan memang pemalas, lebih sering bermain di lapangan dari pada masuk sekolah. Malamnya, ia lewat depan rumahku, aku dan anak-anak sedang memisahkan daun aren dari batangnya. Daunnya untuk pakan ternak sedang batangnya untuk sapu lidi. Irfan aku panggil dan ku ajak berbicara sambil ia membantuku menyerit aren. “Fan, kenapa tadi nggak masuk?” “Di lapangan bu, main layang” jawabnya, sambil terus menyerit Aren. “Katanya, mau jadi pembuat layang-layang, kok gak mau belajar? Fan, kalao mau jadi pemain Layang-layang boleh di lapangan terus, tapi kalau pembuat layang-layang harus belajar di sekolah juga.” “kenapa bu?” “Karena, pembuat layang-layang harus pintar mengukur tinggi dan lebar layang-layang supaya bisa terbang tinggi dan bagus, ia harus pintar memberi warna yang bagus, harus pintar menentukan harga layang-layang, harus pintar menjual layang-layang, semua pengetahuan itu, adanya di sekolah” saat ku jelaskan begitu, ia berhenti menyerit aren, ia menatapku serius sekali. Aku lanjutkan “memangnya Irfan mau jadi pembuat layang-layang yang laku di jual sampai ke Luar negeri atau Cuma mau dimainkan sendiri?” “mau di jual bu” jawab Irfan “harganya berapa Fan?” aku hilang fokus “di Sangkapura, ada yang laku 400 ribu, bu” kali ini aku kaget betulan, aku tahu banyak layangan mahal bahkan sampai jutaan, tapi aku tak mengira di Bawean juga ada yang rela beli layangan sampai 400ribu. “Nah, mangkanya harus belajar Fan, biar Irfan jadi ahli pembuat layang-layang international, layangan buatan Irfran bisa dikirim ke seluruh dunia, oke?” “Oke bu, biar sudara Eson di Malaysia bisa main Layang-layang juga bu” aku mulai tenag dan bisa tersenyum lebar. Sejak malam itu, Irfan selalu masuk dan tak pernah terlambat, bahkan ia ikut Les bahasa Inggris malam hari yang sebenarnya hanya untuk anak-anak SMP, SMA atau renaja lainnya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua