info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

GGS (Gadis Galau Semende)

Prawinda Putri A 28 September 2014

Sore itu tenang seperti biasanya. Jam empat hingga setengah enam sore adalah jadwal anak-anak mengaji di langgar. Kebetulan saya hanya mengisi di langgar saban Jumat dan Sabtu saja. Dan juga pukul segitu adalah waktunya saya bisa santai. Karena kalau tidak mengaji, anak-anak pasti bermain atau ramai-ramai mengerjakan PR di rumah. Saya juga butuh ketenangan.

 Tiba-tiba di sore itu datanglah Ani. Dia salah satu gadis di dusun yang cukup dekat dengan saya. Dia juga ayuk dari murid saya di kelas 6. Ani memberikan undangan pernikahannya yang berlangsung tak lama lagi. Ini adalah undangan ketiga yang saya terima di dusun ini. Baiklah, tidak di kota.... tidak di dusun..... selalu saja ditinggal nikah oleh teman-teman.

Semende atau Semendo bila orang Palembang mengatakannya. Sebutlah nama Semende di Palembang dan orang akan langsung mengaitkannya dengan kopi. Atau dinginnya udara di sana. Tapi ternyata Semende memiliki arti lain yaitu Pernikahan. Karena itu hampir semua penduduk Semende bersaudara. Karena masih menikah dengan kerabat dekat. Bisa jadi 20 kepala keluarga di dusun itu masih saudara semua. Saat saya pertama kali menginjakkan kaki di Semende, kata “masih saudara” sering terdengar dimana-mana. Jadi seperti tagline iklan: “Kita Semua Bersaudara!”

Banyak keunikan yang ada di Semende. Salah satunya tentu adalah adat pernikahan. Menikah dengan orang Semende itu luar biasa repot. Apalagi menikahi anak perrmpuan pertama. Karena anak perempuan disini memiliki kewajiban Tunggu Tubang atau menjaga rumah dan orang tua. Jadi rumah, kebun kopi, dan sawah akan jatuh ke tangan anak perempuan pertama. Karena itu, persyaratan menikahnya banyak betul. Selain mas kawin, pria yang menikahi anak perempuan tunggu tubang harus memberikan harta lain. Biasanya seekor kerbau. Namun kerbau tersebut tidak perlu diberikan saat itu juga. Bisa saja diberikan kepada keluarga perempuan saat mereka sudah memiliki anak nanti. Jadi, ada yang berani menikahi anak perempuan pertama semende? Bagaimana dengan anak tengah atau anak terakhir? Yaa....nasib anda kurang beruntung.

Lucunya, menikah bukan hal yang memberatkan disini. Beda dengan di kota dimana orang-orang pikir panjang ketika menikah. Bagaimana dengan rumah? Mobil? Susu bayi mahal! Asuransi kesehatan dan pendidikan? Sewa gedung dan catering saja sudah berapa? Kalau di Semende, pernikahan bisa direncanakan dalam dua hingga satu bulan saja. Tidak repot dan siap kapanpun. Oiya, biasanya musim menikah disini itu setelah musim ngetam atau panen padi. Setelah panen padi, pasti semua gadis dan bujang berebut tanggal untuk menikah,

Orang menikah disini disebut dengan Jeme Bagu. Jeme artinya orang. Sedangkan Bagu....... entahlah. Itu seperti hajatan. Menikah disini beda dengan di Jawa. Ritualnya bisa 3 hingga 7 hari. Para ibu-ibu mulai tetangga sedusun hingga saudara akan datang ke rumah Jeme Bagu seminggu sebelum pernikahan. Mereka sibuk membuat kue bolu, keripik, dodol, dan sejenisnya. Menjelang hari H, ibu-ibu sibuk membawa beras, kelapa, kentang, sayur, bahkan ayam hidup untuk dimasak. Mereka memasak di dapur yang luas. Sedangkan bapak-bapak memasak nasi di halaman belakang rumah dengan kayu bakar dan tungku yang besak kiamat (kiamat disini artinya amat sangat. Jadi besak kiamat itu besaaaaarrr banget. Dan memang benar-benar besar. I’ve seen that already.)

Setelah akad nikah, ritual makan dimulai. Makannya juga menarik. Bisa jadi 100 piring keluar sekaligus. Lauknya banyak dan bermacam-macam. Tamu yang makan dibagi menjadi beberapa rombongan. Biasanya bapak-bapak terlebih dahulu sekitar 6 hingga 10 orang dan membentuk lingkaran. Setelah selesai, ganti rombongan berikutnya. Pengantin pria dan wanita serta teman-teman pendampingnya biasanya makan terakhir. Piring kotor bekas makan segera dibawa ke belakang dan dicuci, dikeringkan saat itu juga, lalu dipakai kembali. Beberapa tamu undangan non keluarga makan dengan perancisan atau istilah lainnya prasmanan. Sedangkan ibu-ibu yang memasak dan anak kandang (bapak-bapak dari pihak keluarga laki-laki yang membantu menyiapkan makanan) juga akan makan terakhir namun di dapur.

Setelah akad nikah berakhir, beberapa kerabat dekat dan keluarga akan tandang atau bermalam di rumah pengantin wanita. Jadi rumah tersebut bisa saja penuh sesak oleh puluhan orang yang tidur disana.  Besoknya, masih ada ritual “Namat”. Kali ini baru pengantin menggunakan baju adat semende dan diarak keliling dusun. Arakannya bermacam-macam. Kalau keluarganya sangat mampu, bisa menggunakan kerbau. Ada juga yang diarak dengan tarian, pencak silat, bahkan diangkat dengan tandu keliling dusun! Iya, tandu! Acara namat ini lagi-lagi makan-makan di rumah pengantin wanita. Setelah itu, pengantin di arak kembali ke rumah pengantin laki-laki. Istilahnya, sang wanita menginap dahulu di rumah mertua. Lalu.... makan-makan lagi.

Memang berbeda jauh yaa dengan adat menikah di Jawa. Tapi, satu hal yang sama: Pertanyaan para ibu-ibu. Tidak di kota, tidak di dusun, pertanyaan mereka kepada saya selalu sama. 

“Jadi, Winda habis balik dari sini ke Jawa langsung menikah juga?”


Cerita Lainnya

Lihat Semua