kunjungan rumah siswa

Popi Miyondri 27 November 2012

tak kenal maka tak sayang...

 

Sudah satu minggu aku melakukan kunjungan ke rumah siswa – siswiku. Aku melakukan kunjungan ini dengan maksud untuk melakukan bimbingan konseling untuk orang tua. Ada yang bertanya “mengapa tidak diajak saja orang tua untuk datang ke sekolah sehingga tidak merepotkanmu?”, aku menjawab bahwa aku ingin mengetahui lebih dalam bagaimana kondisi di rumah muridku, seberapa jauh mereka berjalan dari rumahnya menuju sekolah dan tentunya dapat tercipta rasa nyaman untuk berbagi antara guru dan orang tua murid sehingga fokus pembicaraannya hanya tentang anak orang tua yang dikunjungi.

Aku bersama murid ku membagi  terlebih dahulu mana yang harus aku kunjungi sesuai dari daerah rumah yang paling dekat hingga paling jauh sehingga tidak acak perjalanannya. Selain itu aku membagi jadwal sehingga murid-muridku bisa menyampaikan kepada orang tuanya akan ada kunjungan dari guru agar orang tua tersebut bisa menyisihkan waktu dari kesibukkan mereka sehari-hari.

Berdasarkan survei yang ku dapat, kebanyakan pekerjaan orang tua muridku adalah petani sisanya ada yang supir, pedagang dan PNS. Melakukan kunjungan ini membuatku tahu bagaimana kondisi siswa dan cerita dari orang tua mereka tentang anak-anaknya . aku juga menjadi tahu mengapa murid ku bertingkah laku yang macam-macam.

Sebagian besar rumah murid-muridku sederhana dan tentu ada bagian rumah bagian belakang menggunakan papan dan terdapat bekas ludah berwarna merah akibat ludah sehabis memakan sirih pinang. Ya, orang-orang disini sangat suka mengunyah pinang termasuk anak kecil.

Kontur tanah di daerah ini naik turun dan bertanah. Hanya jalan besar yang merupakan jalan aspal. Namun untuk masuk ke lorong-lorong rumah muridku harus melewati jalan tanah dan tentu bisa dibayangkan kalau hujan sudah datang tentu akan menjadi becek. Ada beberapa tempat menuju rumah anakku yang harus ku daki sehingga agak menguras tenaga. Namun aku senang, aku bisa mengalami bagaimana murid-muridku jalan ke rumah.

Ketika berkunjung aku memberitahukan kepada orang tua mereka untuk memberi tahukan perkembangan anak-anak mereka di kelas. Aku memberikan informasi berupa nilai tugas, nilai ulangan, kelebihan dari siswa, kekurangan mereka dan saran untuk mereka agar anak-anaknya lebih baik lagi.

Salah satu saran yang kuberikan secara umum adalah mendampingi anaknya dalam belajar. Bukan hanya sekedar menyuruh anaknya untuk belajar. Banyak orang tua yang bercerita bahwa mereka sudah sering menyuruh anak-anaknya belajar namun bukan begitu sebaiknya, sebaiknya mereka benar-benar mendampingi dan ikut melatih anak minimal tentang pelajaran yang hari itu anak pelajari. Ada yang kurang ku sukai budaya disini yaitu budaya memukul anak. memukul anak disini disini dianggap biasa dan dianggap ampuh untuk menangani anak yang nakal dan tidak sesuai keinginan mereka. Padahal memukul bukanlah suatu solusi untuk mengatasi permasalahan anak. guru-guru pun disini juga suka memukul bahkan ada yang sengaja menaruh rotan sebagai alat pukulnya mereka menganggap bahwa “pintar itu ada diujung rotan”. Dan itu yang aku anggap salah. Budaya ini turun temurun dilakukan. Namun aku sebagai guru hanya memberikan saran agar anak jangan dipukul, minimal mereka mengurangi sedikit demi sedikit dalam memukul anak.

Daud, salah satu muridku yang bisa dikatakan bertingkah laku terlalu hiperaktif setelah melakukan kunjungan, aku mengetahui dari ibunya bahwa dia sewaktu kecil ernah jatuh sehingga ada gangguan diotaknya. Ntah itu benar apa tidak. Namun aku merasa bahwa dia anak laki-laki yang lucu. Walaupun terkadang suka kesal dengan tingkah lakunya yang lucu itu namun aku sering tertawa sendiri melihat tingkah laku dia.

Selain itu, setelah kunjungan ini aku mengetahui mengapa anak-anak suka berteriak dan bercerita.  Pernah satu ketika sewaktu mau pulang biasanya mereka kalau sudah mau pulang itu baca doa dan sebelum baca doa mereka sudah harus siap dan dalam keadaan diam. Namun saat mau pulang itu anak-anak ribut hanya karena mengucapkan kata diam. Siswa 1 berteriak ‘hei diaaamm!!” siswa 2 berbicara ‘ eh coba diam kah’, siswa 3 berkata ‘weeii diamkah!!” sampai seluruh siswa berkata semua dengan kata diam namun Cuma 1 anak saja yang diam (karena memang dia pendiam). Dan aku hanya menikmati pertunjukan itu dengan diam tanpa menyuruh mereka diam agar aku tahu berapa lama mereka bisa diam dengan sendirinya. Setelah dilihat ternyata kata “diam” tersebut berlangsung hampir mau setengah jam. Huuftt. Rasanya ingin tertawa melihat mereka bertingkahlaku seperti itu. Ternyata orang-orang disini termasuk orang tua mereka kebanyakan sangat suka mengobrol, membuat cerita atau disini dikenal dengan kata “mop” dan berlomba untuk bercerita. Hahaha terkadang aku ingin tertawa melihat kebiasaan mereka seperti ini. Namun herannya kebiasaan bercerita ini dibawa ke pelajaran, murid-muridku jadi kaku. Namun kalau temannya melakukan satu kesalahan langsung anak-anak semangat untuk mengadu kepadaku dan bercanda-canda antar mereka. Mereka benar-benar tidak bisa diam kecuali saat mau pulang karena anak-anak bisa pulang setelah baca doa dan bersikap duduk yang rapi dan diam dan baru aku tunjuk mereka yang diam sempurna baru boleh pulang. Namun setelah ku sebutkan nama mereka untuk pulang, mereka pun ribut dengan bangga karena bisa pulang terlebih dahulu dan mengganggu temannya yang masih duduk rapi dan diam.

kunjungan rumah ini membuat ku mengetahui jawaban dari pertanyaan yang ada selama ini


Cerita Lainnya

Lihat Semua