Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama

Peny Rahmadhani 11 Juli 2016

Tidak terasa satu bulan sudah berlalu sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di daerah penempatan. Namanya Desa Parudongka, Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebuah desa terpencil dengan jumlah penduduk kurang dari 200 orang yang mayoritas mata pencahariannya adalah petani merica.

Desa ini terletak di bagian terujung kabupaten dan merupakan titik perbatasan langsung antara 3 provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Tidak heran saya harus menghabiskan waktu 2 hari 1 malam yang terdiri dari perjalanan darat dan penyebrangan danau dengan total jarak tempuh 600 km dari ibu kota kabupaten.

Sampai di desa, saya disambut dengan hamparan jalan tanah merah dan hutan hijau yang seolah membentuk benteng pertahanan yang melindungi rumah-rumah warga di tengahnya. Hembusan udara sejuk pegunungan menyapa kulit yang saat itu hanya dilindungi oleh kaos yang menutup sampai ke siku lengan saya.

Dan hari kedatangan saya di desa ini menandai hari pertama yang saya sebut sebagai hari pengasingan. Mengapa pengasingan? Karena selama satu tahun ke depan saya harus terbiasa hidup dalam dekapan kesederhanaan dan keterbatasan. Terutama dalam hal akses, mengingat desa ini tidak ada fasilitas listrik dan sinyal. Kesepian? Tentu saja. Mengadu pada diri sendiri dalam setiap kesenangan dan kesedihan menjadi hal pertama yang tidak terhindarkan dari pikiran saya.

“Bagaimana saya bisa bertahan hidup selama satu tahun ke depan disini?”, tanya saya dalam hati.

Lalu dimulailah perkenalan saya dengan Parudongka melalui perjumpaan dan cerita yang saya dengar dari Bapak dan Ibu asuh yang juga merupakan Bapak dan Ibu Kepala Desa ini.

Bapak berasal dari Suku Bugis. Selain sebagai Kepala Desa, Bapak juga merupakan Ketua Komite Sekolah di SD tempat saya mengajar. Bapak aktif dalam kegiatan sosial desa. Beliau pernah ikut serta dalam proses advokasi sampai ke pemerintah kabupaten dalam hal memperjuangkan kepedulian pemerintah terhadap kemajuan daerah terpencil di Kecamatan Routa. Kata Bapak, “Meskipun serba kekurangan, anak-anak sekolah disini sangat rajin belajar sehingga guru-guru yang semuanya honorer jadi semangat mengajar.”

Berbeda dengan Bapak, Ibu berasal dari Suku Toraja yang merupakan mayoritas suku yang mendiami Desa Parudongka. Sedari kecil Ibu tidak pernah meninggalkan desa. Menurutnya, kalau sekarang penduduk Parudongka sudah bisa menikmati suara 3 sampai 5 mobil dan beberapa motor lewat setiap harinya. Itu baru terjadi 2-3 tahun terakhir. Dulunya jangankan mobil atau motor, suara kicauan burung, celotehan serangga dan longlongan anjing hutan adalah hiburan penduduk setiap harinya. Namun Ibu tidak pernah berpikir untuk meninggalkan desa ini. Katanya, “Semua yang tinggal disini sudah seperti keluarga, tidak ada orang lain.”

Lalu datanglah hari dimana saya bertemu dengan anak-anak Parudongka. Salah satunya adalah Olli. Olli ini adalah keponakan Ibu yang tinggal di samping rumah. Perjumpaan saya dengan Olli diawali pada saat  saya sedang mengajari Iki, anak Ibu, membuat bangau dari kertas origami. Dia yang saat itu menolak saya ajari tidak sekalipun melepaskan perhatiannya dari lipatan-lipatan kertas yang saya buat.

Tahun ini Olli naik kelas 2. Dia mengaku belum lancar membaca dan menulis. Maka saya berinisiatif mengukur sampai dimana kemampuannya. Saya minta Olli menuliskan angka 1-50 dan dia berhasil melakukannya sampai angka ke-100. Lalu saya meminta Olli menyebutkan satu contoh kata dalam semua huruf alfabet. Terkadang lancar. Terkadang tersendat. Atau bahkan tidak tahu sama sekali. Tapi selama proses tersebut, tidak satu kalipun Olli mengeluh ingin berhenti atau beristirahat. Katanya saat berpamitan pulang, “Ibu Guru, nanti malam belajar lagi ya!”

Witing tresno jalaran soko kulino(Cinta itu tumbuh karena kebiasaan). Begitu kata orang Jawa. Mungkin maksudnya dibutuhkan proses agar sebuah cinta itu tumbuh. Begitupula proses bagi saya untuk mencintai desa terpencil ini.

Namun pertemuan saya dengan Bapak, Ibu dan Olli membuat saya sadar bahwa terkadang jatuh cinta itu mudah. Tidak perlu proses yang panjang. Melalui Bapak, Ibu dan Olli, saya jatuh cinta dengan Desa Parudongka pada pandangan pertama.

Pertanyaannya sekarang bagaimana saya memupuk prosesnya agar cinta itu terus tumbuh besar dan kuat. Tapi yang nanti ya nanti dipikirkannya. Yang jelas saat ini saya sedang jatuh cinta.

Kalau satu bulan yang lalu dalam hati sempat saya bertanya, “Bagaimana saya bisa bertahan hidup selama satu tahun ke depan disini?” Hari ini saya ingin bertanya kepada semua yang membaca tulisan ini.

“Bagaimana saya bisa berhenti jatuh cinta selama satu tahun ke depan berada di Parudongka?”


Cerita Lainnya

Lihat Semua