Bebas Aturan Main

Novandi Kusuma Wardana 11 Juli 2016

Air laut belum sepenuhnya pasang, angin malam yang biasanya telat berhembus datang lebih awal. Mama-mama dari kejauhan sibuk menyalakan pelita, beberapa rumah yang sudah tercahayai lebih awal terasa hangat. Dari kejauhan terlihat anak-anak dan orang tua berkumpul mengerumuni sumber cahaya yang diletakkan didapur atau di teras rumah, entah apa yang mereka perbincangkan yang jelas melihatnya dari kejauhan rasanya syahdu. Minggu ke tiga di Wooi, suara bising yang mulai bersahabat dari sebuah genset yang nyala itu menemani saat berbuka puasa sekaligus menunaikan shalat maghrib. Rumah Pak Nelius tepat di depan tempat tinggal saya  tercahai oleh lampu dari genset yang nyawanya biasanya hanya tiga jam saja – kadang-kadang tidak sampai. Rumah itu sudah ramai, terlebih saat genset menyala orang yang datang semakin bertambah. Suara tertawa bersahutan dari hadirin dan hadirot yang bertamu ke rumah Pak Nelius.

Tawa malam itu bukan sembarang tawa, bukan tawa menertawakan orang mabuk yang terpeleset kemudian jatuh ke laut. Bukan juga menertawakan siapakah yang menemukan listrik “apakah kulitnya hitam atau putih, rambutnya lurus atau keriting?” bukan soal itu, karena hari itu rumah Pak Nelius sedang disambangi oleh trio artis legenda ibu kota. siapa lagi kalau bukan Dono, Kasino dan Indro, yang sedang sibuk menghibur para kahalayak didepan layar kaca – meski sebenarnya mereka yang menonton tidak tahu bahwa dua diantaranya sudah berpulang ke atas sana. Judul film yang dimaninkan menarik “Bebas Aturan Main”, sebenarnya sebuah cerita utuh yang ada alur dan kronologinya, hanya saja tiap potongan komedi (adegan) ditampilkan secara berbeda yang kadang tidak nyambung dengan cerita utama. Tapi itu lucu! Lagi asik-aik adegan di perkotaan atau di sebuah kampus tiba-tiba main ke pantai tanpa alasan yang jelas, biasa piknik-piknik ala Warkop DKI. Atau tanpa memiliki sebuah pekerjaan alias pengangguran namun bisa ikut sebuah acara pesta yang mewah. Ada-ada saja si penulis cerita itu, #eh namanya juga Bebas Aturan Main, bebas saja dong yang mau tulis. Kata anak gaul Jakarta “Suka-suka gue dong…” aih itu kan ibu kota, ini Wooi saudara, mari kembali ke desa nan permai ini.

Di Wooi anak-anak juga bebas aturan main. Pagi main kelereng, siang bermain tali, sore bermain bola. Atau pagi mendayung, siang berlari-lari, kemudian menjelang senja bemain bola. Senin sekolah, selasa tara (baca: tidak) masuk, rabu masuk, lalu tara masuk lagi . #eh bukannya logikanya belajar adalah bermain? Jadi sebenernya bebas aturan main sama dengan bebas aturan belajar. Jadi jangan pernah ajak anak-anak untuk belajar, tapi bermain. Bermain apa? Main tebak kata, sekadar tebak huruf dengan menggoreskan sebuah huruf menggunakan jari di punggung kawan dan dia menebaknya. Dengan bermain tali ketika masuk ke dalam putaran tali kita berikan sebuah kata dan mereka harus mengeja nya. Misal kata nelayan, sianak harus menyebutkan semua hurufnya “N”, “E”, “L”,”A”,… “A”,”N”. “eee.. itu masih kurang satu huruf lagi” teriak saya. Saat itu yang didalam putaran tali adalah Moses “Pak Guru, sa lelah,…”. Kalau lelah bermain tali mari bermain yang lainnya, bagaimana kalau denganmolo? Molo atau memanah ikan dengan menyelam ke dalam air merupakan salah satu hobi dari anak-anak SD Inpress Wooi. Kalau hari ini molo dapat 5 ekor dan kemarin dapat 8 ekor, berapakah jumlah ikan sekarang? Nah itu juga bermain kan? Dalam hati saya tayakan kepada anak-anak “Bagaimana, masih mau lanjut bermain?” berharap peserta permainan di ronde (baca: bulan) ke dua nani semakin banyak oleh siswa-siswi yang bersemangat. Bukan ramai dihadiri oleh 32 bangku kosong, 10 meja , dan satu papan tulis di ruangan kelas 6.

 Pak Guru butuh teman main, nak. Sudah tidak sabat menyambut pagi di bulan kedua ini.  Di Pelabuhan Ibu Kota Kabupaten, Kapal menuju desa belum juga sandar. Kali ketiga mengecek ke pelabuhan belum ada kapal yang kiranya minggu ini akan berangkat ke arah desa. Katanya 10 hari lagi. Tempo hari bertemu dengan orang desa Wooi di pasar yang  sedang turun ke kota. Saya tanyakan apakah saya dapat ikut pulang dengan perahu, mereka jawab “Maaf Pa Guru, tara bisa perahu nya su banyak penumpanag, kecil pa guru tara muat. Maaf bapak”. Gumam saya “Oh, tidak…semakin lama”. Jasad masih dikota, pikiran hijrah di desa. Ruang kelas 6 yang nantinya tempatku mengajar nanti pasti sudah panen debu. Semoga Pak Guru lekas bertemu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua