Peureuno Jih Beuh?!

Pemi Lestari 11 Maret 2012

“Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai” (Mel Silberman)

Seperti yang sudah saya utarakan di tulisan saya sebelumnya, bahwa penting bagi guru untuk selalu melihat titik 0 masing-masing murid. Murid yang sudah “pintar” tidak diberi pengajaran ataupun tugas-tugas yang sama dengan murid yang belum pintar. Dan seperti sudah juga saya utarakan, memberlakukan hal ini tidak mudah di kelas 2 dimana saya ditugaskan mengajar matematika. Karena muridnya lumayan banyak, sementara level kemampuannya amat sangat beragam. Apalagi kalau belajar di balai.

Fyi, saya punya kegiatan belajar bersama anak-anak di balai kalau sore hari. Balai yang saya maksud adalah balai pengajian. Di aceh, ada banyak balai-balai pengajian macam ini di desa. Kalau di jakarta mungkin bisa dibilang TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an), hanya saja kalau TPA biasanya ada kurikulum, ada guru, ada kelas, dan ada rapot. Sedangkan di balai pengajian—bisa juga dibilang rumoh beut—anak-anak kebanyakan hanya belajar membaca Al Qur’an dan kitab (bagi yang sudah bisa membaca Qur’an) dengan diajarkan oleh tengku.

Kepemilikan balai pengajian juga banyak yang bersifat pribadi. Didirikan oleh seorang tengku di sekitar rumahnya untuk memfasilitasi anak-anak di sekitar yang ingin belajar ngaji. Balai pengajian yang saya gunakan untuk belajar adalah balai milik seorang tengku di desa. Saya izin kepada beliau untuk menggunakan balainya untuk anak-anak belajar. Saya tidak mengajarkan mengaji, saya mengajar calistung di balai ini.

Kenapa saya memilih balai, bukan di rumah seperti kebanyakan pengajar muda lainnya? Karena karakterisitik murid-murid saya. Mereka malu kalau datang ke rumah “malu sama pak sekdes”, “malu sama mamak-nya ibu”. Begitulah selalu alasan mereka tidak mau datang belajar ke rumah.

Makanya saya menggunakan balai, karena disana tidak ada orang, hanya ada saya, dan bisa dipastikan tidak ada anak yang malu pada saya, hehe. Kembali ke kesulitan belajar di balai, siswa di balai lebih beragam dibanding di kelas, tentu saja. Anak yang ikut belajar di balai mulai dari usia pra sekolah sampai anak SMP. Semua boleh ikut belajar.

Di balai anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sambil saya sediakan juga mainan untuk mengusir rasa bosan. Seiring dengan umur mereka yang beragam, kemampuan merekapun juga begitu. Sementara yang mengajar hanya saya seorang tentu saja kewalahan untuk melayani semuanya.

Untunglah saya teringat inspirasi dari seorang narasumber di pelatihan PM dulu. Namanya Mas Andi, dia membimbing anak-anak jalanan. Yang sangat membuat saya kagum adalah ketika beliau ditanya berapa volunteer yang membantunya untuk menyelenggarakan rumah singgah anak-anak jalanan ini adalah “tidak ada”.

Iya, untuk membina anak jalanan sebanyak itu (maaf saya lupa jumlahnya) Mas Andi tidak dibantu volunteer dari luar satupun. Tapi dia memberdayakan anak-anak jalanan disana untuk menjadi rekan belajar. Anak-anak yang lebih tua, yang memiliki kompetensi lebih tinggi, mengajarkan anak-anak lain yang berada di level bawahnya. Maka, kekurangan SDMpun teratasi. Anak-anak bisa tetap belajar.

Sayapun memberlakukannya di kelas dan di balai. Di kelas 2, ada anak-anak yang sudah pandai menjumlah dan mengurang sampai ratusan, tapi ada anak yang belum bisa membilang. Gap yang sangat jauh dalam satu kelas bukan? Oleh karenanya saya meminta anak-anak yang sudah pandai untuk mengajari kawannya yang belum bisa. Begitupun di balai, anak-anak yang sudah kelas 6 atau SMP saya minta membantu mengajari anak-anak yang lebih muda.

Maka kata yang sering sekali saya ucapkan adalah “peureuno jih beuh?!”. Artinya “ajari dia ya?”. Awalnya anak-anak tidak mau, baik yang diminta mengajar maupun yang diajari. Ada yang gengsi, ada yang malu untuk yang diminta diajari.

Sedangkan yang ditugasi menjadi tutor sebaya kadang tidak mau karena alasannya malas atau tidak mau repot. Tentu saja semua alasan keengganan mereka itu tidak akan saya terima. Karena selain sangat membantu saya, metode ini juga sangat membantu mereka. Inilah metode belajar yang efektif.

Secara sederhana ada dua proses belajar yang efektif (menurut Hernowo di bukunya Spirit Iqro’) . Pertama menyampaikan hal-hal yang dipelajari, kedua interaksi dengan hal yang kita pelajari. Dengan mengajari orang lain, maka sejatinya anak-anak itu juga sedang belajar. Hal ini senada pula dengan kata-kata Confisius yang disempurnakan oleh Mel Silberman

Apa yang saya dengar, saya lupa

Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit

Apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman lain, saya mulai paham

Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan

Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai Selain efektifitas belajar, tutor sebaya juga membawa banyak manfaat. Ada yang bisa sebutkan? Hehe. Aktivitas ini menumbuhkan rasa percaya diri bagi anak, memupuk semangat berbagi ilmu, mempererat pertemanan, mengajarkan rendah hati, menghormati teman, dan, ah, banyak lah pokoknya. Dan sekali lagi, saya sangat terbantu. Hehe.

Meskipun tentu saja, saya tetap harus mensupervisi, apakah yang mereka ajarkan ke kawan mereka itu benar. Anak-anak memang seringkali memulainya dengan tidak legowo. Dan jujur, ini rahasia diantara kita ya, saya seringkali meminta pada mereka sambil menahan tertawa dalam hati. Seolah-olah aktivitas ini adalah keisengan saya untuk mengerjai mereka padahal sama sekali bukan. Saya paling suka melihat kalau mereka sudah beranjak berkelompok-kelompok untuk mulai saling belajar. Semoga kelak mereka akan menyadari manfaatnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua