Nebengisasi

Pemi Lestari 19 Oktober 2011

“salah satu keterampilan dasar yang mesti dimiliki PM adalah meminta tumpangan”

Saya suka berkelakar dengan Mila, kawan sesama PM satu kecamatan, bahwa keterampilan dasar menjadi PM adalah CCP, bukan curi-curi pandang, melainkan cuci-cuci piring. Hehe. Saya berkelakar begitu karena semenjak jadi PM kami sering diberi tumpangan bermalam. Banyak orang aceh yang berbaik hati mengajak kami berkunjung ke rumahnya dan menginap. Orang aceh memang suka sekali menerima tamu, dan mereka baik sekali dalam menjalankan sunnah memuliakan tamu. Kami, karena satu kecamatan jadi sering berkunjung bersama-sama, biasanya berusaha membalas kebaikan si empunya rumah dengan bantu pekerjaan rumah. Yah, bentuk bantuan itu tidak jauh dari seputaran mencuci piring. Saking seringnya diajak berkunjung, biasanya makan atau bahkan sampai menginap, kami juga jadi sering cuci piring. Makanya, di suatu hari sesi cuci piring bersama Mila saya bilang begitu, “keterampilan dasar menjadi PM, CCP”. Dan kami berdua cekikikan di depan wastafel.

Ternyata, ada keterampilan lain yang juga kami perlukan. Maaf, kali ini saya memang akan membicarakan keterampilan sampingan, bukan yang serius macam pedagogi, andragogi, negosiasi, lobi, fasilitasi, dan kemampuan lain yang menyebutkannya saja susah itu, hehe. Keterampilan lain itu adalah meminta tumpangan kendaraan.

Ketika disebut pelosok apa yang anda bayangkan? Apa bedanya pelosok dengan kota? Buat saya yang paling terasa adalah lokasi dan akses. Tempat tinggal saya yang sekarang bukanlah di seberang lautan, bukan di pulau kecil, bukan di tengah hutan, bukan seperti itu. Tempat tinggal saya sekarang adalah sebuah desa yang cukup ramai, rumah tetangga terlihat dari depan pintu rumah dan jendela, tidak perlu menyewa boat untuk sampai disini, tidak ada ombak yang perlu digagahi, tapi satu yang pasti, transportasi publik tidak tersedia dengan mudahnya.

Untuk mendapatkan transportasi publik yang bisa membawa saya ke berbagai daerah di aceh, saya harus keluar dari desa ini menuju ke kota kecamatan yang jaraknya 22 km. Untuk bisa sampai disana, kalau bukan dengan kendaraan sendiri, maka sarana transportasi yang ada adalah ojek atau mobil bak terbuka. Mobil bak terbuka hanya ada pada jam tertentu, pagi hari. Sedangkan ojek, jangan ditanya, tidak ada pangkalan ojek disini, tidak pula yang berlalu lalang seperti di jakarta. Ojek hanya ada di kota kecamatan. Bisa ditumpangi kalau mau masuk, tapi untuk keluar, itu murni keberuntungan. Mudah masuk, susah keluar, begitulah desa saya.

Saya baru tahu susahnya keluar dari desa ini kalau tidak ada kendaraan pribadi setelah dua bulanan saya tinggal disini. Telat sekali memang. Sebabnya karena pertama kali saya keluar untuk ke kota, saya nebeng adik saya sampai ke jalan besar terdekat, kali kedua saya beruntung bertemu ojek di jalan desa, kali ketiga saya naik bak terbuka itupun karena supirnya adalah tetangga Mila jadi bisa tahu jadwal keberangkatannya, kali berikutnya kami naik motor pinjaman dari ayah hostfam Mila sampai ke kota. Dan ketika semua kemudahan itu tidak ada, adik yang bisa ditebengi, ojek yang kebetulan lewat, mobil bak terbuka, atau motor pinjaman, maka keluar dari desa entah bagaimana caranya.

Karena terbiasa dengan kemudahan dan kebetulan, saya jadi tidak tahu kesulitannya. Suatu hari saya hendak ke kota, jalan kaki dari rumah dengan polosnya saya berpikir akan naik ojek sampai jalan besar. Di jalan desa ada seorang penduduk berkendara motor tanya

“hoe nak jak?”

“ke Lhokseumawe”

“jalan kaki?”

“iya”

“ada kereta?”

“ga, mau naik ojek”

“ada ojeknya?”

“nanti cari di depan”

“udah ada?”

Lah, saya bingung jawabnya. Ujung-ujungnya dia menawarkan saya naik.

 

Dia bahkan sampai mengantarkan saya sampai di kota kecamatan padahal saya tahu dia tidak ada keperluan ke sana. Ketika saya turun dia cerita kalau dia kasihan melihat saya. Hm, muka gw melas yak? hehe

Kali lain saya pergi ke kota lagi, dengan rencana yang sama, naik ojek sampai ke jalan besar dimana saya bisa menemukan angkutan menuju kota. Tapi kali ini tidak ada penduduk yang kasihan dan memberi saya tumpangan. Saya sampai di pinggir jalan irigasi, orang-orang disana bertanya “mau kemana Bu?”

“mau ke Lhokseumawe”

Dan mengalirlah pertanyaan-pertanyaan sejenis, sampai akhirnya

“disini mah ngga ada ojek Bu”

“duh, gimana yaa”

“tunggu aja dulu Bu, nanti bareng aja sama yang mau ke Panton”

Intinya, si bapak mau cariin saya tumpangan, mau bantu saya menyetop orang yang dia kenal yang searah dengan saya. Belum lama saya menunggu, tiba-tiba

“eh ini ada, Pak Mantri mau ke Panton tuh”, kemudian dia berteriak-teriak memanggil orang yang dia maksud dan berbicara dalam bahasa aceh.

Sayapun sigap maju sambil berlari-lari ke jalan dan bilang “Pak! Mau ke panton ya? Saya boleh nebeng ga?”, padahal saya tidak kenal siapa orang tsb.

Dan sayapun sukses dapat tumpangan lagi hari itu. Selamatlah saya bisa ke kota.

Teman PM lain yang penempatannya di aceh juga memiliki nasib serupa, bahkan lebih parah. Mereka yang desanya di tengah atau melintasi hutan dan terletak di dataran yang tinggi juga mengalami kesulitan transportasi. Bedanya dengan saya, kalau saya mudah masuk sulit keluar, kalau mereka sulit masuk sulit keluar. Karena kadang tukang ojekpun tidak mau disewa untuk mengantar sampai desa mereka. Untuk keluar, teman-teman saya cerita harus menumpang kendaraan apapun yang memang mau “turun” juga. Entah itu truk batu, entah truk sawit, entah truk pengangkut apapun, kami harus pandai dan sigap “meminta ijin” untuk menumpang, kalau tidak, ya tidak bisa turun. Sementara saya, menumpang tetangga, menumpang rekan guru di sekolah, menumpang mantri desa, atau pernah juga diberi tumpangan oleh truk pisang. Horeee.

Sampai-sampai, setelah kejadian beberapa kali tidak bertemu transportasi umum untuk keluar dari desa itu, saya bermaksud merevisi baseline asessment saya. Kalau kemarin saya mengisi pertanyaan transportasi menuju desa dari kota kabupaten ke desa dengan L-300 yang disambung dengan ojek, kali ini saya ingin merevisinya dengan L-300 dan apa saja yang bisa ditumpangi, kalau perlu ditambah tanda bintang yang artinya syarat dan ketentuan berlaku.

Salam anak desa di barat Indonesia,

Pemi Ludi


Cerita Lainnya

Lihat Semua