info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ibu Merusak Nasi

Pemi Lestari 14 Oktober 2011

“bersama kawan-kawan memang lebih menyenangkan”

Saya baru tahu kalau pelajaran bahasa Indonesia bisa masuk dalam pelajaran yang sulit bagi seorang anak Indonesia. Saya baru tahu bahwa berbahasa Indonesia bisa jadi begitu beratnya bagi seorang anak sekolah. Saya dibesarkan di sebuah kota besar, dengan bahasa ibu bahasa Indonesia. Orang tua saya berbahasa Indonesia, lingkungan sekitar berbahasa Indonesia, guru-guru di sekolahpun menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia, jadi berbahasa Indonesia relatif lebih mudah untuk saya. Meski bahasa sehari-hari bukanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar, hehe. Setidaknya pelajaran bahasa Indonesia tidak lebih sulit dari pelajaran Penjaskes waktu SD atau lebih sulit dari sejarah dan PPKn waktu SMP dan SMA.

Saya baru menyadari sulitnya pelajaran bahasa Indonesia, bahkan bagi anak Indonesia sendiri setelah berada di sini. Bukan karena aceh, tapi lebih karena ini adalah pelosok. Anak-anak disini terbiasa berbahasa aceh. Orang tua mereka bicara dengan bahasa aceh, teman-teman mengobrol dengan bahasa aceh, guru mengajar di sekolah dengan bahasa aceh, satu-satunya yang tidak berbahasa aceh adalah televisi. Jadilah mereka banyak belajar bahasa Indonesia dari tayangan televisi.

Biasanya, semakin tinggi kelasnya di sekolah, anak semakin pandai berbahasa Indonesia. Anak-anak kelas rendah (kelas 1-3) memiliki kemampuan berbahasa Indonesia di bawah anak kelas tinggi (kelas 4-6). Tapi jangan bayangkan kelas tinggi lancar berbahasa Indonesia. Saya punya murid-murid yang pada akhirnya memilih diam karena mereka tidak bisa atau kelu untuk berbahasa Indonesia. “halaah, payah bu peugah bahasa Indonesia” kata seorang anak dengan putus asa.

Sebelum menjadi PM, saya pernah membaca status Rangga, PM 1 tentang pengajaran bahasa Indonesia di sekolahnya. Saya masih ingat anak-anaknya disuruh membuat lawan kata. Kacau. Sayapun membayangkan kelak akan menemukan keadaan seperti itu juga. Ternyata benar. Dan saya akhirnya bisa merasakan apa yang Rangga rasakan.

Sebenarnya tugas saya di sekolah adalah mengajar bahasa Inggris kelas 4-6 dan matematika kelas 2. Tapi terkadang saya mengajar berbagai macam pelajaran, karena menggantikan guru yang tidak masuk, termasuk bahasa Indonesia. Ketika mengajar bahasa Indonesia, saya suka meminta murid saya untuk membuat kalimat. Bukan apa-apa, saya pernah menemukan anak-anak sibuk menyalin cerita di buku tulis karena mereka mendapat tugas mengarang. Begitulah saudara, mereka tidak bisa mengarang. Jadi sebelum berlatih membuat sebuah karangan, saya ingin mereka berlatih hal yang sederhana dahulu, membuat kalimat.

Dan membaca kalimat yang mereka susun, membuat hati saya teraduk-aduk karenanya. Simaklah.

Saya meminta mereka membuat 10 kalimat dengan menggunakan 10 kata, semua kata kerja. Waktu itu saya mengenalkan kata benda dan kata kerja pada mereka. Diantaranya adalah kata “menulis” dan “belajar”

Ada seorang anak membuat kalimat

“Saya menulis puisi bersama kawan-kawan di rumah”

“Saya belajar bahasa indonesia bersama kawan-kawan di rumah”

Begitulah, 10 kalimat dengan pola yang hampir sama, saya-melakukan apa-bersama kawan-kawan di rumah. Tidak variatif. Itu anak kelas 6.

Di kelas 4 saya juga meminta mereka membuat kalimat. Diantaranya dengan kata “berenang” dan “merusak”

Anak pertama yang mengumpulkan hasil pekerjaannya, adalah anak yang tercepat dalam menyusun kalimat. Dia termasuk yang paling pandai dalam membuat kalimat dalam bahasa indonesia. Dan kalimat pertamanya berbunyi

“burung berenang di pohon”

Kalimatnya yang kesekian berbunyi “ibu merusak nasi”.

Dududu. Lalala.

Di sinilah letak tantangannya. Mereka memiliki perbendaharaan kata yang minim. Banyak kosakata bahasa Indonesia yang tidak mereka tahu artinya. Dan mereka memang kurang referensi.Bahasa Indonesia mereka temukan tidak lebih dari buku pelajaran dan televisi.

Suatu kali seorang anak bertanya pada saya “bu, kalau naik sepeda itu namanya apa? Mendayung ya Bu?”

“bukan, mengayuh. Kalau mendayung untuk perahu, kalau orang naik perahu, pakai dayungyang biasanya terbuat dari kayu itu (saya tirukan gayanya), itu namanya mendayung”

“mendayung kan Bu?”, dia agak memaksa

“kalau sepeda, namanya mengayuh. Mendayung itu seperti ini” saya tirukan lagi gaya mendayung. Akhirnya dia menerima jawaban saya.

Melihat keadaan seperti ini, maka menambah referensi bacaan adalah mutlak diperlukan. Sayangnya di sekolah saya tidak ada perpustakaan, baik bangunan fisiknya maupun buku-bukunya. Untuk menyiasatinya, saya membawa buku-buku bacaan yang saya miliki ke sekolah. Meski jumlahnya tidak seberapa. Tapi buku itu saya pinjamkan ke anak-anak yang tertarik untuk membaca dan saya meminta mereka meminjamkannya ke anak-anak yang lain, agar buku yang sedikit itu terus bergulir.

Beberapa anak menyambut buku bacaan itu dengan baik. Beberapa anak kalau saya tawarkan siapa yang mau pinjam buku saya tunjuk tangan dengan antusias. Beberapa anak sampai berebut di kelas tambahan membaca, padahal mereka sebenarnya belum lancar membaca. Kini saya masih sedang menunggu buku-buku sumbangan teman-teman berdatangan. Masih sedang berusaha menumbuhkan minat baca pada anak-anak. Masih sedang menanamkan kesadaran mereka untuk merawat buku. Dan saya bermimpi, dalam hari-hari mendatang berbahasa Indonesia bukanlah hal yang sulit lagi bagi anak-anak ini. Saya bermimpi, kelak saya membaca buku tulisan seorang putra daerah ini.

 

Salam riang dari barat Indonesia,

 

Pemi Ludi


Cerita Lainnya

Lihat Semua