This is Nothing. But It’s not That Kind of ‘This’

Agung Firmansyah 14 Oktober 2011

Mas Guru Punya Cerita: This is Nothing. But It’s not That Kind of ‘This’

I’ve faced the worst. This is nothing”. Itulah kalimat yang bisa diucapkan alumni PM nanti, kalau dia dihadapkan pada masalah tantangan besar dalam hidupnya, katanya Anies Baswedan (katanya-katanya :D, by Trio Kwek Kwek). Ya, tulisan ini akan menceritakan pengalaman tentang keampuhan kalimat sakti itu. I had faced the worst. This was nothing, tapi ... bukan that kind of ‘this’. :D

Awas, panjang!

Terbang dari Surabaya – pascamudik – saya mendarat sore hari di Makassar dan langsung menginap di rumah Yuni (ta Ekasari), PM 1 asal Makassar. Beberapa jam kemudian Nisa (Rachmatika) sampai dan kami jemput di Bandara Sultan Hassanuddin untuk bersama-sama numpang di rumah Yuni. Di sisi lain kota, ada Ujan dan Arrum yang menginap di rumah tantenya si Ujan. Mereka di sana sejak sehari sebelumnya, belanja barang-barang (dan jasa) yang susah didapat di Majene. Sejauh ini keadaan masih normal.

Kami sepakat pulang nanti malam. Tiket bis Litha sudah dipesan lewat telepon. Nisa, Ujan, dan Arrum memesan kursi Majene. Saya memilih naik jurusan Mamuju (desa saya lebih dekat ke Mamuju daripada Majene). Untuk memanfaatkan waktu tersisa kami putuskan untuk jalan-jalan secara terpencar, berbelanja memenuhi kebutuhan masing-masing. Waktu pun tak terasa.

Ya, seperti adegan sinetron yang mudah ditebak, jam pun menunjukkan pukul tujuh. Satu jam lagi bis akan berangkat dari pangkalan. Kami (saya, karena kami jalan-jalan secara terpisah) cepat-cepat keluar mall untuk kembali ke tempat menginap masing-masing. In my case, Yuni’s home. Biar cepat, saya naik taksi.

Seperti sinetron, taksi pun tak kunjung datang. 5 menit. 10 menit. Dan akhirnya 15 menit. Taksi didapat dan langsung meluncur ke rumah Yuni. Dan lagi, layaknya sinteron, supir taksi tidak tahu di mana letak alamat yang saya sebutkan. Saya pun begitu, hanya tahu alamatnya, tidak tahu arahnya. Saat Pak Supir sudah menyadari arah alamat rumah Yuni, kami pun terjebak macet. Makin lamalah saya sampai rumah.

Saya sampai di rumah Yuni.  Nisa sudah siap dengan barangnya. Beberapa orang di rumah Yuni sudah siap dengan paniknya karena mengkhawatirkan kami (saya ga tau, mereka panik betulan atau saya saja yang sok tahu :P). Saya pun sudah siap karena tas tinggal diambil di lantai 2. Yang belum siap adalah mobilnya. Sinetron pun berlanjut.

Mobil Yuni sedang tidak di rumah. Taksi kami telepon. Dan seperti sinteron kebanyakan, taksi pun tak kunjung datang. Usut punya usut, Pak Supir taksi yang ini juga kesulitan menemukan alamat rumah Yuni. Maklum, komplek baru. Setelah menunggu sekian lama (adegan slow motion) taksi datang. Kami (Nisa, Yuni, dan adeknya Yuni yang cewek) langsut melesat menuju pangkalan bis Litha. Syukurnya, jalanan mulus. Alhamdulillah.

Di gerbang markas bus, Fauzan keluar menjemput sambil buru-buru. Itu artinya bis belum berangkat. Leganya hati kami. Nisa melesat masuk bis karena ternyata bis jurusan Majene itu sengaja mengulur waktu berangkat hanya untuk menunggu Nisa seorang. Nisa, Ujan, dan Arrum pun berangkat ke Majene. Saya sendiri pergi ke loket untuk mengambil tiket saya, 1 kursi untuk bis jurusan Mamuju. Yuni dan adiknya menunggu di pinggir.

Di depan loket, “Mbak, bis jurusan Mamuju?”.

Dengan ekspresi datar, “Sudah penuh.”.

“Hah? Atas nama Fauzan, Mbak? Tadi pesan lewat telepon.”

“Maaf, sudah dijual. Harusnya tadi ambil di sini paling lama jam 4 Mas.”, jawabnya.

“Bis lain? Yang AC atau VIP atau apalah, pokoknya yang ke Mamuju/Majene malam ini?”

Sambil menggeleng, si Mbak petugas loket menjawab, “Kosong.”.

Haha. Dan haha.

Haha pertama. Artinya saya terancam menggelandang semalam di Makassar. Dini hari nanti pesawat Yuni dijadwalkan akan terbang ke Lampung. Yuni juga harus kembali mengajar di desa penempatannya. Jadi saya tidak membisakan diri untuk bermalam di rumah Yuni lagi. Mencari agen bis lain pun sepertinya percuma, apalagi waktunya mepet dengan jadwal keberangkatan bis.

Haha kedua. Dalam dunia pemesanan tiket, kata ‘penuh’ atau ‘full’ memiliki fungsi yang sama dengan kata ‘kosong’. Sama-sama punya arti ‘kamu ga bisa dapat tiket kali ini’ :D.

Yuni menawarkan bantuan untuk semalam lagi bermalam di rumahnya. Kan di sana masih ada si Yudi (adiknya Yuni yang pertama) yang bisa bantuin. Tapi saya tetap bersikeras untuk berkata tidak. Saya tidak mau merepotkan orang yang mau berangkat juga. “Terus, kamu mau nginep di mana?”, kata Yuni.

“Tenang Yun, insya Allah entar dapet aja. This is nothing.”, jawab saya sambil nyengir :mrgreen: .

Yuni tanya, nothing bagaimana. Saya jawab, “I’ve faced the worst . This is nothing. :cool: ”.

Setelah semua hal yang terjadi (taksi-taksian dan hal lain yang terlihat seperti kesialan), saya tetap yakin bahwa saya orang yang beruntung. I’m lucky guy, sometimes I get luck in unusual way. Lalu bagaimana?

Pertama, sms Arrum, koordinator PM Majene, untuk memberitahukan kalau mungkin besoknya saya tidak bisa ikut rapat karena tiket bis saya dijual kembali oleh si agen bis. Arrum membalas, “Kok bisaaaaa sih tiketnya dijual?”.

Langkah kedua, menelpon kenalan-kenalan yang ada atau mungkin berada di Makassar, dimulai dari Kak Eda, ex. fasilitator PM Majene.

“Assalamu’alaikum. Kak, apa kabar? Di mana sekarang? Oh, di rumah yang satunya. Wah, jadi ga sempat ketemu. Ga papa. Saya nginep di rumah Yuni kok, sama Nisa. Iya, bis saya sebentar lagi jalan.”

Sebentar lagi? Yup, ‘sebentar’ itu relatif bukan :D ?!

Kak Eda unavailable. Selanjutnya, Andi Muhammad Rijal, teman kuliah saya yang asli Palopo. Eh, bukannya Palopo jauh dari Makassar? Kan masih sama-sama Sulawesi. Mungkin saja dia lagi/masih/sedang di Makassar :wink: .

“Assalamu’alaikum. Man, di mana lo? Di mana tuh? Oh, gw juga masih di Makassar. Gw main ke tempat lo ya. Sekalian nginep aja. Mumpung bisa ketemu. Okeh? Ok deh.”

Haha, alhamdulillah. Masalah ‘terancam menggelandang semalam’ di Makassar solved. Kan sudah saya bilang, saya yakin bahwa saya ini diciptakan jadi orang yang beruntung. Makanya saya tetap tenang. Tinggal berusaha saja.

Tapi, ‘lucky guy’-thing bukan satu-satunya yang membuat saya tidak panik. I said that I had faced the worst. Really? Yes. Real big yes, sampai kamu bisa bilang kalau tiket-dijual-ke-orang-lain-oleh-agen-bis-ditambah-terancam-menggelandang are nothing.

Bagaimana bisa?

Saya ketinggalan pesawat :mrgreen: . Ya, saya telat check-in pesawat yang seharusnya mengantar saya dari Surabaya ke Makassar gara-gara my lack of experience naik pesawat. Saya ketinggalan pesawat, yang membuat saya harus membayar lebih dari 1.000 ribu untuk tiket reservasi ulang.

That’s the worst. So, left by the bus? That's nothing. :D

Ditulis juga di sini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua