Muhadir, Favoritku
Pemi Lestari 20 Oktober 2011“orang baik, tidak memilih-milih dalam menyasarkan kebaikannya”
Seperti pernah saya ceritakan di tulisan saya sebelumnya, saya punya banyak adik di sini. Aslinya, saya ini anak terakhir dari 5 bersaudara. Saya terbiasa hidup dengan banyak kakak, saya terbiasa hidup sebagai adik kecil. Tapi, di keluarga ini saya tiba-tiba menjadi seorang anak sulung. Drastis, dari bungsu dengan 4 kakak, menjadi sulung dengan 5 adik.
Ternyata memiliki adik cukuplah menyenangkan. Saya suka bilang adik-adik saya yang masih kecil-kecil itu lucu-lucu ngeselin. Yah, kadang bikin saya tertawa tapi kadang bikin saya sedikit geleng-geleng kepala juga. Maklumlah anak-anak.
Diantara 5 adik saya itu, saya punya adik favorit, namanya Muhadir kelas 1 SMP. Saya suka Muhadir karena dia seperti lagunya Britney “not a boy, not a yet a man”, hihi. Dia tidak benar-benar anak-anak seperti Marisa dan Amalia tapi juga belum dewasa seperti Ira dan Azmi. Saya suka Muhadir karena dia sering membuat saya tersentuh dengan kepeduliaannya dan perlakuannya pada saya sebagai kakak.
Muhadir masih bisa dibilang anak-anak, tapi kadang pikirannya dewasa. Suatu hari gerimis turun, sayapun mengangkat jemuran. Jemuran yang saya angkat diantaranya adalah baju Azmi (abang pertama di keluarga itu, umurnya 23 tahun). Waktu itu saya minta tolong Muhadir untuk meletakkan baju itu pada tempatnya. Melihat saya menyerahkan baju Azmi, Muhadir kaget, dia tanya
“ini kak Ludi yang nyuci?”
“bukan, kak Ludi cuma angkat dari jemuran”
“oh, kupikir kak Ludi yang nyuci”
“memangnya kenapa?”
“kalau kak Ludi yang nyuci, aku mau marahin bang Azmi”
Saya tersenyum. Dia tidak rela kalau saya sampai menyucikan baju Azmi yang sudah besar dan bisa mencuci sendiri.
Muhadir adik yang baik. Waktu musim duren, dialah yang rajin pergi ke kebun untuk melihat adakah duren yang jatuh. Buat saya, ini aktivitas yang “asing”, makanya saya bilang pada Muhadir, saya juga mau diajak cari duren yang jatuh di kebun sesekali. Muhadirpun bersedia mengajak saya. Suatu pagi akhirnya kami pergi ke kebun. Letaknya cukup jauh dari rumah, agak ke dalam hutan. Nyamuknya banyak sekali. Ketika Muhadir akan mencari duren di bawah pohon yang lebih masuk lagi ke dalam hutan, dia meminta saya untuk menunggu saja di bawah pohon duren terdekat “kak Ludi tunggu sini aja ya, biar aku yang cari kesana”. Dia tidak tega melihat saya masuk ke dalam hutan dan diserbu ribuan nyamuk. Hehe.
Kadang saya iri dengan Muhadir yang lahir dan dibesarkan di desa. Karena dia memiliki banyak aktivitas yang tidak pernah saya lakukan pada masa kecil saya. Dia seperti anak Geudumbak kebanyakan, yang suka berenang di sungai irigasi di waktu sore. Tidak seperti anak kota yang kalau mau berenang harus ke kolam renang ketika hari libur, dengan membawa uang untuk membayar tiket masuk, serta baju ganti. Anak Geudumbak hanya perlu berjalan ke pinggir sungai irigasi, melepas pakaian mereka dan meletakkannya di rerumputan, dan melompatlah mereka ke dalam air. Muhadir kadang pulang dengan rambut dan celana basah, dia habis mandi di sungai irigasi.
Muhadir si anak desa memiliki handphone. Saya sendiri takjub. Karena saya bahkan baru punya benda itu setelah lulus SMA. Saya bertanya darimana dia dapat, ternyata beli dengan uangnya sendiri. Lebih mengherankan lagi, darimana dia dapat uang. Ternyata hasil dapat “julo julo” istilah aceh untuk arisan. Ya, Muhadir ikut arisan. Itupun saya masih heran, darimana dia dapat uang untuk membayar arisan yang sehari Rp 1000 itu karena setahu saya dia punya uang saku yang pas-pasan dengan jajannya di sekolah.
“kan ada uang lain” begitu jawabnya.
“uang lain darimana?”
“dari jual coklat, jual boh kuyuen..”
saya tertawa, Muhadir si pengusaha kecil. Muhadir, kalau sedang butuh uang, dia akan rajin ke kebun.
Suatu hari kami pernah membicarakan Marisa dan Amalia. Muhadirpun berkomentar tentang mereka
“dasar anak-anak”
“ah, kaya kamu bukan anak-anak aja Dir”
“bukan kak Ludi, kalau aku sudah dewasa”
saya tertawa “sudah dewasa kok susah kalau dibangunkan pagi-pagi mau sekolah? Kalau sudah dewasa harusnya sudah punya kesadaran sendiri, bangun sendiri, tidak perlu dibangunkan lagi. Ini ko malah harus dibangunkan sampai berkali-kali”
“besok-besok kak Ludi yang bangunin aku ya, aku pasti langsung bangun”
Faktanya, Muhadir tetap harus “diteriakin” setiap pagi. Hehe.
Muhadir juga polos sekali, dia akan mengutarakan apa yang dia pikirkan tanpa sungkan. Suatu hari dia bertanya
“kak Ludi kalau kemana-mana pake tas ini ya?” dia menunjuk ke tas selempang saya.
“iya..”, saya jelaskan alasannya dari kebiasaan saya yang sudah mendarah daging ini. “memang kenapa Dir, aneh ya?”
“kaya tukang ikan”
hahaha. Saya terbahak. Jauh-jauh ke aceh ujung-ujungnya saya dimiripkan dengan tukang ikan.
Saya tidak ingin hanya sekedar menjadi orang yang pernah hidup bersama Muhadir, juga bagi adik-adik saya disini. Saya menganggap mereka adalah adik saya, jadi saya berperan sebagai kakak mereka, yang menyayangi, yang suka mentraktir, yang suka meminta tolong belikan sesuatu di warung, hehe, dan lain-lain, termasuk juga kakak yang mengajarkan nilai-nilai pada adiknya. Suatu hari memory card hp Muhadir rusak. Karena harga barang-barang seperti itu lebih murah di jakarta, dia menitip pada saya untuk dibelikan dan dikirim barangnya kesini. Sekalian saya minta kirim beberapa barang dari jakarta, saya titip minta belikan memory card. Dia bilang nanti akan dibayar. Akadnya adalah hutang, saya mengingat itu.
Ketika memory card sudah sampai, Muhadir belum punya uang. Dia bayar dengan mencicil. Sampai lama kemudian cicilannya belum juga lunas, bahkan setengahnya pun belum. Sayapun menagih padanya dengan bercanda, di sela-sela obrolan kami. Dia mengaku “kupikir kak Ludi udah lupa”
“oh ga, kak Ludi ingat. Kamu dulu bilangnya hutang, kalau hutang harus dibayar”
Mungkin terasa aneh melihat saya begitu perhitungan dengan uang pada adik sendiri, yang masih kecil pula. Tapi ini bukan tentang uang sama sekali. Saya ingin mengajarkannya tentang arti sebuah “akad”, tentang konsekuensi dari sebuah hutang. Saya bilang pada Muhadir
“kalau dulu kamu bilangnya minta, kak Ludi akan kasih, tapi karena dulu kamu bilangnya hutang, maka itu harus dibayar. Jadi orang itu harus bisa memenuhi janji. Kak Ludi pengen Muhadir belajar untuk bertanggung jawab dengan kata-kata sendiri”.
Saya juga ingin melihat itikad baiknya dalam melunasi hutangnya. Sungguh ini bukan tentang uang. Saya memang begini dalam menanggapi sebuah “akad”. Maka ketika suatu hari Muhadir bayar lagi cicilan hutangnya, dengan jumlah yang cukup besar, saya tanya darimana uang itu. Ternyata hasil jual coklat. Karena sudah melihat itikad baiknya, juga melihat kesadarannya untuk melunasi hutang, saya rasa kompetensi dasar yang ingin saya sampaikan sudah tercapai. Hehe. Saya bilang padanya “oke, sisanya kuanggap lunas Dir, ngga usah dibayar, buat kamu aja”
Hari ini saya dibuat terharu lagi olehnya. Tadi pagi ketika saya sedang mencuci piring, dia hendak makan. Saya tanya padanya
“udangnya mau kamu habiskan ngga Dir?”
“ngga”
“owh, padahal maksudku, kalau kamu habiskan udangnya, tolong bawa wajannya kesini, biar sekalian kucuci”
“memangnya kak Ludi sudah makan?”
“sudah”
“ooh..kalau gitu udangnya kuhabiskan aja”
subhanaLLAH, ternyata dia berniat tidak menghabiskan udang itu karena ingin berbagi dengan saya. Padahal udang di wajan tadi pagi itu sudah tinggal sedikit, satu porsi. Memang sengaja disisakan untuk dia seorang.
Ada banyak cerita yang bisa dituliskan tentang Muhadir, tapi ada satu percakapan menarik yang ingin saya bagi sebelum tulisan ini ditutup. Suatu hari, setelah tersentuh dengan kebaikannya yang entah keberapa, saya bertanya padanya
“Muhadir..Muhadir..kamu ko baik sekali sih sama kak Ludi?”
dia jawab dengan santai “ooh..aku ini memang baik kak Ludi, bukan cuma ke kak Ludi saja, sama orang lain juga aku baik”.
Muhadir, saya sayang sekali padanya. Sayangi dia juga ya ALLAH
salam berpelukaaan dari barat Indonesia,
Pemi Ludi
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda