Mari Menjadi Kaya

Pemi Lestari 20 Oktober 2011

sebaik-baiknya harta yang baik adalah milik orang baik”

 

Saya baru sadar, setelah sekitar 2 bulan berada di sini, kalau jarak dari rumah saya ke sekolah adalah cukup jauh. Bukan karena selama 2 bulan pertama saya tidak pernah pergi ke sekolah, tapi karena selama ini saya merasa jarak yang saya tempuh setiap hari itu tidaklah jauh. Ini masalah relativitas kawan. Mengetahui kalau ini terasa jauh bagi orang lain adalah ketika saya diantar pulang oleh Dandim Aceh Utara. Bapak, begitu biasa kami memanggilnya karena hubungan kami yang cukup dekat seperti seorang ayah angkat, mengantarkan kami satu persatu pulang ke rumah dari Lhokseumawe. Waktu mengantar saya, di dalam mobil masih ada 3 PM Aceh Utara lain. Dan ketika menyusuri jalan dari jalan irigasi langkahan, dimana di pinggir jalannya, km 22 terdapat sekolah saya, ke dalam gampong Geudumbak, anak-anak juga Bapak berujar

“rumahmu jauh ya dari sekolah”

saya, karena tidak merasakan itu, menjawab “ah masa sih? Ga kok”

“segini mah jauh”

Mereka bersepakat rumah saya cukup jauh dari sekolah. Padahal saya setiap hari jalan kaki pulang pergi menempuh jarak itu. Sampai suatu hari saya mengkonfirmasinya dengan alat ukur, 1 km. Segitulah jarak rumah ke sekolah.

 

Jarak 1 km tidaklah terasa jauh ditempuh untuk pulang dan pergi sekolah. Karena saya hampir selalu berjalan bersama anak-anak. Kecuali kalau saya sedang terburu-buru, atau membawa bawaan yang berat, rasanya dari jalan kaki dari irigasi langkahan ke rumah ko tidak sampai-sampai.

 

Saya paling suka perjalanan pulang sekolah. Meski itu terik sekali dan rasanya suhu udara aceh lebih panas dari jakarta, tapi berjalan bersama anak-anak terasa lebih ringan langkahnya. Sepulang sekolah anak-anak akan dengan senang hati berjalan mengiringi saya. Beberapa anak dengan sengaja menunggu agar kami bisa pulang bersama, beberapa ada yang berlari-lari untuk menyusul “rombongan” kami agar bisa berjalan beriringan. Bahkan yang lucu, sekarang di rombongan pulang sekolah saya bertambah satu anak. Padahal dulu dia tidak pernah bareng karena dia membawa sepeda ke sekolah. Suatu hari saya tanya, kenapa tidak naik sepeda lagi. Dia jawab “soalnya saya lalai bu, kemarin sepedanya ketinggalan”

saya heran mendengar jawabannya, “ketinggalan?”

“iya, saya ikut jalan pulang sama ibu, saya lalai kalau bawa sepeda hari itu. Sepedanya saya tinggal di sekolah”

saya tertawa mendengarnya. Sampai lupa bawa sepeda karena ikut rombongan jalan kaki.

 

Sambil berjalan saya mengobrol banyak hal dengan mereka, biasanya menanyakan tempat tinggal, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang jakarta, atau belajar bahasa aceh. Mereka akan dengan senang hati menjawab (dan bertanya) pada saya. Kadang bahkan saya berjalan sambil minta diajari lagu anak-anak aceh, belajar dari mereka.

 

Perjalanan pulang ini potensial sekali sebenarnya untuk menyampaikan sesuatu pada anak-anak. Karena situasinya yang santai, posisi yang terasa lebih sejajar, tidak di bawah aturan yang mengikat, dsb. Saat berjalan bersama itu, saya “lebih terasa” sebagai teman bagi mereka ketimbang di kelas. Saya suka perjalanan pulang, karena ada banyak sekali topik yang bisa terbahas.

 

Seperti hari ini, seorang anak tiba-tiba bertanya “orang indonesia itu banyakan yang miskin atau yang kaya sih bu?”. Saya bilang “lebih banyak orang miskin. Makanya, belajar yang rajin ya, sekolah yang tinggi, biar nanti bisa jadi orang kaya”

“saya ngga mau jadi orang kaya bu, saya mau jadi orang sederhana”

O ow. Harus diluruskan, otak saya seketika bilang begitu. Saya jadi teringat diskusi beberapa waktu silam dengan sekelompok orang, tentang bedanya zuhud dengan miskin. Ah, tapi anak-anak ini belum bisa diajak berdiskusi sampai sana, sayapun menjelaskan pada mereka dengan bahasa yang mereka mengerti.

“eh, orang kaya juga bisa ko hidup sederhana. Coba bu guru tanya, mana yang lebih baik, orang miskin yang hidupnya sederhana, atau orang kaya yang hidupnya sederhana?”

“orang kaya yang sederhana bu”

“nah, kamu mau jadi yang mana, orang miskin yang tidak sombong, sederhana, atau orang kaya yang sederhana dan tidak sombong?”

“orang kaya yang tidak sombong bu”

“nah kan, orang kaya juga bisa ko tidak sombong, hidup sederhana, pemurah. Coba, kira-kira, mana yang bisa lebih banyak kasih sedekah, orang miskin atau orang kaya?”

“orang kaya!”

“jadi, tidak ada salahnya jadi orang kaya, asalkan orang kaya yang baik, yang dermawan, yang banyak sedekah. Kalau kita kaya, kita bisa lebih banyak bersedekah. Mau tidak jadi orang kaya?”

“mau bu!”

“tapi banyak orang kaya yang ngga baik bu”

“nah makanya, kamu harus jadi orang kaya, biar nanti semakin banyak orang kaya yang baik”, lanjut saya “kamu tahu, sekarang banyak orang kaya yang ngga baik jadi uangnya banyak dipergunakan untuk hal yang ngga baik juga, coba kalau yang kaya itu orang baik, uangnya juga akan digunakan untuk hal yang baik-baik”

“jadi, kita semua harus jadi orang kaya, yang dermawan, yang baik, yang tidak sombong, yang peduli dengan orang miskin, yang banyak sedekah. Kalau bu guru sih ngga mau jadi orang miskin, bu guru mau jadi orang kaya”.

Mereka menyimak dengan baik kata-kata saya. Akhirnya kami sepakat, mau jadi orang kaya, hehe.

 

Menarik obrolan rombongan pulang hari ini, lebih menarik lagi menantikan akan ada obrolan apa lagi, di pulang sekolah hari-hari yang akan datang.

 

 

PS: quote di awal tulisan adalah hadis riwayat bukhari

 

 

salam kepengen kaya dari barat Indonesia ^^,

 

 

Pemi Ludi


Cerita Lainnya

Lihat Semua