Listrik, dari Koi Sampai Cinderella
Pemi Lestari 12 Mei 2012“Kelistrikan, membuat sebuah desa menyala, tidak hanya lampunya” 4,5 jam. Ada yang familiar dengan bilangan ini? Kalau ada yang pernah baca buku Indonesia Mengajar, kumpulan cerita para PM 1, ini memang judul salah satu cerita di buku tersebut. 4,5 jam adalah durasi lamanya listrik menyala di desa si PM 1 yang bersangkutan.
Dusun saya sekarang hanya beti alias beda tipis. Kalau saya ingin membuat tulisan serupa maka semestinya saya memberi judul 5 jam. Ya, itulah durasi keberadaan listrik di desa saya dalam sehari. Tidak pas 5 jam, bisa lebih, seringkali kurang. Tapi sayangnya saya tidak mau memberi judul macam itu, tidak orisinil, tidak khas, heu.
Cerita-cerita tentang ketidakberpunyaan listrik 24 jam bagi Pengajar Muda mungkin hal yang sangat lumrah. Basi. Sudah sering ada yang cerita. Namun saya masih tertarik mengangkat cerita ini, tidak lain dan tidak bukan karena saya baru-atau bisa dibilang akhirnya-merasakannya. Sudah sebulan lebih saya berlistrik 5 jam, setelah 10 bulan menjadi PM. Ini yang agak beda dengan PM lainnya. Kalau para PM berlistrik 24 jam (mari kita sebut ber-PLN) sejak awal penempatan, maka sampai sekarangpun mereka begitu.
Demikian sebaliknya, PM berlistrik beberapa jam (mari kita sebut ber-genset) juga dari awal sampai sekarang begitu. Tapi saya mengalami kepindahan. Di sinilah bedanya, 9 bulan di Aceh saya ber-PLN, 4 bulan berikutnya di muara enim saya ber-genset. Jadilah pengalaman saya lebih komplit. Hehe. Tidak hanya saya yang perlu beradaptasi dengan kelistrikan ini, teman-teman sayapun juga. Tidak sepenuhnya adaptasi sih, hanya penyesuaian (lah ini adaptasi juga bukannya? Haha).
Misalnya ketika saya bercerita bahwa saya sedang menanti kiriman MP3 player yang tertinggal. Saya bilang kalau saya butuh benda-benda yang rechargeable sekarang karena di desa tidak ada listrik 24 jam. Teman saya kaget dan bilang “oo..subhanallah gada listrik iya, cihuy (sambil ngebayangin gimana rasanya gada listrik dan signal)”
Lain lagi teman saya lainnya, dia sms saya tentang earth hour (dan karena saya tak bersinyal pula, maka sms inipun saya terlambat menerimanya) Earth hour 60+ Saturday 31 March Ayo kita hemat energy dan selamatkan bumi! Matikan lampu pukul 20.30-21.30 WIB. Ini aksiku! Mana aksimu ;) Saya balas bercanda “Disini listriknya cuma 5 jam sehari. Perlu matiin juga jam segitu?”
Atau ada lagi teman saya yang lain, dia takjub melihat foto murid-murid sedang mengerumuni laptop kecil saya itu “kelasnya mirip laskar pelangi yaaa Jadi pengen maen kesana Bawa lcd lebar-lebar”
Saya jawab “iya. Kelasnya dari kayu Kelas sebelah bisa ngintip Bahkan pinjam-pinjaman alat tulis Gada listrik Kalo bawa lcd sekalian genset” Diapun kaget. Karena harus sekalian bawa genset. Hehe. Kelistrikan, memang hal lumrah bagi orang kota. Maka keadaan kebalikannya, ketiadaan listrik, selalu dipandang takjub atau bahkan sulit dipercaya, sekali lagi, bagi orang kota.
Kelistrikan, saya baru sadari urgensi lainnya setelah jadi Pengajar Muda. Kalau dulu waktu di Jakarta, saya memandang urgensi listrik itu diperlukan untuk menyalakan lampu dan peralatan elektronik yang memudahkan pekerjaan manusia seperti mesin cuci, pompa air, dan setrika. Karena yang paling terasa merepotkan kalau sudah diberi tahu akan ada pemadaman bergilir adalah persediaan air, kematian mesin cuci, dan baju kusut. Ibu saya akan segera mengisi wadah-wadah air penuh-penuh, saya buru-buru mencuci baju (kalau memang akan mencuci, hehe) dan mensetrika baju-baju yang akan dipakai. Begitulah orang kota.
Kalau ditambah sedikit, meminjam dari cerita Dahlan Iskan, listrik juga berguna untuk menjaga makanan tetap awet di kulkas dan memberi tambahan hiasan di rumah yaitu ikan mahal dalam akuarium. Tapi setelah seorang kawan menempati desa tanpa listrik di aceh saya baru tahu ada lagi urgensi kelistrikan dalam hal pendidikan. Listrik bisa digunakan untuk menyalakan televisi. Dan kotak pemilik dua mata pisau itu, meski banyak menyuguhkan tayangan tidak mendidik, juga memiliki manfaat-manfaat dalam pendidikan dan menambah wawasan.
Yang paling nyata terlihat adalah minimnya kemampuan murid-murid kawan saya itu dalam berbahasa Indonesia. Murid-murid semua PM Aceh Utara memang sulit berbahasa Indonesia, tapi yang paling parah adalah murid di desa tak berlistrik itu. Apa sebab? Murid lainnya bisa belajar, atau setidaknya lebih familiar dalam bahasa Indonesia, dari televisi. Juga ada banyak hal lain terkait pengetahuan, visualisasi dunia luar, berita, dll yang bisa didapat dari televisi. Sehingga terjadilah, murid dari desa tak berlistrik itu jadi murid paling ndeso dibanding murid PM Aceh Utara semua.
Karena kelistrikan pula, SD saya sekarang kehilangan kesempatan mendapatkan satu set computer sumbangan. Kelistrikan, ternyata tidak hanya penting untuk mandi tanpa menimba air dan memasak nasi tanpa dandang. Kelistrikan juga penting dalam memajukan ekonomi suatu daerah. Kelistrikan juga penting untuk membuka jendela anak-anak di pelosok. Kelistrikan, juga bisa jadi media belajar. Saya jadi teringat suatu hari mengajar tentang penulisan jam dengan format 12 jam, penggunaan AM dan PM.
Saya menghubungkannya dengan cerita Cinderella, utamanya adalah ketentuan bahwa Cinderella harus pulang pada pukul 12 malam (berakhirnya PM dan dimulainya AM). Murid-murid saya semua bisa menceritakan kembali dongeng Cinderella dengan hampir tepat, ketika saya tanya mereka tahu darimana? “nonton tivi bu”.
Syukurlah ada listrik di dusun ini, meski hanya 5 jam sehari. Tambahan cerita: Suatu hari saya dan anak-anak kelas VI pergi ke kelas induk untuk mengikuti ujian.
Fyi, sekolah saya adalah kelas jauh dan terletak di dusun VI, sementara kelas induk terletak di dusun II jaraknya sekitar 20 km. Ujian untuk anak kelas VI diselenggarakan di kelas induk, di dusun II. Di perjalanan setelah memasuki dusun II saya berkata ke anak di sebelah saya “lihat Nda, jalanannya aspal, sinyal ada. Beda sama dusun kita”.
Tanpa disangka anak itu dengan cerdas melengkapinya “ada lagi bu, lihat, ada tiang listrik disini, listriknya sudah PLN”. Ah iya ya. Keberadaan listrik di kelas induk, semakin memperbesar “jarak” sekolah kami. Tapi kabar baiknya, anak murid saya di kelas jauh tak kalah pintar dari anak di kelas induk sana.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda