Iklan dan Teladan

Pemi Lestari 12 Mei 2012

“Bagaimanapun guru adalah sosok iklan dan teladan yang mampu menggerakkan hati para muridnya untuk memilih kebaikan” (St. Kartono)

Di sebuah pelatihan guru si pembicara menyuruh para audiens untuk berhenti menggunakan para pahlawan atau siapapun orang terkenal lain, di luar dirinya untuk menjadi teladan. Dia menantang guru-guru untuk bisa menjadikan dirinya sendiri sebagai role model bagi para siswanya. Melanggar kebiasaan. Mengguncang pikiran.

Tapi ide ini menarik. Karena sejatinya, menjadi guru adalah menjadi seorang yang harusnya bisa digugu dan ditiru. Seorang guru, adalah sebuah model yang paling dekat dengan siswanya (atau kedua setelah orang tua). Akhir-akhir ini saya juga begitu. Suka mencontohkan diri sendiri pada siswa-siswa saya. Agar terasa lebih dekat dan lebih mudah dijangkau. Agar tidak terasa mengawang-awang dan langitan. Tentu tidak semua harus dicontoh.

Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Untuk hal-hal yang memang bisa diteladani, maka saya sampaikan. Bahkan termasuk kesalahan saya, agar mereka bisa mengambil hikmahnya. Karena saya juga bukan manusia sempurna. Seperti pagi itu, lagi-lagi ada anak yang berantam. Adalah hal biasa di sekolah ini, sesama kawan saling mengganggu. Adalah lumrah di sekolah ini, setiap hari ada yang menangis. Sungguh bukan hal yang baik, sampai-sampai itu jadi materi dalam amanat upacara waktu saya jadi pembinanya. Saya berpesan agar tidak ada lagi anak yang bertengkar, juga tidak ada lagi anak yang menangis. Sesama kawan harus saling menyayangi. Dan menangis itu tidak menyelesaikan masalah.

Kembali ke pagi itu, seorang anak laki-laki sudah kelas V menangis. Karena dicakar oleh anak kelas IV. Sebabnya adalah si kelas V minta makanan si anak kelas IV. Si kelas IV tidak memberi, sehingga si kelas V marah. Sambil marah dia menyambar makanan si kelas IV hingga tumpah. Si kelas IVpun murka dan mencakarlah dia. Keduanya saya ajak bicara. Keduanya punya saham kesalahan. Yang satu celamitan yang satu pelit. Yang satu tidak berlapang dada yang satu main kasar. Keduanya saya suruh saling memaafkan.

Tapi ternyata si kelas V tidak mau. Hatinya terluka, sama dengan pipinya. Sudah diarahkan untuk saling berjabat dan memaafkan si kelas V tetap bergeming. Prinsip saya adalah tidak memaksa dalam perkara perdamaian begini. Saya tidak mau memaksa seorang anak meminta maaf, sebagaimana saya tidak mau memaksa seorang anak memaafkan. Semua harus datang dari hati masing-masing. Maaf bukanlah sekedar kata pemanis mulut belaka. Sambil menunggu hatinya terbuka sayapun bercerita. Di dalam kelas saya berkisah, bukan hanya untuk si dia yang sedang marah, tapi untuk semuanya.

Saya berkisah tentang pengalaman saya dalam bertengkar dengan teman. Agak sulit sebenarnya menceritakan pengalaman pribadi dalam bertengkar dengan teman. Karena saya waktu kecil adalah tipe anak baik-baik dan tidak suka bikin onar. Dengan kawanpun selalu baik-baik saja hubungannya. Tapi saya teringat satu cerita, tentang jejak kelicikan saya di masa muda. Saya tidak ingin menceritakan jejak kelicikan itu disini, hehe. Saya pernah menceritakannya di blog pribadi saya, beberapa tahun lalu. Kisah itu adalah pengalaman Pemi kecil kelas VI SD. Pengalaman Pemi kecil mencurangi teman sendiri. Teman SD saya yang jadi tokoh cerita itu pernah membaca blognya dan tertawa-tawa mengenangnya. Saya bilang pada anak-anak, “Ibu Ludi waktu kecil juga pernah nakal, Ibu Ludi juga pernah licik dan curang. Tapi kami selalu saling memaafkan”.

Saya bercerita bahwa teman yang saya liciki itu, satu-satunya kisah kelicikan yang sampai sekarang saya ingat, bahkan sampai saya tulis di tahun pertama saya nge-blog, adalah teman saya sampai sekarang. Dari sekian banyak teman SD saya, yang jadi life time cuma dia. Dialah teman SD yang tersisa dan masih tetap kontakan. Saya bilang pada anak-anak, “kami masih berteman sampai sekarang, karena dia mau memaafkan.” Ya, saya memang bukan manusia yang sempurna. Begitupun dengan semua guru di dunia ini. Tapi saya yakin, dalam perikehidupan kita, ada jenak-jenak yang bisa kita bagi pada murid-murid kita. Ada hal yang bisa mereka teladani, ada hikmah yang bisa mereka resapi.

Alangkah baiknya bila kebiasaan ini bisa mereka lanjuti, bila mereka nanti juga menjadi guru, atau menjadi apapun di masa depannya. Terbiasa untuk menjadi model bagi orang di sekitar. Karena saya yakin, belajar untuk menjadi model, juga berarti belajar untuk mencegah diri berbuat kesalahan dan memperbanyak kebaikan.

Muara Enim, 11 Mei 2012


Cerita Lainnya

Lihat Semua