aku ingin sekalipun memeluk ibu

Pemi Lestari 11 Maret 2012

“aku ingin sekalipun untuk memeluk ibu. Tapi aku tidak bisa karna banyak orang di samping kita”

Malam terakhir saya di Lhokseumawe adalah malam perpisahan kami dengan banyak orang. Tapi anehnya, air mata saya tidak mau menetes, tidak seperti malam-malam sebelumnya atau perpisahan-perpisahan yang sudah kami cicil sebelum malam terakhir itu, atau malam-malam dimana saya terbayang mereka yang akan saya tinggalkan. Saya mendiagnosa, karena malam itu pikiran saya sibuk dengan barang bawaan saya yang segambreng. Packing yang baru saja selesai beberapa menit sebelum keberangkatan. Bayangan horor over bagasi. Dan rasa kesal karena telah memubazirkan 2 kg dari jatah 30 kg pengiriman via ekspedisi.

Beberapa teman memang mengharamkan diri untuk menangis pada perpisahan ini. Menurut mereka, kepergian mereka tidak untuk ditangisi, mereka ingin meninggalkan senyuman dan semangat. Ah, saya bukan orang yang seribet itu. Kalau sedih ya nangis saja, kalau senang ya tertawa saja. Selesai. Masing-masing gayanya.

Seorang teman pernah bilang saya cengeng. Seorang lain bilang hati saya lembut, makanya saya selalu nangis duluan ketika ada hal mengharukan. Saya lebih suka yang kedua, tentu saja. Hehe. Begitupun ketika perpisahan di sekolah kemarin, belumlah saya mulai memberi sambutan panjang, suara saya sudah bergetar menahan tangis, air mata sulit dibendung. Anak-anak juga ikut menangis. Yang menarik, anak yang paling tersedu justru anak laki-laki, anak yang pernah membuat saya kesal karena mencontek dengan keterlaluan dan saya tidak mau menerima lembar jawabannya, anak yang jauh dari kesan baik-baik di kelas dan suka berbuat onar, atau anak cuek dan suka memberi bahasa nonverbal tidak perduli, mereka.

Tapi siang itu saya kembali menangis, di pesawat, karena membaca surat anak-anak. Ketika perpisahan anak-anak memberi saya kenang-kenangan. Isinya bermacam-macam, mulai dari pakaian sampai sabun. Bersama kado itu mereka menyertakan surat. Sungguh saya tidak terlalu perduli dengan isi kadonya, saya lebih tertarik dengan lembaran-lembaran bertuliskan tangan berisi surat mereka itu. Satu surat yang benar-benar melelehkan air mata saya adalah

“bu selamat tinggal. Maafkan aku karna aku tidak membawa apapun untuk ibu. Dan aku ingin sekalipun untuk memeluk ibu. Tapi aku tidak bisa karna banyak orang di samping kita. Aku berterima kasih dengan ibu ya. Semoga ibu bisa memaafkan aku

Aku sangat cinta sama ibu”.

Saya akan cerita pada anda keadaannya, sehingga anda bisa memahami alasan betapa remuk redamnya hati saya membaca surat ini.

Entah dengan daerah lain tapi di aceh orang-orang suka memberi kenangan jika hendak perpisahan. Satu cerita mengharukan tentang kado perpisahan dimiliki Dimas Sandya, PM Aceh Utara lainnya. Muridnya memberinya kado lembar soal OSK, ya, soal OSK! Aneh kan? Justru disitulah harunya. Muridnya ingin sekali memberinya kado kenang-kenangan, tapi tidak punya apa-apa untuk diberikan. Dan dipilihlah soal OSK, karena baginya itu adalah harta berharganya, sebuah saksi bisu perjalanannya ke kota dan pengalamannya yang tak tergantikan telah mengikuti olimpiade dengan peserta dari kabupaten aceh utara, kabupaten bireuen, juga kota Lhokseumawe. Oleh karenanya lembar soal OSK yang berharga diberikannya pada orang yang berharga pula, pak gurunya tercinta. (lebih detailnya, mintalah Dimas Sandya untuk cerita)

Kembali ke murid saya, saya jadi bisa sedikit memahami bagaimana perasaannya tidak membawa apapun untuk saya. Ah, anakku, sungguh itu bukan masalah buat ibu!

Si pengirim surat bernama Juliana R. Anak yang pendiam, tidak banyak bicara di kelas, maupun di luar kelas. Murid saya banyak sekali. Bisa dibilang terbanyak dibanding semua PM Aceh Utara lainnya, karena saya mengajar mata pelajaran pada sekitar 200 murid. Diantara murid yang banyak itu, banyak pula yang cerewet, banyak bicara, banyak tanya, banyak cari perhatian. Inilah kekurangan saya sebagai guru, tidak semua anak benar-benar bisa saya perhatikan secara personal. Termasuk Juliana R yang pendiam di kelas, tertutup oleh keaktifan teman-teman sekelasnya.

Meskipun pendiam, saya sering berkomunikasi dengan Juliana R. Kami “mengobrol” melalui buku curhat. Saya membagikan buku tulis ke seluruh anak kelas VI untuk sarana komunikasi kami. Buku itu boleh mereka tuliskan apa saja, benar-benar apa saja, boleh curhat, surat, cerita, puisi, pantun, bahkan teks lagu. Setelah menulis mereka boleh mengumpulkannya pada saya, kemudian saya beri umpan balik dan saya kembalikan pada mereka, begitu terus. Tidak semua anak benar-benar memanfaatkan buku itu, tidak semuanya menulis dan memberikannya pada saya. Tapi, dari sedikit yang konsisten menulis, komunikasi via tulisan diantara kami terjalin, salah satunya Juliana R.

Inilah hal kedua yang membuat hati saya remuk redam. Saya tahu Juliana R tidak ekspresif, dia tidak ngotot, dia cenderung menarik diri dan mengalah. Di kelas dia tidak pernah bicara, tapi saya tahu kalau dia berbakat menulis dari buku curhatnya. Saya memotivasinya untuk ikut lomba mengarang di sekolahpun juga melalui buku curhat. Dan saya benar-benar merasa bersalah karena luput memperhatikannya di hari perpisahan saya di sekolah.

Hari itu, setengah murid di sekolah bertahan (dan dipertahankan) berada di sekolah untuk hadir di perpisahan. Kelas rendah dipulangkan, kelas tinggi tinggal di sekolah. Itu artinya minimal ada sekitar 150 anak yang ikut acara perpisahan. Setelah seremoni perpisahan selesai, saya memutarkan video untuk anak-anak, membagi kenang-kenangan, hari sudah siang. Guru-gurupun pulang satu persatu. Saya masih di sekolah bersama anak-anak. Anak-anak yang tersisa meminta foto berdua. Ah, waktunya terlalu sempit, tak memungkinkan saya foto berdua-berdua, saya mengajak mereka foto perkelas. Anak-anak terus mengerubuti saya.

Saya jadi memahami perasaan Juliana. Dia ingin memeluk saya, tapi di sekeliling saya ada puluhan anak lain. Dan dia, tidaklah seperti anak lainnya yang dengan agresif dan lugas meminta foto berdua. Dia tidak ingin minta foto, dia hanya ingin peluk, itupun dia tidak bisa mengatakannya langsung pada saya. Anakku, sungguh maafkan ibu yang tidak menyadarinya.

Saya teringat bagaimana dia menyerahkan surat itu pada saya. Tidak ada kata-kata lisan yang terlontar dari mulutnya. Dia hanya meletakkan surat itu di atas meja tempat saya duduk dan kemudian pergi. Kami, memang tidak pernah berbahasa lisan, tapi kami intens melalui tulisan.

Siang itu, di perjalanan menuju palembang, menuju tempat bertugas yang baru. Ada sesal menyelusup dalam hati saya. Ingin rasanya kembali ke aceh dan memeluknya tapi tidak bisa. Namun komunikasi akan tetap saya lanjutkan, mungkin lewat tulisan seperti sedia kala. Suatu hari jika ALLAH menghendaki saya kembali, semoga kami berkesempatan untuk bercengkerama dengan leluasa.

~Anakku, maafkan Bu Ludi yang tidak bisa memfasilitasi keinginan semuanya. Tapi ketahuilah, ibupun cinta dengan kalian semua.


Cerita Lainnya

Lihat Semua