karena asalku dari Kota Hujan....

Novianus Efrat 1 Februari 2012

Di bulan yang baru ini aku kembali menemukan semangatku yang sudah mulai luntur. Aku bangun lebih pagi dari pada biasanya. Memang bukan karena keinginanku sendiri, lebih karena terbangun tepatmya. Entah mulai dari jam berapa angin berhembus sedemikian kuatnya. Tidak berlebihan bila kubilang atap seng di atas kepalaku rasanya mau terlepas dari tempatnya. Sungguh gaduh suara angin yang ditimbulkan. Bukan hanya itu, hujan pun turun dengan lebatnya. Menimbulkan beberapa kebocoran yang luar biasa di atap rumahku. Beruntungnya aku, atap di atas kamarku tidak bocor.

     Ternyata, di saat yang bersamaan, terjadi longsor di dekat sekolah lokasi teman seperjuanganku, Ipeh. Aku pun baru tahu kemudian di sore harinya, ketika kami bertemu untuk mengajar persiapan Olimpiade Sains. Jadi bisa kaubayangkan dahsyatnya hujan yang turun tadi subuh.

     Kembali ke pagi hari. Ada yang aneh rasanya pagi itu. Sudah jam setengah tujuh, tapi belum ada satu anak sekolah pun yang lewat. Biasanya pukul segini sudah ada beberapa anak SD yang lewat, serta anak SMP dan SMA yang sekolahnya di jalan poros. Ayu, murid kelasku yang rumahnya di seberang tempat tinggalku, yang biasanya sudah berangkat ke sekolah sebelum setengah tujuh pun tidak terlihat batang hidungnya. Sungguh fenomena yang aneh untukku.

      Seorang guru yang juga tetanggaku pun tidak mau berangkat sekolah. Pusing, katanya. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah gerangan yang terjadi? Ternyata, karena hujan. Ya, hanya karena hujan! Sudah menjadi kebiasaan bila turun hujan, maka tidak ada yang pergi ke sekolah. Induk semangku pun meyakinkanku untuk tidak perlu ke sekolah karena ia yakin tidak ada guru dan siswa di sekolah. Seperti biasa pula aku tidak mudah percaya. Aku tetap berpakaian layaknya akan mengajar seperti biasa. Dengan bersenjatakan payung, aku melangkah pasti. Lagipula, pada pagi ini, hujan tidaklah semenakutkan seperti yang terjadi tadi subuh.

      Kuputuskan aku akan tetap ke sekolah untuk melihat keadaan. Pikirku, siapa tahu ada anak yang sudah sampai. Baru beberapa meter aku melangkah, ada tetangga yang sedang berkumpul di satu rumah. Mereka berkata, “Hujan, pak”. Hmmm,,sepertinya tidak perlu diberi tahu pun, semua orang sudah tahu bahwa saat itu sedang hujan. Namun, aku hanya membalas mereka dengan senyumku. Kuharap mereka juga mengerti apa makna dari senyumku itu.

15 menit kemudian. Aku tiba di sekolah dengan celana yang sudah basah hingga ke lutut. Dan, ternyata…… mereka benar! Sekolah pada pagi ini seperti lukisan sendu tak bernyawa.  Kalau tidak ada guru rasanya aku bisa mengerti. Jalanan menanjak dari jalan poros ke sekolahku terlalu menantang untuk didatangi, apalagi dalam keadaan hujan seperti ini. Tapi, tidak ada satu siswa pun di sini. Padahal rumah mereka tidaklah jauh. Ini satu hal yang membuatku sedih. Karena tidak mempunyai kunci kantor dan kelas, maka akan sia-sia bila aku terus menunggu di sekolah.  Tapi biarlah, akan kutunggu sebentar.

     Hingga kulihat jam tanganku, sudah hampir pukul 9. Maka aku pun pulang kembali ke rumah. Masih memegang payung. Hanya saja, sedikit tertunduk lesu. Tak terlalu kuhiraukan tatapan heran orang-orang yang sedang bersantai yang kulewati beranda rumahnya. Ya, beberapa dari mereka adalah orang tua dari siswa di sekolahku. Kuharap mereka mengerti, bahwa satu guru ini tidak pernah takut akan hujan. Satu guru ini juga tidak datang ke sini untuk bermain-main. Kuharap mereka akan semakin mengerti, masih ada satu guru meskipun masih muda dan belum berpengalaman, yang peduli akan pendidikan anak-anak mereka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua