Majene vs Swiss

Novianus Efrat 11 Maret 2012

Sulawesi Barat merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Sulawesi Selatan yang berumur baru sekitar 5 tahun. Oleh karena itu, luas wilayahnya pun tidak terlalu luas. Demikian halnya dengan Swiss.  Sebagai perbandingan, luas total wilayah Swiss kira-kira hanyalah sebesar luas wilayah provinsi Jawa Timur saja. Tidak ada maksud membanding-bandingkan. Tidak ada juga niatan baik maupun buruk. Perbedaan dan persamaan dalam tulisan ini dibuat semata-mata hanya karena penulis ingin bernostalgia dengan negara kecil nan indah itu saja. Berikut adalah sedikit gambaran mengenai dua lokasi yang berbeda musim ini.

          Sekarang aku tinggal di suatu desa di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, sebagai Pengajar Muda Indonesia Mengajar. Majene, sama halnya dengan Huntwangen, tempat tinggal waktu aku mengikuti exchange program di Swiss dulu, begitu indah. Keduanya menyuguhkan pemandangan alam yang indah dan seimbang. Seimbang di sini maksudnya adalah, kau tidak hanya melulu melihat pegunungan yang hijau. Atau kau juga tidak hanya melihat bentangan air nan luas yang memikat hati saja. Di kedua tempat ini, kau bisa menyaksikan kedua halnya sekaligus pada waktu yang bersamaan.

          Hal pertama yang agak aneh bagiku ketika sampai di Swiss adalah minum langsung dari keran air. Khususnya di daerah desaku, setiap keran air, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga keran yang ada di kebun, semua rasanya sama. Segar. Don’t try this at home (read: Indonesia). Tapi, di rumah tempatku tinggal di Majene, mereka minum air langsung dari keran! Tanpa dimasak dulu. Rasanya berbeda dengan yang kurasakan di Swiss. Begitu juga kejernihannya. Memang belum pernah ada uji klinis mengenai hal itu di sini. Akan tetapi semua orang yang tinggal di sini percaya bahwa air di sini layak untuk diminum langsung. Alasannya karena selama ini belum ada yang pernah sakit perut karena minum air langsung dari sumbernya. Well, untuk hal ini aku setuju. Karena aku sendiri belum pernah mengalami sakit perut selama kurang lebih 4 bulan tinggal di sini dan selalu minum air langsung dari keran.

          Jalan raya di kedua tempat ini juga sepi dan rata. Sehingga kendaraan selalu lewat dengan kecepatan tinggi.  Namun, meskipun begitu, tidak banyak kecelakaan yang terjadi. Bedanya, di Indonesia kita menggunakan di sisi kiri jalan, sedangkan di sana sebaliknya. Selain itu, pengemudi di sana lebih mementingkan pengemudi yang lain dibandingkan dirinya sendiri (baca: tidak egois). Kalau di sini? Hmmmm,,lebih baik kita tidak usah membahasnya……

          Ah, mengingat jalanan yang sepi, aku tiba-tiba teringat akan suasana di kampung Swiss sana. Lewat dari pukul 6 sore, setiap orang sudah masuk di rumahnya masing-masing. Sudah waktunya mereka istirahat. Sama dengan yang kulihat di sini. Bedanya kalau di sana,mereka tidak pernah mau diganggu di saat istirahat mereka. Di sini, karena begitu ramahnya mereka, mereka selalu minta untuk “diganggu”. Mereka akan sangat senang bila kita berkunjung datang ke rumahnya.

          Suasana pedesaan tidak terlalu berbeda. Di sana, lampu jalan tidak terlalu terang. Kalau di sini, tidak ada lampu jalan sama sekali.  Saat itu sudah musim gugur. Musim favoritku. Sayang tidak bisa kutemukan di sini. Saat itu sudah gelap. Aku sedang jalan keliling desa di sana, pernah kulihat satu keluarga sedang berbicara dengan hangat di meja makan. Suasana di dalam rumah terlihat begitu hangat bila dilihat dari luar. Sedikit banyak rasanya aku mengerti perasaan si gadis penjual korek api dalam kisah ???. Meskipun suhu di kedua tempat ini tidak bisa disamakan, tetapi suasananya tidaklah berbeda jauh.

          Kontur pegunungan mungkin membuat cuaca dengan cepatnya berubah. Terik matahari tiba-tiba disambut dengan hujan lebat merupakan hal yang biasa di sini. Begitu juga sebaliknya. Kalau di sana, karena sudah di depan gerbang musim dingin, aku selalu mengenakan pakaian sekitar empat lapis. Lalu ketika matahari bersinar tanpa terhalang awan, aku segera melepaskan 3 pakaian terluarku. Gerah rasanya. Maklum, aku bekerja di ladang. Namun, seketika awan menutup cahaya matahari, seketika itu juga suhu kembali dingin dan aku segera bergegas mengenakan semua pakaian yang kulepaskan tadi.

          Di Huntwangen, hampir setiap malam aku jalan menuju halte bis terdekat,mengantongi smartphone­-ku, demi mencari signal wi-fi dari rumah-rumah sekitar yang berbaik hati tidak mem-password jaringannya. Menahan rasa dinginnya malam di belahan eropa sana. Di Majene, ketika awal-awal aku tiba di sini, setiap hari aku pergi mendaki ke atas bukit demi mendapat satu atau dua bar signal seluler. Masih dengan smartphone yang sama. Tujuannya pun sama, supaya bisa sekedar memberi kabar dengan keluarga dan teman.

          Sekarang kita bahas sedikit tentang masyarakatnya. Sepertinya selain budaya dan bahasa, ada satu kesamaan di dua tempat yang memiliki perbedaan jumlah musim ini, yakni ramah dan suka menolong. Aku tidak bohong. Pada awalnya aku memang sempat khawatir ada penolakan besar-besaran ketika aku sampai di Majene. Untungnya, tidak seperti yang kubayangkan. Meskipun masih kurasakan adanya sedikit penolakan, tapi itu masih dalam ambang batas normal. Wajar saja kalau mereka khawatir kehadiranku akan “mengganggu” kestabilan pengetahuan agama mereka. Biar bagaimanapun, aku mungkin Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa pertama dengan agama yang berbeda dengan mereka yang tinggal bersama-sama dengan mereka.

          Nah, mendadak aku teringat akan kebaikan orang di Huntwangen. Waktu itu aku pulang dari plesiran di Zurich. Aku mengambil kereta paling malam dari Zurich, sehingga sampai di Huntwangen, sudah tidak ada bus menuju halte terdekat ke desaku. Jarak dari stasiun kereta ke rumahku mungkin sekitar 45 menit dengan berjalan kaki dengan kecepatan jalan orang sana. Baru berjalan sekitar beberapa belas meter dari stasiun, ada mobil yang berhenti tepat di sampingku dari arah belakang. Jendela dibuka. Ada seorang wanita paruh baya, berbicara bahasa Swiss-Jerman denganku. Aku tidak mengerti. Aku membalasnya dengan menggunakan bahasa Inggris. Ketika ia membukakan pintu, baru aku mengerti bahwa ia mau mengantarku pulang. Rumahnya berbeda desa dengan rumahku. Lagipula, aku adalah orang yang sangat asing baginya. Dan ini terjadi lagi di hari-hari selanjutnya  dengan orang yang berbeda.

          Demikian juga terjadi hal yang sama di Majene. Sabtu malam itu, kami, 10 orang Pengajar Muda Majene, baru selesai melakukan rapat koordinasi di kecamatan tempatku bertugas. Beberapa dari kami kembali ke tempat masing-masing. Aku dan dua orang teman yang lain berencana menginap ke kota. Hari sudah gelap sehingga sudah tidak ada angkutan umum yang lewat saat itu. Kami memutuskan mencoba sedikit peruntungan. Melakukan hitch-hiking. Semua jenis kendaraan dengan roda lebih dari empat kami coba hentikan. Tak lama, ada satu mobil yang berhenti. Mungkin ia heran, melihat ada orang mau menggoyang-goyangkan jempolnya di pinggir jalan guna menghentikan mobil yang lewat. Ternyata beliau adalah seorang  yang bekerja di DPRD Ibukota propinsi ini. Ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Majene. Jadi, dengan baiknya kami boleh menebeng sampai di Majene. Rumahnya jarang ditempati. Oleh karena itu, karena ditawarkan secara cuma-cuma, di kemudian hari setelahnya kami sering menginap di rumahnya ketika semua PM Majene perlu melakukan rapat koordinasi.

          Ada satu kesamaan lagi dari kedua tempat ini. Apa yang terbesit di otakmu ketika kau mendengar kata “Swiss”? Kalau aku, tentu jawabannya coklat. Ya. Siapa yang tidak tahu lezatnya Toblerone? Lindt’s? Semuanya memanjakan lidah dan menenangkan pikiran. Sejauh yang kutahu dan kulihat di sana, swiss tidak menanam tanaman coklat. Mereka mengimpor biji coklat dari negara lain. Di Majene, coklat merupakan salah satu komoditi utama. Mereka menanam coklat. Memanen buahnya. Mengeringkan bijinya. Lalu menjualnya. Tentu saja untuk dikumpulkan dan kemudian diekspor ke negara lain. Mungkin salah satunya Swiss. Yang kemudian akan kembali di lidah kita dengan rasa yang lebih manis tentunya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua