Pelajaran dari Bermain Bola

Novianus Efrat 3 Februari 2012

     Jumat’an kali ini sedikit berbeda. Di saat orang-orang mulai melakukan ibadah shalat Jum’at, aku biasanya sedang beristirahat. Mencoba mendinginkan tubuh dari teriknya matahari. Namun sepertinya kali ini aku harus bergulat dengan silaunya matahari.

     Hari ini sudah ditetapkan. Ada pertandingan sepak bola non-formal  antara sekolahku dan sekolah PM di desa lain yang masih satu kecamatan denganku. Lokasi pertandingan lebih dekat dengan kandang lawan. Kuambil beberapa anak kelas 4 hingga kelas 6 untuk sekedar menjajal kemampuan sepak bola mereka. Mereka tampaknya antusias sekali. Aku senang melihat semangat mereka. Kata orang, semangat itu menular. Dan aku setuju.

     Sesuai yang kuinstruksikan kepada mereka, kami berkumpul di depan mesjid selesai Shalat Jum’at. Para pemain sudah datang. Bahkan beberapa anak perempuan juga ikut datang. Mereka ingin ikut mendukung langsung. Suasana seakan-akan menjadi formal.

     Jarak dari desa kami ke tempat pertandingan lumayan jauh. Anak-anak bilang hanya butuh satu jam. Sudah satu jam lebih kami berjalan menyusuri kebun, bukit, dan juga sungai. Kami pun sampai di satu lapangan. Dan ternyata bukan itu lapangan yang kumaksud pada mereka. Jadi, kami melanjutkan perjalanan kami dan baru sampai sekitar 30 menit kemudian.

     Tim lawan sudah menunggu. Belum sempat kami beristirahat, kami segera memulai pertandingan. Tidak ada instruksi yang kuberikan kepada anak-anak selain “mainlah sepuas hati kalian”. Ditambah dengan senyuman untuk meredakan ketegangan mereka.

     Ketika lawan sudah menentukan posisi mereka bermain, tim kami masih bingung mereka mau main di posisi apa. Segera saja kuminta anak kelas 6 untuk bertahan dan kelas 4 dan 5 untuk menyerang. Hanya satu anak kelas 6 yang boleh membantu penyerangan. Ia adalah Rizal, maestro sepak bola di sekolah kami. Rizal mempunyai postur yang lebih tinggi dibanding anak-anak pada umumnya di sekolah kami. Ia adalah sang jenderal lapangan. Ia juga sering berperan menjadi jenderal di kelas. Bisa dikatakan, ia mempunyai tingkat inisiatif paling tinggi di kelasku. Seketika ia membawa bola, beberapa pemain lawan segera dengan mudah di-gocek olehnya. Pertahanan lawan diobrak-abrik. Tim kami menekan tim lawan dengan serius. Beberapa kali terjadi kemelut di depan gawang lawan. Sayang sekali belum ada gol yang tercipta.

     Tim lawan melakukan penggantian pemain. Betapa kagetnya kami. Ada anak kelas 6 yang sedemikian besarnya. Tingginya hampir setinggiku. Badannya tegak. Bahkan otot bisep-nya sudah terlihat begitu keras. Kutaksir, tingkat pendidikan normal untuk seumurannya ialah SMA. Tidak adil rasanya. Pertandingan antar SD pun seharusnya mempunyai batasan umur. Terlihat dengan sedikit sentuhan saja darinya, pemain sekolahku yang tubuhnya sangat mungil-mungil langsung terhempas. Kurcaci lawan raksasa. Situasi menjadi berbalik. Hingga akhirnya satu serangan balik dari lawan begitu efektif dan menghasilkan gol ke gawang kami.

     Patah semangat. Itu mungkin yang tim kami rasakan. Rasanya aku mengerti perasaan mereka. Tiga orang menjaga satu “raksasa” itu, tapi dengan mudahnya ia hempaskan semua. Tidak ada wasit. Jadi, ya tidak ada pelanggaran. Berhubung tujuan dari pertandingan ini adalah persahabatan, maka aku pun tidak bisa protes apa-apa.

     Babak pertama berlalu tanpa kami tahu sudah berapa menit kami bermain. Yang pasti, anak-anak sekolahku sudah hampir kehabisan nafas. Ini pertama kalinya mereka main sepakbola di lapangan besar. Biasanya mereka bermain bola 4 lawan 4 di lapangan yang lebih kecil dari lapangan voli normal. Aku tersenyum. Rasa capek mereka bukti bahwa mereka bekerja keras selama 1 babak tadi.

     Aku mencoba memotivasi mereka. Kutanya, kira-kira apa yang harus dilakukan di babak selanjutnya supaya kita bisa membalikkan keadaan. Ternyata mereka sudah paham. Satu demi satu argumen mengalir. Kuingin mereka belajar, bahwa bicara itu selalu lebih mudah dari pada melakukannya.

     Babak kedua dimulai. Melihat ketimpangan permainan yang didasari perbedaan tinggi badan, aku mulai berpikir licik. Ada satu anak MTs yang ikut dengan kami. Tubuhnya lebih pendek dari Rizal. Kupikir, kalau dia kumasukkan, lawan tidak akan tahu. Hehe. Sekedar supaya pertandingan lebih adil dan lebih enak dilihat saja. Bukankah kalian para penikmat bola lebih senang ketika menonton dua tim yang bertanding dengan saling menyerang satu sama lain? Maka kumasukkan lah anak MTs ini. Seketika tim lawan tahu kalau dia MTs. Ternyata ada temannya di tim lawan. Hahaha. Pertandingan semakin seru setelah tim lawan memasukkan anak MTs juga. Ini sih sama saja pikirku. Ternyata pemain yang baru masuk ini memasukkan 2 gol berturut-turut. 2-1. Keadaan kembali berbalik. Anak-anak pun bisa belajar bahwa bukan hal yang sulit untuk membalikkan keadaan dalam pertandingan sepak bola. Tidak bertahan lama. Tim lawan menyamakan kedudukan lewat aksi individual si “raksasa”.  Tidak berapa lama lagi, tim kami kebobolan 2 gol lagi. 4-2. Nah, sekarang mereka belajar bahwa bola itu bundar. Tidak bisa diprediksi.

     Peluit akhir berbunyi. Anak-anak tertunduk lesu. Kukumpulkan mereka. Aku belum pernah menjadi pelatih sebelumnya selain di game komputer. Mereka menggerutu. “Aih, capek sekali,pak. Baru sampai sudah langsung main.” “Curang,pak.” “Kasar sekali mereka,pak.” Dan lain-lain. Kudengarkan ocehan mereka semua. Sampai tidak ada lagi yang berbicara, aku pun mulai berbicara. “Kalah, ya kalah.”, tuturku. Mereka kaget. Mereka menggerutu karena mereka ingin dibenarkan. Tapi bukan itu metodeku. Meskipun apa yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah. Aku ingin mereka belajar hal yang baru. Menerima kekalahan. “Kita akui saja, mereka memang main lebih baik dari kita.”, lanjutku. Beberapa dari mereka mulai mengangguk. “Nanti kita latihan ya supaya bisa main lebih baik di lapangan besar?”, pancingku. Mereka langsung menjawab, “Iya,pak!”. Ada juga yang minta untuk latihan setiap hari di lapangan besar. Aku tersenyum dalam hati.

     Dari awal aku memang ingin anak-anak sekolahku kalah. Lebih baik kalah sejak dini sehingga lebih banyak yang bisa dipelajari dan diperbaiki. Harapanku ialah mereka boleh kalah sekarang. Tapi kekalahan sekarang akan membuat mereka jadi pemenang di kemudian hari. Mereka telah belajar untuk berbesar hati. Ini jauh lebih penting daripada sekedar merayakan kemenangan,anak-anakku.

 

NB: Belakangan baru kuketahui anak kelas 6 di tim lawan ada yang merupakan om dari anak kelas 6 di kelasku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua