#5 Pertama Ke Kota

Pemi Lestari 19 Juni 2011

“Ketika kau bergandengan dengan seseorang, genggamlah tangannya erat-erat”

Hari ini adalah hari ke kota. Untuk keperluan bertemu tim Aceh (fyi, di malam pertama kami sampai di aceh kami sudah menamakan tim ini dengan “anak gaul aceh”, hehe). Sebenarnya para pengajar muda, kabupaten manapun memang akan saling berkordinasi dengan teman sekabupaten karena kami punya tugas kelompok yang harus dikerjakan. Dan sebenarnya lagi, waktu  untuk bertemu teman sekabupaten adalah sebulan sekali. Sedangkan kami, anak gaul aceh, padahal baru berpisah 2 hari, sudah membuat janji pertemuan. Waktu saya bilang ke ibu saya disini kalau hari Ahad saya mau ke kota, ibu saya bertanya mau apa kesana. Dan ketika saya jelaskan pada dasarnya kami memang akan berkumpul sebulan sekali, tentu saja ibu saya heran “tapi ini kan baru 2 hari” Hehehe. Kami ini memang terlalu menyayangi satu sama lain, sehingga berat rasanya berpisah lama-lama (alesan!). Pertemuan ini digagas karena memang ada waktu untuk bertemu, dan kami punya tugas awalan yang deadlinenya sekitar 2 pekan lagi, makanya perlu bertemu segera. Sebagai orang baru, melakukan perjalanan sendirian dengan jarak yang lumayan jauh memang cukup menantang. Belum tahu nama-nama daerah tempat transit, jenis kendaraan yang bisa dinaiki, tarif, bahkan tata cara naik kendaraan umum disini! (yang terakhir akan dibahas) Tapi, ini tantangan memang harus ditaklukkan. Apalagi dulu bapak saya pernah menjuluki saya dengan “dasar kamu manusia nekatan!”. Sebagai anak berbakti, saya harus berkontribusi dalam menjadikan kata-kata bapak saya adalah kenyataan (haha). Mari kita nekat ke kota sendirian. Beberapa menit setelah naik angkutan umum pertama, saya menyadari sebuah kurangnya bekalan informasi saya yang pertama. Ini ongkosnya dibayar kapan? Begitu naik apa sesudah turun? Sayapun diam saja, menunggu, dan menyadari bahwa si kondektur melihat saya dengan heran. Akhirnya diapun menagih ongkos. Learning by doing yang pertama, bayar ongkos di muka. Hoho. Sepanjang perjalanan, tentu saja semua orang mengobrol dengan bahasa aceh. Supirpun memutarkan lagu aceh. Saya, diam saja karena tidak bisa, dan tidak ada yang mengajak ngobrol saya juga sih. Tidur, bangun, tidur lagi, bangun lagi. Akhirnya saya sampai di sebuah tempat entah apa, angkutannya berhenti, ngetem. Setelah beberapa lama ngetem, kondekturnya heboh, bicara sesuatu yang tidak saya mengerti. Tapi dari gelagat orang-orang saya tebak, penumpang akan dioper ke mobil lain! Etdah. Sayapun tergopoh-gopoh turun meski belum pasti tebakan oper tadi benar atau tidak. Begitu turun, si kondektur melihat saya yang bingung. Dia tanya apakah saya mau ke Lhokseumawe, saya mengiyakan. Diapun menggiring saya, cuma saya, tidak dengan penumpang lain ke mobil berikutnya. Saya pikir penumpang lain akan naik mobil berbeda, ternyata sama. Lah kenapa cuma saya yang dituntun-tuntun? Kalo lagi bingung gw keliatan banget begonyah, sampai kenekpun mencemaskan nasib gw! Hahah. Lagi-lagi ngantuk gini dioper, serasa di UKI naik mayasari bakti. Akhirnya ketemu juga cita rasa jakarta. Satu tata cara lagi yang saya sadar belum diketahui. Bagaimana kebiasaan orang sini ketika akan meminta supir menghentikan mobilnya? Saya harus bilang apa? Sama sekali tidak terpikir untuk tanya dulu sama orang rumah tadi. Sebenarnya bisa saja sih saya katakan apa saja, cuma obsesi saya adalah terlihat sebagai native, jadi mengatakan hal yang tepat adalah keharusan. Tidak seperti membayar ongkos tadi, pengetahuan ini saya baru dapat secara jelas setelah di rumah. Ada satu hal mengejutkan dalam perjalanan pulang saya dari kota. Ketika di pom bensin, dari dalam mobil saya melihat seseorang dalam jarak beberapa meter di depan. Seseorang yang familiar wajahnya. Saya merasa kaget dan tidak percaya karena dia adalah mahasiswa ekstensi seangkatan dengan saya. Waktu baru masuk kuliah dulu, saya sekelompok dengannya di kegiatan Orientasi Kehidupan Kampus (OKK) FIK UI. Tak sangka saya menemukan seseorang yang saya kenal di kejauhan jakarta ini. Saya ingin memanggilnya. Tapi tertahan dua hal. Pertama, saya tidak ingat sama sekali siapa namanya. Ah, sepertinya kata “seseorang yang saya kenal” tadi memang perlu dianulir. Bukan lagi saya kenal, tapi saya pernah tahu. Bagaimana saya bisa teriak memanggil namanya? Nama apa yang harus saya teriakkan? Kedua, dan ini menyedihkan. Saya sebenarnya juga merasa kurang pantas memanggilnya. Karena dulu saya kurang mengakrabkan diri dengannya. Sekedar teman sekelompok saat OKK, sudah. Saya tidak membina lagi hubungan baik setelahnya. Masa itu memang masih masa kegelapan saya dalam menjalin hubungan. Saya berpikir “ah dulu waktu di kampus gw cuek, sekarang pas lagi butuh gw panggil-panggil”. Padahal mungkin si kawan di luar pom bensin mana mungkin tidak akan berpikir begitu, tapi sungguh saya sungkan sekali. Kejadian ini benar-benar membuat saya berefleksi. Bahwa ketika kita sedang menjalani fase hidup dengan orang lain, maka seharusnya kita menjaga baik-baik hubungan itu. Seperti sedang berjalan beriringan serta bergandengan tangan, maka genggamlah erat-erat tangannya. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan fase hidup kita berikutnya, kita tidak pernah tahu dengan siapa kita akan menjalani fase itu. Jika kita adalah orang yang melepaskan genggamannya, atau bahkan kita tidak pernah mau menggandengnya, kita sendiri yang akan kesulitan menggapai tangannya di fase perjalanan berikutnya. Saya jadi teringatkan untuk belajar lagi, menghargai sebuah hubungan. Kejadian seperti ini tidak boleh terulang lagi. Dengan orang-orang yang menjadi bagian dari fase hidup saya yang sekarang. Terlepas dari apakah mereka sekedar reason, season, atau lifetime, tapi jadilah orang yang mengisi fase itu dengan kebaikan, kehangatan, keramahan, serta kebermanfaatan. Salam peluk hangat dari barat Indonesia, Pemi Ludi

Cerita Lainnya

Lihat Semua