#13 Bahagia Dengan Sederhana

Pemi Lestari 27 Juni 2011

"Jika kau sudah lama tak merasakan bahagia atau puas, maka sesekali turunkanlah harapanmu, sesekali saja"

Apa itu masalah? Masalah muncul bila ada ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Bilamana kau puas? Bila harapanmu sesuai dengan kenyataan yang ada. Bilamana kau bahagia? Bila kau mencapai kepuasan hidup. Kalau begini rumusnya, maka mengejar kebahagiaan menjadi mudah saja dirumuskan, bahagia adalah ketika harapanmu kesampaian. Selesai. Kalau begini rumusannya, maka bahagia bisa dirasakan berkali-kali, bahagia bisa didapatkan dalam berbagai kondisi, karena begitupun harapan bukan? Tidak ada manusia yang memiliki satu harapan. Karena kalau begini rumusannya, maka setiap kali kau berharap, meski setiap itu pula kau berpotensi untuk kecewa, tapi setiap itu pula kau berpotensi untuk bahagia. Ketika memutuskan untuk menjadi seorang Pengajar Muda, itu artinya saya telah memutuskan untuk siap hidup di daerah pelosok selama 1 tahun. Menjadi Pengajar Muda, tentu dengan segala tugas dan perannya. Hidup di pelosok, tentu juga dengan segala konsekuensinya. Saya jadi teringat dulu pernah mengajak seorang teman untuk ikut mendaftar jadi PM. Teman saya memberi satu syarat “tapi kamar mandinya harus enak ya Di?”. Saya jadi mikir, “iya ya, kalau nanti di pelosok kamar mandinya ga enak gimana, saya juga tidak betah”. Saya baru tersadar bahwa masalah kamar mandi harus pula dipertimbangkan, karena ini penting, “shizuka’z matter”, itu istilah saya. Namun, ketika saya berdiskusi dengan seorang teman yang juga mendaftar jadi PM, dia bilang “kalau mau tinggal di pelosok, harus siap Ludi dengan kondisi kamar mandi yang tidak enak. Namanya juga pelosok, jadi harus siap dengan segala hal”. Mendengar kata teman saya itu, saat itupun saya membulatkan tekad, bismiLLAH, shizuka’s matter tidak boleh jadi penghalang. Bukan hanya permasalahan kamar mandi, tapi juga hal-hal terkait nilai dan gaya hidup yang akan berubah ketika di pelosok nanti harus dipersiapkan. Hal yang paling sering disebut-sebut adalah ketersediaan sinyal dan listrik. Beberapa daerah memang tidak ada sinyal sama sekali, begitupun listrik, bisa jadi hanya genset desa yang menyala dari jam 6 sore sampai 10 malam. Hanya 4 jam sehari. Itulah kondisi yang akan kami hadapi. Terkondisikan dengan bayangan akan keadaan yang seperti itu membuat kami telah mempersiapkan mental dari awal. Maka, sejak memutuskan untuk menjadi Pengajar Muda, saya sudah membayangkan akan hidup di daerah tanpa sinyal, tanpa listrik, tanpa kamar mandi dan WC yang layak, mungkin akan mandi di pinggir sungai, di pemandian umum, akan menempuh perjalanan kemana-mana dengan berjalan kaki, dan bayangan lainnya. Begitupun dengan calon Pengajar Muda lain. Jadi, kalau bisa dibilang, saat itu kami sedang menurunkan harapan, harapan terkait kenikmatan dan kemudahan gaya hidup yang biasa kami dapat di tempat tinggal asal kami. Karena harapan awal yang rendah itulah, maka kami mudah dibuat bahagia hanya dengan realita-realita sederhana. Dari awal kami membayangkan tidak akan mendapat sinyal sama sekali, maka mengetahui bahwa ada satu provider yang bisa digunakan tentulah membahagiakan. Meski sinyalnya ajrut-ajrutan dan suaranya putus-putus ketika menelepon meski sudah mondar-mandir cari sinyal, ini jauh lebih baik ketimbang baru mendapatkan sinyal sebulan sekali, yaitu ketika ke kota. Dari awal kami membayangkan tidak ada listrik di tempat tinggal kami, maka ketika saya ditempatkan di desa yang ada listriknya, tentulah membahagiakan. Kejadian seringnya mati lampu, tidak lagi dirasa menyebalkan jika teringat desa Shally di Bima, atau desa Furi di Sangihe. Melihat jalan yang sudah dilapisi aspal, tentulah membahagiakan. Meski sebagian jalan juga masih berbatu-batu dan debunya naik sampai ke muka kalau kendaraan bermotor lewat, bukanlah persoalan buat saya, karena toh jalan aspalnya masih lebih panjang. Bisa mandi di kamar mandi belakang rumah, tentulah membahagiakan, meski letaknya terpisah dari rumah, tanpa atap, banyak lubangnya, dan harus selalu menimba tiap kali ingin mendapatkan air. Karena di awal saya pikir akan mandi di pinggir sungai irigasi. Semua yang saya dapatkan sekarang, jauh lebih baik dari harapan saya. Maka rumus untuk bahagia telah saya dapatkan. Selama di sini, seringkali saya dibuat bahagia oleh hal-hal sederhana. Untuk pertama kalinya saya bahagia hanya karena melihat ada batang-batang bermunculan secara ajaib di belakang icon sinyal provider lama saya. Padahal dulu saya selalu melihatnya di Jakarta, dan tak pernah dibuat bahagia karenanya karena sudah biasa. Untuk pertama kalinya saya bahagia ketika melihat ada snack-snack keju di toko di kecamatan. Karena saya sudah mencari-carinya di warung-warung sekitar rumah dan tidak saya temukan. Padahal dulu di jakarta, saya sering mendapatkannya di warung dekat rumah. Dan tidak pernah dibuat bahagia dengan kemudahan tsb. Hari ini, suara palu yang beradu dengan benda keras terdengar berkali-kali dari belakang rumah. Ketika akhirnya saya ke kamar mandi, saya menemukan pintu kamar mandi yang telah terpasang dengan baik. Sebuah pintu yang tidak lagi berlubang. Sebuah pintu yang terbuat dari kayu dan bukan ditutup karung plastik. Sebuah pintu yang dilengkapi dengan pengait kuncinya. Maka hari ini, saya punya satu alasan lagi untuk berbahagia. Sebuah kamar mandi dengan pintu yang bisa dikunci. AlhamduliLLAH. AlhamduliLLAH. Terima kasih ya ALLAH. salam hepi dari barat Indonesia, Pemi Ludi

Cerita Lainnya

Lihat Semua