info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

#40 Pemimpin Dari Dapur

Pemi Lestari 24 Juli 2011

“Seorang pemimpin harus tetap tenang dan berpikir jernih, meski semua anak buahnya sudah panik”

Beberapa hari lalu saya iseng-iseng membuka file-file tentang IM (Indonesia Mengajar) di laptop. Saya baca (lagi) tentang visi dan misi dari gerakan ini. Ada pernyataan yang menarik di sana. Bunyinya “Setiap pengajar-muda akan bertugas pada 1 sekolah dasar, tinggal di satu keluarga dan menjadi bagian dari masyarakat daerah itu selama setahun.Tantangan, hambatan dan segala pengalaman ini akan membentuk karakter kepemimpinan sekaligus merajut tenun kebangsaan yang lebih kokoh.” Saya yakin pasti pernah membaca paragraf ini sebelumnya, bahkan mungkin tidak cuma sekali. Tapi baru kali ini saya merasa terkesan dengannya. Mungkin karena saat ini saya sedang menjalaninya, menjalani hidup sebagai seorang Pengajar Muda. Ini seperti menjawab kegelisahan di benak saya beberapa hari terakhir. Ketika saya menemukan banyak tantangan dan hambatan dalam menjalani hidup sebagai Pengajar Muda ini. Kemudian saya membanding apa yang saya jalani dengan teman-teman PM lainnya dan saya menemukan beberapa dari mereka lebih mudah jalannya dibanding saya,-setidaknya di salah satu jalan dari banyak sekali jalan yang harus kami lalui-. Lalu saya menemukan jawabannya. Bahwa sejatinya kami ini memang akan ditempatkan di sebuah kolam yang berisi tantangan dan hambatan, jadi kalau kami menemukan satu atau dua diantaranya itu wajar sekali kawan! Karena justru dari situlah kami akan belajar. Maka ketika bertemu dengan tantangan atau hambatan, bergembiralah, karena berarti kau sedang menjadi seorang Pengajar Muda sejati. Hehe. Saking berkesannya misi Gerakan Indonesia Mengajar itu, substansinya jadi terngiang-ngiang di kepala saya. Ketika menemukan hal-hal yang tidak mulus dalam perjalanan ini, saya akan bilang pada diri saya “oke, ini akan membentuk karakter kepemimpinan gw”. Hoho. Seperti kejadian pagi ini, sebuah insiden terjadi di dapur dan saya menganggapnya sebuah sekolah leadership kecil-kecilan. Uroe nyoe uroe aleuhat. Dan seperti hari libur sekolah lainnya, harus dijalani dengan menyenangkan. Pagi hari diisi dengan rutinitas yang biasa, bangun lebih pagi dari semua orang di rumah, sholat, rah pinang, dan menjemur cucian yang belum kering. Setelah itu, baru diisi dengan agenda-agenda spesial, ke kebun sama adik saya untuk mencari buah durian yang jatuh. Meski becek, banyak nyamuk, rasanya tetap menyenangkan. Kapan lagi bisa ke kebun sendiri untuk cari duren kalau di jakarta?! Pulang dari sana, saya bermaksud untuk memasak. Masakan sederhana saja, karena memang sederhana pula kemampuan saya. Tak perlulah saya sebut masak apa. Porsi pertama selesai dengan sukses. Begitu matang saya letakkan di piring, adik-adik saya tentu saja senang menyambutnya. Kamipun mulai cicip-cicip. Keluarga saya mirip keluarga betawi di jakarta. Hampir semua orang di Geudumbak memiliki hubungan famili dengan mamak saya. Jadi, ketika masakan itu matang, anak kecil yang tinggal di depan rumah ikut makan, begitupun dengan dua anak lain yang semuanya masih keluarga. Ditambah 3 orang adik saya. Ramailah sudah. Porsi kedua akan saya masak. Wajan sudah di atas kompor, sudah saya beri minyak goreng. Sambil menunggu minyak panas, saya ambil makanan tadi. Minyak di atas wajan tidak saya perhatikan. Tiba-tiba Ira (adik saya kelas 3 sma) teriak-teriak sambil menunjuk ke arah wajan. Ternyata api naik, minyak di dalam wajan menyala, termasuk wajannya. Api berkobar-kobar semakin besar membakar wajan. Ira teriak-teriak, sudah dia takut dengan kompor gas, bahkan untuk menyalakan saja dia tidak berani, ditambah lagi ada kobaran api besar begitu di atas kompor, semakin histerislah dia. Sayapun segera mematikan kompor. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah, karena api tidak juga padam. Mulanya saya pikir, “ah, nanti juga apinya mati sendiri kalau minyaknya sudah habis”. Tapi keadaan semakin hebaoh, Ira yang hsiteris membuat anak-anak ikut histeris (ada 2 orang anak SD dan 3 balita di dapur saat itu). Mereka semua berteriak-teriak. Sayapun berpikir lagi, ini bahaya, apinya besar, bagaimana kalau semakin besar, bagaimana kalau ada percikan dan kena selang gas, bagaimana kalau ada ledakan? Di dapur yang semuanya terbuat dari kayu ini, api adalah sebuah ancaman besar. Di dalam dapur juga ada tantenya Ira, ibu dari 3 anak yang ada di dapur. Sambil ketakutan dia mengajak anak-anak berlari keluar. Keadaan semakin heboh. Saya berpikir keras, apa apa apa yang harus saya lakukan? Saya sempat berpikir untuk menyiram saja wajannya dengan air di atas kompor. Segera saya urungkan, “ga bisa, ini di atas kompor gas, bahaya”, tapi bagaimana memadamkan apinya? Wajannya tidak mungkin diangkat dari atas kompor, karena sudah penuh dengan kobaran api. Di tengah kepanikan itu, terlintaslah dalam pikiran saya, di tengah adik-adik saya yang panik itu, anak-anak yang histeris ketakutan, saya harus bisa jadi orang yang paling “waras”, saya tidak boleh ikut panik. Dan satu hal yang paling penting, entah bagaimana bisa sempat-sempatnya saya terbersit hal ini, saya adalah leader mereka! Saya pemimpin disini, saya adalah orang yang paling bisa diandalkan di ruangan ini, maka saya harus bisa selesaikan. Saya pula yang membuat masalah, sayalah yang paling bertanggung jawab untuk mengatasinya. Ira mulai teriak-teriak memanggil abangnya. “bang azmiiii, bang azmiiiii!!”. Saat itu juga saya ambil keputusan penyelesaian. Saya sudah tidak pedulikan kalau wajan itu dilahap api,  keselamatan rumah jauh lebih penting. Saya ambil kain, saya beranikan diri untuk meraih wajan itu dengan tangan saya, saya pegang satu kupingnya dan saya jatuhkan ke atas lantai. Api masih berkobar-kobar, menjilat kesana kemari, dan wajan itu berbentuk lingkaran kawan, ketika jatuh maka akan bergerak-gerak melingkarlah ia, tidak langsung diam di tempat. Anak-anak semakin histeris saat kejadian itu. Wajannya bergulir ke arah kaki saya. Sayapun menghindar dengan cepat. Meski wajan sudah di bawah, tidak ada satupun yang berpikir untuk mengambil air, Ira masih panik. Segera saya ambil air yang letaknya berseberangan dengan posisi saya berdiri. Saya siram wajannya. “creesss” bunyi air menyentuh wajan panas. Kobaran apipun padam. Saat ayah dan Azmi datang, api sudah padam, sudah saya atasi. Satu anak menangis ketakutan karena kejadian itu. Tapi semua lega, sudah hilang bahayanya. Api sudah padam. Wajan saya angkat dan saya masukkan ke bak cuci piring. Minyak yang tumpah di lantai saya lap. Misi selesai. Dari kejadian ini saya belajar, sebagaimana halnya diajarkan dulu waktu kuliah bahwa kepanikan bisa membuat persepsi menyempit. Maka seorang pemimpin harus bisa tetap tenang agar perspesinya tetap lapang, meski semua anak buahnya sudah panik. Dari kejadian ini saya belajar, bahwa seorang pemimpin harus bisa berpikir cepat, juga bertindak cepat, apalagi jika sudah menyangkut keselamatan anggotanya. Beberapa saat setelah kejadian tadi, saya merasakan panas dan perih di jempol kanan kaki saya. Ketika saya lihat ternyata ada luka bakar ringan di sana. Rupanya wajan tadi sempat menyenggol jempol saya, panasnya sampai tidak terasa tadi. Salam ahad ceria dari barat Indonesia, Pemi Ludi uroe nyoe uroe aleuhat : hari ini hari ahad (bahasa aceh)

Cerita Lainnya

Lihat Semua