Olahraga

Patrya Pratama 6 Februari 2011
Menjadi guru olahraga setiap Jumat adalah salah satu pelajaran yang paling saya tidak suka. Selain karena saya memang bukan yang so into sport tetapi juga karena memang tidak banyak yang bisa kami lakukan. Lapangan sekolah kami cukup sempit, sekitar 15x 10 meter saja untuk menampung sekitar 100-an anak. Perlengkapan olahraga virtually non-existant. Guru nampaknya tidak cukup tertarik juga dalam menggurui pelajaran olahraga ini. Selain berolahraga, hari Jumat juga selalu dilakukan pemeriksaan rambut dan kuku. Pak Wahyu yang selalu menjadi momok bagi siswa karena bagi yang kukunya hitam-hitam dan panjang-panjang ia akan menghukumnya. Biasanya, yang dilakukan adalah mengumpulkan seluruh siswa di lapangan untuk melakukan pemanasan selama sekitar 15 menit. Lalu bila memungkinkan, anak-anak dibawa keliling kampung Labuangkallo (yang selalu ditempuh dengan maksimal 35 menit, itu pun sudah ditambah dengan jalan yang relatif lambat dan rute berputar-putar yang terkadang membuat kesal pemilik rumah yang dilewati karena siswa sangat gaduh dan suka mencuri makanan di warung yang dilewati). Belum lagi bila saat nyorong (pasang) tiba di mana hasil laut nelayan banyak yang dijemur di jalan-jalan jembatan desa, hampir tidak mungkin diadakan jalan keliling kampung karena siswa akan menendang-nendang dan main-main dengan hasil tangkapan yang dijemur tersebut. Bila masih ada waktu, siswa laki-laki kelas 4-6 biasanya diperbolehkan bermain sepakbola plastik di gedung hall badminton yang sudah tidak terawat sebelah sekolah. Bola plastik yang mereka gunakan nampaknya sudah cukup lama tidak diganti dan sudah mulai gembos. Tantangan saya adalah bagaimana supaya guru lain bisa meng-handle separuh kelas karena bila kelas1-6 disatukan olahraganya akan sangat membosankan untuk siswa kelas besar. Bila dibagi menjadi 2, saya dapat mulai memperkenalkan permainan pada anak-anak seperti yang telah diajarkan ketika training. Saya juga terus terang tidak bisa SKJ. Butuh ide.

Cerita Lainnya

Lihat Semua