info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Honey, I Shrink My Head (Manajemen Sekolah)

Patrya Pratama 6 Februari 2011
Salah satu prinsip utama saya dalam menginisiasi sesuatu di SD 002 Labuangkallo adalah selalu bertanya “apakah hal tersebut mungkin dilakukan ketika saya telah pergi dari sekolah ini?”. Prinsip tersebut saya pegang sehingga tidak ada yang free lunch, atau hal-hal yang saya berikan begitu saja dengan mudahnnya. Guru adalah target utama saya dalam mendorong hal ini dan hal itu. Berikut adalah progress selama ini: 1. RPP Saya memutuskan untuk menyusun RPP setiap hari dengan menyantroni rumah guru, biasanya antara rumah Pak Wahyu atau rumah Pak Amin. Selain untuk mendapatkan gosip-gosip terbaru tentang desa atau info sekolah atau sekadar untuk mendapatkan makanan gorengan gratis, cara ini efektif untuk mendorong guru setempat untuk membuat RPP. Pak Amin misalnya, sebenarnya sudah mampu menyusun RPP dengan lebih baik dari saya, namun tidak ada yang meng-ayo-ayo untuk membuatnya. Pak Wahyu lain lagi, dia memang mau tetapi tidak tahu caranya. Jadilah saya setiap sore atau malam datang ke salah satu guru tersebut untuk menyusun RPP bersama-sama. Pak Amin bahkan telah berbaik hati menyediakan buku ledger (buku tulis tebal bersampul keras). Jadi kami menulis tangan RPP, bukan dengan mengetik. Saya pikir, apa poinnya mengetik di laptop ketika tidak ada printer dan hanya saya yang bisa membacanya? Buku RPP tersebut juga bisa saling dibaca oleh guru lain yang “belum mendapatkan panggilan”. Formatnya juga saya sederhanakan menjadi sekadar “apa yang harus ente guru kerjakan besok ketika masuk kelas”. Cukup SKKD, indikator sederhana, mau dibuat untuk berapa pertemuan, langkah pembelajarannya apa. Saya tidak berani menjelaskan taksonomi bloom karena takut membuat beban terlebih dahulu. Tantangan: (1) saya kurang paham mengenai RPP tematik sehingga kurang bisa mengajari RPP guru kelas 1 dan 2. (2). Apakah format RPP yang telah tersederhanakan ini dapat diterima bila ada pengawas yang muncul di kemudian hari? (3) RPP ini bagaimana nasibnya kala mengajar di lebih dari 1 kelas karena ia dapat dengan mudah hancur berantakan 2. Upacara Bendera Alhamdulillah upacara bendera telah menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap senin sekarang. Sebelum kita mulai, saya dengar upacara bendera terakhir di SD ini adalah saat 17 Agustus 2008. Ada beberapa kemajuan yang berarti setelah upacara bendera telah menjadi kebiasaan ini, antara lain:
  • Pak Amin berinisiatif menggilir pembina upacara setiap senin. Bila guru yang bersangkutan tidak hadir maka ia akan langsung menjadi pembina upacara di hari Senin saat ia hadir berikutnya
  • Pak Sarpin yang biasanya diam-diam saja bahkan berani menegur Pak Wahyu untuk mengenakan sepatu saat mengajar atau minimal saat upacara. Pak Wahyu memang seringkali bersandal ria saat upacara dan teguran Pak Sarpin tersebut bahkan membuat tertawa seluruh guru saat kumpul waktu itu.
  • Guru-guru berani untuk tampil ke depan dan melakukan persiapan. Saya tersentuh saat dengan tidak sengaja melihat coret-coretan tangan Pak Sarpin mengenai isi amanah upacara yang ia tulis sebelumnya. The man prepared his 5 minute-speech! Senang.
  • Murid-murid kelas 4-6 telah digilir menjadi petugas upacara. Pak Wahyu adalah guru yang paling rajin melatih upacara bendera dan Pak Amin juga telah mengajak guru lain untuk ikut melatih menemani saya dan Pak Wahyu.
Ya pada intinya, budaya upacara bendera ini melahirkan inisiatif-inisiatif lain dari guru-guru lokal tanpa Pengajar Muda yang selalu memimpin dari depan. Saya practically hanya berfungsi sebagai keeper saja. 3. Buku penghubung Guru Salah satu kesulitan SD 002 adalah tidak berfungsinya ruang guru. Why go to the office while each of the teacher’s house is right next to the school? Dengan demikian menjadi kendala dalam komunikasi antarguru. Saya berinisiatif membuat sebuah buku penghubung yang berisi ide-ide mengajar, hal-hal yang harus diperhatikan saat menjadi pembina upacara, absen guru. Buku ini saya edarkan dari rumah guru 1 ke rumah guru yang lain. Sejauh ini Pak Amin telah mencoba mempraktikkan metode “main-main jadi patung” beberapa kali dan Pak Sarpin bahkan telah mencoba mendongeng di kelas (kalau Anda melihat betapa “pendiamnya” Pak Sarpin akan kaget melihat Pak Sarpin yang mendongeng dari kelas sebelah). Buku penghubung ini sebenarnya tidak berguna apabila rapat rutin guru berlangsung konsisten, namun karena berkumpulnya guru-guru tidak rutin dengan njumlah guru yang seringkali tidak lengkap, maka saya pikir buku penghubung ini layak dicoba dulu. Tantangannya adalah bagaimana mendorong guru-guru untuk menulis. Perlu diakui mayoritas isi buku penghubung tersebut adalah tulisan saya. 4. Perpustakaan Terimakasih untuk teman-teman saya yang berada di Jabodetabek (bahkan Singapura juga), termasuk orang tua saya, SD 002 kini telah memiliki koleksi buku-buku yang berjumlah sekitar 650-an. SD kita tidak memiliki ruangan perpustakaan dan tidak ada kandidat ideal tempat untuk menjadi perpustakaan, nor we have the know-how to run a library. Seisi desa ini belum pernah melihat buku komik, majalah bobo, buku dongeng, novel, apalagi ensiklopedi disney. Seminggu ini, terimakasih untuk Pak Sarpin yang telah merelakan rumahnya menjadi perpustakaan SD dengan menggunakan salah satu lemari di rumah guru yang ia tempati. Guru-guru pun seperti yang baru pertama kali menemui buku. Mereka tidak kalah antusiasnya membaca buku-buku yang ada. Koleksi yang ada lumayan lengkap, ada ensiklopedi Disney, seri buku dongeng walt disney dan cerita dongeng Indonesia, novel, komik conan dan Kindaichi, Majalah Bobo, cerita rakyat, dongeng-dongeng Islami dan seri komik pemimpin dunia. Now that we have the resource, it comes down to how we manage them which i must admit we are very lacking. Sejauh ini, perlu saya akui ada pertentangan antara buku dibaca siswa vs buku terawat rapi. Saya mencoba untuk menafikan pertentangan ini, namun perlu diakui bahwa anak-anak SD 002 belum terlatih dalam memperlakukan buku. Jadi, saya tidak izinkan mereka membawa pulang sehingga hanya boleh membaca di ruang perpustakaan darurat kita. Itu pun masih sangat berantakan, but in a controlled manner karena minimal buku tidak hilang walaupun lecek-lecek sedikit. Antusiasme siswa sangat tinggi, setidaknya untuk jangka pendek ini. Tantangannya adalah bagaimana kita memiliki sistem dalam memanage perpustakaan ini. Saya ada beberapa rencana: (1) menunjuk beberapa siswa kelas 4-6 untuk menjadi petugas piket perpustakaan minimal untuk mengawasi penggunaan buku ketika istirahat dan 2 jam setelah pulang serta merapikan kembali bukunya (2) menyelenggarakan perpustakaan keliling karena saya yakin masyarakat pun perlu mendapatkan akses pada buku-buku yang hampir tidak pernah mereka rasakan (koran, majalah tidak pernah masuk desa, baru listrik –itu pun setengah hari). Saya berpikir untuk menggunakan sepeda setiap dua kali seminggu untuk permulaan. It will be an exciting experiment. 5. Jadwal Sekolah Biasanya, hari Jumat adalah hari untuk olahraga saja, biasanya hari Senin tidak ada upacara, biasanya instirahat sesuka hati, biasanya pulang sekolah juga sesuka hati. Target perubahannya jelas: no more biasanya. Jadi hari Jumat saya tetap mengajar setelah olahraga, which left Pak Wahyu fuming, tetapi dia jadi akhirnya tetap belum memulangkan murid hingga jam 11. Untuk yang satu ini, memang lebih cocok saya cukup memberi contoh. Dengan tidak memulangkan siswa setidaknya sampai jam 12 setiap hari, guri-guru lain jadi terpacu untuk tidak memulangkannya, karena masyarakat mungkin akan memberi pendapat “tertentu” mengapa kelasnya sudah pulang sementara ada kelas yang belum pulang. Tantangannya: saya kurang sabar untuk hal yang satu ini. Saya kadang ditanya murid dari kelas lain, “Pak, masuk kelas? Pak istirahat? Pak pulang?”. Saya sekarang tidak lagi mengajak guru-guru untuk masuk kelas setiap pagi. Saya buka kunci sekolah pukul 8, biarkan siswa masuk, dan biarkan siswa memanggil guru-nya sendiri. Semoga efek dipanggil murid sendiri berbeda ketimbang efek dipanggil oleh saya. 6. Melatih olimpiade dan UASBN Untuk olimpiade Kuark, saya selalu melatih anak-anak di tempat Pak Sarpin, dengan harapan bahwa guru-guru juga turut berkontribusi melatih anak-anak tersebut. Biasanya berlangsung dari jam 1 sampai jam 3 sore. Nah, sekarang pun sudah dimulai bimbingan belajar untuk kelas 6 (ada 14 orang anak) dari jam 12-jam2 setiap hari Senin sampai hari Rabu. Karena ada kaitannya dengan honor tambahan, maka sekolah saya menggilir semua gurunya untuk mengajar les ini. Saya sadar bahwa di satu sisi kapabilitas guru dalam menyiapkan murid untuk ujian nasional cukup terbatas, sehingga perlu peningkatan, namun di sisi lain kebutuhan murid kelas 6 untuk bisa lulus ujian pun tidak dapat dikesampingkan. Jadi saya berpikir bahwa saya bisa mendamaikan pertentangan tersebut dengan memberikan les tambahan voluntary hari kamis-sabtu. Jadi, saya tidak perlu mengajar les setiap senin-rabu supaya guru-guru dapat “jatah” mengajar, dan anak-anak tetap bisa saya “tambal” persiapannya di hari kamis-sabtu. Hal ini masih perlu dilihat kelanjutannya karena baru minggu ini lesnya berjalan. Saya berencana membuat silabus mengenai jadwal terperinci bagaimana target-target dalam les tercapai termasuk mengadakan try out SD mini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua