MON PETIT VILLAGE

Patrya Pratama 19 November 2010
Ketika pertama kali mendarat di Labuangkalo, pemandangan desa pesisir pantai (lebih tepatnya di atas laut) mengingatkan saya pada pemandangan yang rasa-rasanya pernah saya lihat, somewhere someplace. Rumah-rumah panggung berjejeran di atas air laut dengan jembatan sederhana selebar dua meter benar-benar mengetuk ingatan saya. Dan benar saja! Pemandangan Labuangkalo mirip dengan kondisi Singapura pada tahun 1950-an! Sebuah desa kampung nelayan sederhana dengan sistem pendukung yang minim. We need Lee Kwan Yew! Sebelum saya terlarut dalam mimpi siang bolong, saya akan menjelaskan sedikit tentang desa saya. Untuk berkeliling mengitari desa saya, cukup 35 menit. Orang yang sering ke Singapura pasti mafhum bahwa cukup bosan untuk berada di Singapura lebih dari satu bulan. Rumah-rumah disini tipikal sejenis, hanya satu rumah yang cukup mencolok cukup berbeda dengan rumah lainnya. Rumah tersebut katanya milik seorang saudagar sukses Labuangkalo, yang ketika Idul Adha menjadi satu-satunya warga Desa yang kurban dan mengundang seantero desa untuk santap siang (Pengajar Muda tentu tidak akan melewatkannya, for stomach’s sake). Anyways... Desa ini tidak memiliki sistem drainase. Pembuangan limbah (BAB, BAK, atau limbah rumah tangga) langsung dibuang ke laut. Air didapat dari air hujan yang ditampung. Bila sulit air, air dapat dibeli dengan harga Rp 3000 per 20 liter. Sementara harga air minum Rp 10.000 per galon. Harga tentu akan dengan mudah naik saat musim sulit air tiba. Penduduk disini bahkan mengakui bahwa air bisa menjadi salah satu sumber perkelahian warga. Kamar mandi pada umumnya bersifat setengah outdoor dan berada di belakang rumah. Untuk tingkat keamanan, Desa ini tidak memiliki kantor polisi dan polisi. Jadi keamanan ditanggung bersama. Ketika ada sebuah kapal mengalami kecelakaan di laut dekat Desa Labuangkalo, polisi kecamatan cukup meminta penduduk desa untuk mengecek dan mengurus korban yang ada, tanpa mengurusi secara langsung. This does not sound like a country, yes? Puskesmas pembantu ada satu buah untuk desa ini yang beranggotakan 2 orang bidan. Berjalan kaki adalah sarana transportasi yang paling umum disini dengan sepeda dimiliki oleh beberapa anak saja. Tidak ada mobil atau kendaraan roda dua/tiga. “Mobil” bagi warga Labuangkalo adalah perahu, atau “balapan” sebagaimana disebut warga lokal. Tidak ada kendaraan umum, sehingga untuk menuju Desa sebelah perlu menumpang dengan memberikan ongkos solar Rp 20.000 atau ucapan “terimakasih” bila sudah kenal dekat. It takes sekitar 30-45 menit untuk menuju Lori (gerbang menuju peradaban dunia, that is Tanah Grogot, ibukota kabupaten). Sementara itu, listrik hanya ada sejak jam 6 sore hingga jam 6 pagi dengan genset desa. Listrik ini baru tersedia sejak dua tahun terakhir. PLN, haloo??! Koran? no such thing! Apalagi majalah. Untuk makanan, pecinta seafood akan menemui tempatnya, dengan catatan ia haruslah bisa subsisten, atau mampu mencari, mengolah, dan memakan sendiri hasil tangkapannya. Saya sendiri telah memancing persis di depan rumah dan mendapatkan sekitar tujuh ikan sumpit, lumayan untuk makan dua hari. Ayam (mi favorito!) adalah kemewahan, dan hanya dimasak secara umum ketika lebaran Idul Adha atau Idul Fitri. Sayur adalah barang langka, demikian juga dengan buah. Sariawan ini hanyalah tinggal masalah waktu untuk terjadi. Tidak ada pengemis atau gembel berkeliaran. Seluruh penduduk memiliki rumahnya sendiri. Sebenarnya ada seorang pria yang mentalnya konon agak terganggu, namun ia tidak mengancam apa pun. Ia selalu berpakaian koko ketika waktu solat ke mesjid, namun tidak solat. Kondisi pada umumnya dari pagi sampai pagi lagi selalu stabil, sepi. Jarang ada konsentrasi warga pada satu tempat lebih dari 10 orang. Bila dianalogikan, aturan Singapura atau Malaysia mengenai “internal security act” tidak akan repot-repot untuk diterapkan disini. Pekerjaan warga pada umumnya disini adalah nelayan atau petambak. Pada umumnya warga berada dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. TV hampir selalu ada di setiap rumah. Demikian juga antena parabola. So, generally, economy is not an issue. Tambak-tambak besar yang dimiliki warga disini setidaknya menghasilkan penghasilan tetap sekitar 2-3 juta per bulannya. Uang jajan anak saja pada umumnya, konon, mencapai rata-rata Rp 50.000 per hari. Handphone telah marak dipergunakan walaupun komputer belum ada kecuali di kantor desa dan kepala sekolah. Toko-toko yang menjual bahan-bahan kebutuhan dasar cukup banyak, namun dengan harga yang selalu lebih mahal dari toko-toko di mainland. Warga pada umumnya bersuku Bajou, Bugis, Jawa, sebagian kecil Sunda (which excites me at times). Hampir tidak ada warga bersuku Pasir yang membuat muatan lokal bahasa Pasir di sekolah terdengar seperti lelucon. Nada bicaranya cukup khas didengar, banyak sekali “kah”. Saya bertekad untuk bisa berbahasa Bugis atau Bajau dalam setahun ini. Untuk urusan agama, Islam adalah agama mayoritas, 100 persen. Akan tetapi, warga Labuangkalo tidak termasuk yang cukup kuat dalam soal agama. Sedikit sekali jamaah solat maghrib atau subuh di mesjid yang sebenarnya cukup besar. Solat subuh umumnya beranggotakan 3 jamaah saja, sementara untuk maghrib lumayan banyak karena Pak Haji pengurus mesjid memaksa anak-anak kecil untuk solat di mesjid (jamaah dewasa jumlahnya tetap sekitar 3-4 orang). Bahkan ketika solat Jumat, jamaah yang ada sekitar 3-4 shaf saja. Para tokoh masyarakat mengatakan bahwa melaut atau menambak seringkali mengalahkan prioritas untuk solat. Well, at least they have good working spirit, no? Bila Anda perhatikan, warga Labuangkalo memiliki tubuh yang kekar-kekar, bahkan pemuda-pemudanya. Udara pantai yang tipis ditambah dengan kebiasaan berenang di laut menjadikan pemuda Labuangkalo selalu memiliki edge bila tanding olahraga. Mungkin akan masih banyak penjelasan yang bisa saya berikan mengenai masyarakat pesisir Labuangkalo. Dari semua hal yang saya paparkan, saya selalu terbayang-bayang mengenai kemungkinan Labuangkalo kelak menjadi sebuah Singapura kecil (as if Singapore was not small enough). Keberadaan jembatan terbesar yang menghubungkan sisi selatan dan utara desa seakan-akan seperti jembatan Clark Quay di Singapura. Gedung genset yang selalu bergemuruh setiap malam mengalirkan listrik se-desa seakan-akan menjadi Marina Bay Labuangkalo. Memang belum ada MRT dan gedung bertingkat, tetapi siapa pula yang menyangka pulau nelayan miskin yang tidak memiliki sumber daya manusia dan alam yang memadai di Selat Malaka itu kelak menjadi salah satu ekonomi dengan tingkat pembangunan manusia termaju di Asia Tenggara? Only the mind and dream could get it done.

Cerita Lainnya

Lihat Semua