SDN 002 TANJUNG HARAPAN LABUANGKALO

Patrya Pratama 19 November 2010
Sekarang saya akan menceritakan mengenai kantor saya selama satu tahun kedepan: SD 02 Tanjung Harapan Labuangkalo. Pertama-tama saya meminta kepada Anda untuk melupakan sejenak segala pemahaman dan konsep yang Anda ketahui mengenai sekolah-sekolah di perkotaan Indonesia dengan guru yang tetap dan cukup, jadwal pelajaran setiap hari yang sudah ada, orangtua siswa yang secara rutin datang ke sekolah untuk mengambil rapot, bangunan sekolah yang lengkap dengan lapangan untuk upacara bendera, perpustakaan, dan kantor guru, atau yang lainnya. Ini adalah bukan cerita mengenai “what it should be” tetapi mengenai “school as it is”. Bila dalam hubungan internasional, sudah ada cap bertuliskan “realis” terbentang lebar di dahi saya. Ketika memasuki komplek sekolah, Anda akan melihat dengan jelas sebuah bangunan kayu yang –seperti bangunan lainnya di Desa Labuangkalo- berdiri di atas air dengan pancang-pancang kayu di bawahnya. Apabila air sedang “nyorong” (pasang), air laut konon agak menggenangi bangunan sekolah, namun seringpula air laut yang surut membuat dasar tanahnya terlihat dengan jelas. Di tanah itu, saat air laut surut, menjadi agak berbahaya bagi anak-anak SD yang kerapkali bermain dorong-dorongan (namanya juga anak SD) karena bila jatuh dari lantai jembatan berpapan ia akan terperosok ke patahan kayu-kayu yang ada di dasar tanah tersebut. Bila di Amerika, mungkin pengurus Desa atau pemerintah sudah dituntut karena tidak menyediakan pengaman yang cukup bagi anak supaya tidak jatuh. Lain Amerika, lain Labuangkalo I guess. Hari pertama saya Di depan sekolah kami, terdapat papan kayu yang didirikan sedemikian rupa berukuran sekitar 20 meter x 10 meter yang dipergunakan sebagai lapangan upacara. Saya ada bayangan bahwa jika pemimpin upacara melakukan keteledoran dengan memundurkan barisan terlalu belakang, beberapa anak akan terjun ke bawah (ke dasar laut) mirip tragedi heysel. Tiang upacara yang tersedia berukuran lebih pendek daripada tiang bendera biasanya, sehingga Pak X (salah satu guru honorer) dengan bercanda mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya perlu dipercepat temponya ketika penaikan bendera. By the way, tidak ada upacara bendera dan ekstra-kurikuler apa pun di sekolah ini. Sementara untuk sekolahnya sendiri, terdapat lima ruang kelas dengan satu kelas berukuran lebih kecil daripada kelas lainnya. Total murid berjumlah sekitar 100 siswa. Ruang yang lebih kecil tersebut dipergunakan untuk kelas 6 SD yang hanya beranggotakan 13 murid saja. Kelas 3 dan kelas 4 digabungkan. Anggota kelas 1 adalah yang paling besar muridnya karena banyak dari orangtua memasukkan anak mereka ke kelas 1 sebagai percobaan masuk sekolah (berhubung tidak ada PAUD atau TK). Tidak ada hiasan-hiasan atau peta-peta yang menghiasi dinding kelas, cukup meja kursi dan papan tulis hitam dan putih. Perumahan guru terletak tepat di sisi kanan sekolah. Kondisi perumahan guru tersebut lumayan lah, selain bahwa ketersediaan air bersih yang agak terbatas sebagaimana umumnya di Desa Labuangkalo. Rumah Kepala Sekolah adalah yang paling besar yang bagian ruang depannya dipergunakan sebagai ruang guru. “Rumah” guru yang saya maksud disini adalah mirip sebuah kost-kost-an berukuran sekitar 5x10 meter memanjang ke belakang. Terdapat 3 rumah guru dengan masing-masing memiliki 2 kamar. Konon, rumah guru yang paling pojok itu berhantu dan saya sempat mau ditempatkan disitu, hiii...seraam...but anyways... Cukup mengenai kondisi fisik, yang seru adalah bagaimana dinamika manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Saya baru masuk dan berkenalan dengan sekolah itu hari Sabtu dimana menurut jadwal tidak ada jam mata pelajaran, hanya kegiatan untuk minat dan bakat. Kegiatan tersebut diisi dengan acara menggambar bebas bagi seluruh kelas. Jam sekolah seharusnya dimulai pukul 8 namun seingat saya hari itu, kelas-kelas masih terkunci dan baru dibuka kuncinya pukul 8.20-an. Pak X menjelaskan bahwa jadwal dimulai dan berakhirnya kelas sangat fleksibel. Sebelum otak sok tau sok disiplin saya muncul, Pak X menjelaskan bahwa banyak di antara anak-anak tersebut harus menaiki perahu (atau balapan –istilah lokal) dari desa seberang atau dari pedalaman sehingga anak-anak tersebut harus bergantung pada jadwal perahu yang mereka tumpangi atau keadaan perahu yang mereka tumpangi (bisa saja mogok atau memang tidak ada perahu, mana bisa sekolah?). Apabila pagi itu hujan dan ombak sedang besar, otomatis “peminat” sekolah hari itu berkurang drastis karena tidak bisa bersekolah. Jadi, ibarat rapat DPR, jadwal dimulainya sekolahku ini adalah ketika sudah memenuhi kuorum, bila masih sepi ya semakin tertundalah pelajaran dimulai. Sementara untuk jam pulang, tidak kalah uniknya. Pak X mengatakan bahwa paling banter pelajaran harus sudah diakhiri sekitar pukul 10.30 (kalau hitung-hitung-an saya, bila sehari 4 jam pelajaran, setidaknya pulang adalah sekitar pukul 11). Alasannya adalah “siswa yang sudah tidak kuat lagi otaknya dalam belajar” (kuote langsung dari Pak X). Beberapa anak bahkan secara voluntary keluar dari kelas untuk pulang bila sudah tidak mood lagi untuk belajar. Saya menunda memberikan pendapat/penilaian (bisa saja karena metoda belajar atau kebutuhan keluarga anak dalam mendukung orangtua, could be anything, jadi nanti saja kesimpulannya). Yang menarik adalah apabila ada hajatan desa, seperti acara pernikahan, waktu panen tambak, atau acara desa lainnya. Sekolah secara otomatis kehilangan “pelanggannya”. Sekolah sepi karena siswa-siswa menghadiri acara Desa tersebut. Guru pun tak bisa (belum bisa lebih tepatnya) melakukan apa pun karena acara-acara tersebut adalah tradisi desa. Lagi-lagi saya menunda penilaian (bisa jadi karena sekolah yang belum diprioritaskan, atau komunikasi sekolah dengan tokoh masyarakat belum ada, could be anything as well). Tidak banyak buku pelajaran di kelas, let alone perpustakaan. Pak X mengatakan bahwa lebih baik tidak ada buku cetak karena pasti akan dicorat-coret anak-anak. Hal lain yang menarik (supaya netral penggunaan bahasanya) adalah presensi guru. Guru secara resmi berjumlah tujuh orang, secara sekilas seharusnya cukup untuk mengurus kelas 1 sampai 6. Tetapi pada kenyataannya, seperti hari Sabtu itu, hanya dua orang guru yang hadir. Yang lainnya sedang berada di luar Desa (di Grogot, ibukota kabupaten) karena either sanak keluarga di sana atau memang banyak kebutuhan di luar Desa, seperti Pak Kepsek, misalnya, yang cukup direpotkan dengan kebutuhan administrasi ke sana kemari. Hanya untuk memberikan gambaran, Desa Labuangkalo terletak terpisah dari daratan utama Kalimantan Timur dengan ketersediaan kebutuhan hidup yang agak sulit dipenuhi (air, misalnya, cukup sulit). Ditambah dengan gaji dan fasilitas pas-pas-an, guru memiliki insentif yang sedikit untuk benar-benar full time berada di Labuangkalo. Jadi, pada praktiknya, hanya 2-3 guru yang biasanya hadir ketika pelajaran. Sistemnya dengan shift-shift-an dari satu ruang kelas dengan ruang kelas lainnya. Hal ini jugalah yang seringkali membuat warga masyarakat merasa kesal dengan guru-guru Labuangkalo karena kehadirannya yang buruk. Di sisi lain, saya paham kesulitan yang dihadapi guru-guru. Bahkan, pernah suatu ketika, Pak X mengatakan bahwa ia harus mengurus kelima kelas seorang diri. Dengan predikat seorang guru honorer yang keluarganya ditinggal di Blitar, pengkhianatan apakah yang lebih besar yang telah dilakukan republik ini pada pahlawannya? Masih banyak hal-hal lain yang dapat saya jelaskan mengenai sekolah ini. Anggapan masyarakat yang kerapkali sinis pada kerajinan guru honorer (kecurigaan karena kelak bila sudah diangkat menjadi PNS malah angkat kaki dari Labuangkalo), metode punishment yang masih cukup tradisional (dont ask me, bahkan tongkat pun mampir di atas meja), ekspektasi yang rendah pada kemampuan siswa baik dari guru ataupun dari orangtua, pendidikan yang memang belum dianggap berkorelasi dengan kesejahteraan, sampai pada praktik integritas yang masih menjadi tantangan. Beberapa cerita dari tulisan ini mungkin hanyalah lagu lama berputar kembali bagi beberapa dari Anda. Itulah mengapa saya tidak berminat untuk memperpanjang tantangan yang dihadapi kantorku SD 02 Tanjung Harapan ini. Saya hanya mencoba mengatakan bahwa mengalami dengan mata kepala sendiri yang namanya “tantangan dunia pendidikan” sungguh berbeda dengan membacanya dari cerita-cerita (termasuk cerita ini). Akan sangat mudah bagi Anda untuk menertawakan atau dengan tidak terhitungnya mengatakan “kok bisa ya?”. Akan tetapi, untuk saya, sekolah ini adalah ladang peluang, a land of opportunity. Satu-satunya keuntungan dari banyaknya permasalahan adalah Anda dapat memulai memperbaikinya dari mana saja. Dari metode belajar? Dari sumbangan infrastruktur? Dari pesangon guru? Dari ekspektasi masyarakat? Dari siswanya? Mana saja boleh,,,dipilih dipilih...Anda bisa mendoakan saya semoga sukses, atau you can join the forces.

Cerita Lainnya

Lihat Semua