MEMASANG PINTU TAMBAK 1.0.1. AND THE WORLD ECONOMY

Patrya Pratama 19 November 2010
Jadi, apakah yang terjadi saat pengajar Indonesia Mengajar baru ditempatkan di desa penempatannya dan mendapatkan bahwa SD tempatnya mengajar sedang libur selama satu minggu? Ia berubah menjadi pembelajar Indonesia Belajar di desa tersebut. Termasuk dengan mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat lokal. Untuk Labuangkalo, tepat di hari ketiga (hari Senin), alih-alih masuk sekolah, saya ikut serta membantu proses pemasangan pintu tambak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bertambak adalah salah satu mata pencaharian yang utama di Desa Labuangkalo. Jenis tambaknya bermacam-macam, ada kepiting, ikan, udang. Masing-masing jenis tangkapan diklasifikasikan lagi ke dalam beberapa jenis sesuai harganya nanti ketika dijual. Kepiting misalnya, kepiting CM adalah yang paling mahal (yang berwarna merah dan besar). Bila kepiting tersebut memiliki ketidaksempurnaan anggota tubuh (misalnya salah satu capitnya tidak utuh), maka ia tidak dihargai tinggi. Sekali menangkap, hasil tangkapan tambak tersebut setidaknya dapat memberikan penghasilan sekitar 3-5 juta rupiah (lebih tinggi dari Pengajar Muda! Hmm, apa ganti profesi saja? Hehe). Maka tidak heran, warga disini rela mengorbankan modal hingga puluhan juta rupiah untuk berinvestasi membangun tambak. Sebelum terpesona oleh potensi ekonomi tambak di Labuangkalo (konon katanya Labuangkalo sebenarnya adalah daerah cagar, bukan untuk pemukiman (o ow someone’s in trouble))), what fascinates me lebih dari yang lainnya adalah kegotongroyongan dan kekuatan fisik warga dalam membangun tambak tersebut. Tambak–tambak tersebut terletak di bagian dalam desa yang daratan dan masing-masing tambak luasnya bukan main, sekitar 10 hektar rata-rata. Prosesnya pun panjang. Pertama-tama, pemilik tambak menyewa ekskavator untuk menggali lokasi tambak yang menyerupai parit besar di sepanjang sisi-sisi lokasi tambak dan sekaligus menghubungkannya dengan laut (supaya air laut dapat masuk dan keluar tambak ketika pasang). Pepohonan yang berada di dalam sisi-sisi tambak tersebut lama-kelamaan akan mati karena keasaman air tanahnya menjadi terganggu akibat genangan air laut (I wonder if this tambak practice is within the law or not). Banyak petambak yang membakar pepohonan tersebut agar cepat prosesnya (haze exporter too?) karena lama-kelamaan seluruh area tersebut menjadi tambak. Lalu tibalah hari dimana pemasangan pintu tambak tersebut tiba. Pintu tambak tersebut diperlukan untuk mengontrol masuk dan keluarnya air dari sumber air laut, yang otomatis juga sumber hewan-hewan tangkapan. Pada awalnya, saya yang diajak oleh Pak Wahyu (salah satu guru) mengira bahwa pemasangan tambak adalah hal yang sederhana dan dilakukan oleh sedikit orang saja (bahkan kukira Pak Wahyu seorang yang memasang). Pikiran itu pun lenyap saat ternyata setidaknya 15 orang telah berkumpul di rumah salah satu warga yang membantu, ada yang muda dan ada yang tua (50-50). Kita semua dijamu dengan sarapan yang cukup mengenyangkan (setelah dipikir, ini mirip dengan sapi yang digendutkan sebelum diperah) sebelum berangkat menuju lokasi tambak dengan balapan. Pak Wahyu mengatakan pada saya untuk berpakaian sederhana dan tidak mengenakan sandal. Saya tetap mengenakan sandal sampai tiba di lokasi dan menyadari bahwa sandal tidak akan banyak berguna. Lokasi dipenuhi dengan tanah berlumpur sehingga sandal capit swallow akan dijamin langsung putus. Saya pikir, oh lord this is going to be really messy. Lalu pekerjaan pun dimulai. Pertama, kita turun ke parit berlumpur untuk mengukur dan menandai lokasi dipasangnya pintu. Patok-patok pun dibuat. Saya yang sempat turun namun tidak mengerti pun kembali naik ke atas (daripada membuat ribet). Pada detik ini, separuh kaki sudah tidak berbentuk, penuh dengan lumpur karena tanahnya masih basah. Lalu perlahan-lahan pintu pun dipasang (satu pintu tambak itu terdiri dari 5 kusen pintu yang super besar, sekitar 2x6 meter). Saya sendiri lebih disuruh mengangkat papan-papan berukuran 30 cm x 5-6 meter yang akan dipasang sebagai dinding pintu tambak. Setelah semuanya terpasang, kita berdiri di atasnya dan berfungsi sebagai palu supaya pintu tersebut tertanam di tanah dengan kokoh (bagian favorit saya). Terakhir, kami menumpuk tanah-tanah berlumpur untuk memenuhi dinding luar kiri dan kanan pintu tambak. Tanah tersebut diratakan dengan kaki. Yaiks! What fascinates me the most adalah kerja tersebut dilakukan secara gotong royong. Ada warga yang dari Sunda, Bugis, Bajau, Jawa, Pasir, dan Banjar. Kita semua sering meledek satu sama lain, terkadang dengan bahasa masing-masing bila tidak ingin ketahuan. Ibu Reda seringkali berbicara dalam bahasa Sunda bila ingin mengumpat dan memberitahu saya untuk diam saja, sambil tertawa. Walaupun tambak tersebut dimiliki oleh salah seorang dari kami, para tetangga turut membantu membangun tambak. Sang pemilik tambak menyediakan makan pagi, sarapan, minum, dan snack, selain juga turut terjun ke lapangan. Ibu-ibu dan anak-anak pun turut turun ke lokasi (walaupun berada di pinggirannya saja, dengan membangun tenda kecil sederhana, -saya kadang ikut juga,hehe). Rokok adalah insentif yang selalu harus ada untuk menjaga semangat para lelaki untuk bekerja. Nanti ketika saat panen tiba, nampaknya para tetangga yang membantu tersebut akan mendapatkan juga jatah hasil panen. Jadi, ini semacam sistem memberi dan menerima. And I am telling you, Tuhan, orang-orang ini kuat sekali fisiknya! Mengangkat balok-balok saja mereka sampai ditumpuk 4, sementara saya paling banter 3. Mereka juga tidak sungkan-sungkan untuk “bersatu” dengan lumpur (berendam di lumpur sudah seperti di kolam renang). Saya sendiri masih suka ragu-ragu untuk terjun seperti itu,,, aah anak kota memang, malu juga saya. Seluruh pekerjaan selesai sekitar pukul 3 sore. Ketika sudah bersih-bersih, tidak terasa lecet-lecet, memar-memar di sepanjang kaki dan tangan. Dahi dan pundak terbakar sinar matahari. Acara hari itu seperti pengukuhan inisiasi untuk menjadi warga Labuangkalo sebenarnya. Ber-HI sedikit Dari pengalaman saya ini, ada benarnya juga kata-kata dari ekonom Paul Krugman bahwa ekonomi Asia lebih banyak “perspirasi” (keringat) daripada inspirasi (berfikir). Bertambak yang dilakukan oleh masyarakat Labuangkalo memang menguntungkan secara ekonomi dan menunjukkan semangat gotong royong tradisional yang luar biasa, tetapi menurut saya itu belum cukup. Hasil-hasil tangkapan tambak tersebut dibeli oleh orang-orang di Tanah Grogot yang kemudian mendistribusikannya ke pabrik-pabrik selain dijual di pasar. Tidak ada value adding yang dilakukan. Padahal bila warga Labuangkalo paham mengenai pengolahan, pemasukan ekonomi mereka –dan desa- akan jauh lebih tinggi. Praktik gotong-royong secara tradisional saja menurut saya tidak cukup lagi untuk bertahan di dunia yang amat kompetitif. Proses penjualan bahan mentah seperti ini amat statis dan berpotensi tereksploitasi oleh pembeli (a..k.a. perusahaan) karena dapat saja mereka menekan harga belinya atau mengalihkan sumber bahan mentah mereka. So? Hanya pendidikan yang mampu memotong rantai tersebut. Warga Labuangkalo kelak harus memahami bahwa keasyikan bekerja di lapangan berlumpur-lumpur dan berpanas-panas ria akan jauh lebih nikmat apabila ada di antara mereka yang duduk di dalam pabrik mengolah hasil tangkapan mereka dan duduk di atas meja untuk memikirkan sendiri penjualan produknya. Until that moment comes, we can only have fun at the tambak not the world.

Cerita Lainnya

Lihat Semua