GOOD FOOD, GOOD HEAVEN, GOOD DEAL

Patrya Pratama 19 November 2010
Pengalaman idul adha di Labuangkalo dialami juga. Teringat ucapan Abah Iwan Abdurrahman bahwa mengajar di desa terpencil bukanlah pengorbanan, tetapi kehormatan. Should we change idul kurban menjadi Idul Kehormatan? Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail juga pasti tidak akan menyebut perbuatan mereka sebagai pengorbanan karena it was their honor to serve their God, no? Anyways,,, Solat ied dimulai pukul 7 dengan jamaah yang lumayan banyak (satu mesjid terisi penuh). Para pemuda mengobrol di luar alih-alih takbiran, i’d do the same normally, tetapi tidak kali ini. Saya sudah menyiapkan diri bahwa lebaran kali ini tidak akan berlimpah makanan ketupat dengan opor ayam, sambel goreng daging, emping, sama sate kambing seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, kenyataannya saya tetap diberi rejeki untuk makan berlimpah, dan sumpah enak! Setelah solat ied, hampir semua warga kampung menuju rumah Haji Tamim (rumah termewah di Labuang town, seorang saudagar). Di sana kami disiguhi hidangan berupa semur daging (tidak tahu dimasak model apa, tetapi enaaaak beneran) plus mie goreng. Saya bahkan terlalu terpesona dengan makanan sampai-sampai lupa menanyakan yang manakah sebenarnya Haji Tamim sang Tuan Rumah. Pak Pudin (imam mesjid sekaligus bendahara Desa yang cukup ramah dan baik dengan saya) memperkenalkan saya setelah perut saya penuh terisi. Agak malu juga...whattaheck. Setelah pulang ke rumah. Pak Wahyu memberitahu bahwa kakaknya beliau (yang juga seorang bidan desa) mengajak untuk ke beberapa rumah untuk makan. Secara total ada sekitar 4-5 rumah yang kami kunjungi seharian itu. Hidangan setiap rumah selalu identik: buras (alih-alih ketupat), ayam kari, ayam bumbu pedas, ikan tongkol goreng, dan beras ketan merah yang dibuat bulat seperti es krim sebagai penutup. Tidak ada sambal goreng daging ataupun opor ayam. Pak Wahyu mengatakan bahwa hidangan tersebut selalu sama setiap kali lebaran haji maupun idul fitri. It was all good food. Keesokan harinya, saya segera mendapatkan hipotesis baru mengenai keterkaitan antara hidangan lezat dengan peristiwa religius. Setelah acara idul adha di mana saya mendapatkan makanan enak berlimpah secara cuma-Cuma. Malam kemarin saya diajak untuk menghadiri yasinan salah seorang warga desa yang salahsatu anggota keluarganya sedang haji (tahun ini ada 3 orang warga Labuang Town yang sedang ibadah haji). Setelah membaca yasin ( I seriously did, incase you wonder), hidangan-hidangan pun disajikan. Ada ketan merah, bubur kacang hijau, dan cendol (yes, cendol!). Setelah pulang, Pak Wahyu mengajak ke yasinan yang lain, mendapatkan hidangan lagi (menu identik, janjian apa ya?). Pengalaman serupa pun saya alami di hari kedua saya di Labuangkalo ketika Pak Maskur mengajak saya untuk datang ke 40 hari-an wafatnya salah seorang warga, another feast. Sesuai peribahasa: sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sekali kegiatan religius, dua-tiga lauk plus berkenalan dengan banyak tokoh masyarakat plus khatam surat yasin pun terlampui. Indeed, good fortunes come most of the time through showing up.

Cerita Lainnya

Lihat Semua