Kalau Tak Diharap Baik, Mengapa Berlaku Baik?

Patrya Pratama 30 Juli 2011
Terkadang lucu juga kalau kita, orang yang terbiasa dengan kota namun sedang berada di daerah yang –with all due respect- underdeveloped alias terbelakang, lalu melihat orang dari kota menilai daerah yang sedang saya tempati. Separuh dari saya memang masih anak Bogor atau anak Depok, tetapi apa yang menjelaskan perasaan dongkol saat satu orang kota talks very low tentang desa saya. Ya benar, saya memang seringkali mengatakan kekurangan-kekurangan desa saya, tetapi ada perasaan aneh saat ada orang lain yang mengatakannya. Entah kenapa saya merasa tersinggung. Mungkin I grew some sense of belonging pada daerah ini. Rasa tersinggung ini muncul dalam beberapa kesempatan. Pengalaman terakhir adalah bila ada seorang pejabat dari seberang sama datang berkunjung, entah itu pejabat pendidikan atau siapa saja. Saat proses akreditasi misalnya. Nuansa yang saya rasakan dari awal sekali diumumkan bahwa SD kami akan diakreditasi adalah sepertinya tidak ada yang mengharapkan kami do well. Pernyataan-pernyataan seperti “ya kami maklum aja bila di pesisir, .........” selalu mengawali setiap kalimat. Nuansa seperti ini sungguh tidak membangun, baik bagi pengambil kebijakan yang sedang berkunjung ataupun bagi guru-guru disini. Ini juga menohok bagi saya karena saya berharap banyak pada diri saya sendiri untuk berbuat sesuatu di SD sini. Bagi pejabat yang berkunjung, mungkin pemakluman tersebut didasari pada dukungan yang telah mereka berikan pada SD kami. Logikanya, ketika Anda berinvestasi sesuatu yang cukup besar dan penting, Anda akan berharap the best outcome dari investasi tersebut. Ketika saya mendatangkan ratusan buku dari Bogor, Jakarta, dan bahkan ada yang dari Singapura, saya berharap banyak pada perpustakaan –albeit temporary- SD saya dikunjungi banyak siswa dan dikelola dengan baik. Tetapi ketika Anda tidak begitu banyak mencurahkan pikiran, waktu dan tenaga –let alone money- hingga suatu level yang “menguras”, well, serangkaian pemakluman pun dikeluarkan agar Anda tetap merasa baik tentang diri sendiri. Jadi ketika Departemen Pendidikan dont send the best infrastructure, put the best teachers, mereka tidak akan berharap apa-apa. Justru ketika kita menunjukkan bahwa kita mampu membangun perpustakaan dengan ensiklopedi Disney, ada kegiatan ekskul yang aktif, dan mengundang orangtua saat pembagian rapor, mereka justru kaget. Jadi apa yang sebenarnya diharapkan Dinas Pendidikan pada SD saya? Yang lebih berbahaya adalah pemakluman tersebut menular pada guru-guru sendiri. Banyak diantara kami yang sering memaklumi keterbatasan diri sendiri. Alih-alih mencari acar agar tetap bisa maju seperti SD-SD di kota, they settle. Tidak masalah ketika sekolah tidak mengikuti jadual, tidak ada pembagian rapor pada orangtua, tidak melakukan upacara (atau hal-hal lain yang secara umum adalah syarat berjalannya sekolahsecara normal). Ketika pemimpin-pemimpin sekolah kami di kota atau ibukota sana mulai memberikan pemakluman pada performa rendah karena mereka tidak/belum (tidak ada bedanya untuk saya) mengalokasikan sumber daya yang memadai, pemakluman meluas diterima pada pelaksana di lapangan untuk alasan yang serupa. Keterpencilan sekolah kami, bila memang mau dikatakan terpencil- adalah akibat tindakan manusia. Keterpencilan adalah state of mind, yang terbangun, bukan terberi. Ia menular, dan hanya pikiran tercerahkan adalah penangkalnya.

Cerita Lainnya

Lihat Semua