Bagaimana Anda Membuat Seseorang atau Komunitas Menginginkan Pendidikan?

Patrya Pratama 1 Agustus 2011
Salah satu tantangan terbesar dunia pendidikan Indonesia yang saya jumpai sebagai Pengajar Muda di Desa Labuangkallo, Kab.Paser, Kaltim adalah –klasik- tidak dianggap pentingnya pendidikan oleh masyarakat kebanyakan. Saya menarik kesimpulan ini setelah mengamati beberapa hal dan terlibat di dalamnya tentu saja. Program sekolah gratis sudah diterapkan di desa saya, yang membuat pengeluaran rutin orang tua siswa untuk anaknya hanyalah sebatas keperluan belajar sehari-hari seperti buku tulis, pensil/pulpen, penghapus, penggaris dan sejenisnya, tas sekolah, pakaian sekolah (ini juga tidak saya tekankan asal anak datang ke sekolah), serta pengeluaran lain yang minor. Akan tetapi, masyarakat desa tetap tidak memiliki kepedulian terhadap pendidikan yang terlihat dari beberapa hal. Pertama, tingginya tingkat bolos sekolah anak-anak yang seringkali dengan sepengetahuan orang tua. Orang tua tidak memiliki semacam keharusan agar anaknya masuk sekolah. Kedua, kepedulian terhadap sekolah yang hampir tidak ada. Bila bagi rapor tiba, tidak ada orang tua yang mau datang ke sekolah sekalipun sudah diundang. Ketiga, prinsip bahwa prestasi belajar anaknya benar-benar tanggung jawab guru, padahal peran serta orang tua di rumah dan lingkungan memegang peranan cukup penting terhadap prestasi siswa-siswinya. Keempat, asal anak-anaknya bisa baca-tulis-hitung minimal, orang tua sudah merasa puas akan “kebergunaan” sekolah sehingga sering tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan anaknya dari sekolah. Mengapa mereka tidak menginginkan pendidikan? Hal ini membuat saya melihat ke diri saya sendiri. Saya –ketika detik ini- ingin melanjutkan S2 dan S3. Saya ingin S2 spesialisasi manajemen pendidikan internasional dan inginnya Ph.D juga dalam bidang yang sama. Saya ingin sekali membuat Hubungan Internasional relevan dan dapat berkontribusi pada dunia pendidikan yang kini saya geluti. Saya ingin belajar setinggi-tingginya karena juga untuk keamanan finansial juga, karier juga. Saya membayangkan diri saya memperjuangkan anak-anak seperti Riani –murid kelas 3 saya yang hampir putus sekolah bukan karena kurang dana, tetapi karena tidak ada dorongan dari guru ataupun dari orangtuanya agar dia tetap masuk sekolah- dalam forum-forum atau program-program internasional. Pada intinya saya melihat manfaat yang saya raih dengan pendidikan yang ingin/sedang saya jalankan. Pertanyaan seharga Jutaan Rupiah-nya adalah: mengapa masyarakat Labuangkallo tidak membayangkan hal-hal yangs aya bayangkan? Masyarakat Labuangkallo bukankah masyarakat yang miskin. Setiap rumah hampir selalu memiliki televisi dan orang-orang ber-HP ria. Belum ada orang kelaparan di desa ini. Mereka menginvestasikan banyak uang untuk acara perkawinan, pergi naik haji, HP, pulsa, baju, sepatu. Mengapa mereka tidak menginvestasikan sedikit lebih banyak untuk pendidikan? Seseorang menjelaskan kepada saya bahwa mereka tidak melihat “whats in education for them”? Hasil dari pendidikan memang tidak seperti makan cabai yang langsung terasa pedasnya, atau seperti membayar biduan acara pernikahan yang langsung terlihat goyangannya (atau plus-plus yang lain). Hasil dari pendidikan secara dangkal terlihat dalam pilihan-pilihan pekerjaan yang mungkin siswa akan raih dalam hidupnya kelak, atau secara lebih dalam terlihat dalam bagaimana ia menghadapi masalah-masalah sehari-hari dalam hidupnya. Pendidikan tidak terlihat relevan bagi masyarakat saya. Saya jadi ingat seorang supir colt jurusan Grogot (ibukota kabupaten Paser)-Lori (desa pelabuhan terakhir sebelum menyeberang laut ke Labuangkallo) yang mengatakan bahwa pelajaran matematika yang memakai “tanda-tanda kurung” tidak ada gunanya dan membuat sulit saja. Saya dan teman saya menjelaskan bahwa –lebih didasari karena pernyataannya menohok kita sebagai guru- ada gunanya! Yaitu untuk menghitung penghasilan dari penumpang colt. Bila ada 3 mobil colt dengan penumpang masing-masing berisi 12, 14, dan 13 penumpang  dengan masing-masing penumpang membayar Rp 25.000 maka tanda-tanda kurung tersebut berguna untuk menghitung perkalian dan penjumlahan secara campuran untuk menghitung penghasilan yang didapat dia hari itu. Percakapan juga berlanjut bahwa persentasi juga berguna untuk menghitung bagian dia dan bos-nya dari hasil penumpang. Indonesia Mengajar ingin menjadikan para pengajar muda sebagai jawaban “whats in education for them” supaya masyarakat Labuangkallo melihat saya sebagai perwujudan anak-anak mereka kelak ketika besar jika mereka terus bersekolah. Sepertinya saya belum bisa menunjukkan itu. Saya lahir dan besar di jawa dengan latar belakang orang tua dan ekonomi yang sangat tidak kekurangan. Instead, i am exactly the kind of person that these people think their kids are inherently NOT. Saya ingin menjadikan sekolah ini relevan bagi masyarakat Labuangkallo. Anda juga bisa. Dalam 3 bulan terakhir ini, fokus saya adalah mengadvokasi hal ini. Saya akan mendata hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan orangtua dan siswa untuk dapat melanjutkan setidaknya ke smp. Hal-hal dari mulai mengatur tempat tinggal, kisaran biaya yang harus dikeluarkan, pakaian, baju, dan lain-lain akan dipaparkan sejak dini. Sementara mengenai pembentukan raison d'etre nya untuk bersekolah sendiri, saya akan menunjukkan bahwa adanya beberapa peluang pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan tinggi untuk mengabdi di desa, seperti sekdes, da'i pembangunan, perawat, guru, atau pekerja di perkebunan sawit terdekat. Semua hal tersebut menawarkan pendapatan yang tinggi dan kenaikan level kehidupan yang tidak lagi bergantung pada hasil laut semata. Pekerjaan-pekerjaan tersebut juga diharapkan membuka mata masyarakat bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi masih bisa tetap berada di desa (mengingat banyaknya orang "sukses" Labuangkallo yang enggan tinggal di desa). Selain menyodorkan data-data tersebut, saya juga akan mengundang orang-orang sukses yang berpendidikan tinggi dari Labuangkallo, seperti seorang Haji yang sampai meraih gelar s3 di Universitas Mulawarman. Diharapkan dengan melihat orang-orang tersebut, masyarakat bisa melihat visi anak-anak mereka seperti beliau kelak di kemudian hari.Upaya lanjut

Cerita Lainnya

Lihat Semua