info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bersekolahlah Labuangkallo

Patrya Pratama 30 Juli 2011
Secara umum, 100 persen masyarakat Labuangkallo adalah nelayan, atau nelayan-related kind of business. Uraian berikut adalah gambaran singkat ekonomi dunia per-nelayan-an yang saya pahami dari masyarakat Labuangkallo. Katakanlah, Anda adalah seorang pendatang baru Labuangkallo dan memutuskan untuk memulai “karir” sebagai nelayan. Hal pertama yang Anda butuhkan adalah sebuah kapal nelayan dengan mesinnya, julu (kayu pancang untuk memasang jaring ikan), jaring ikan, bbm, dan sedikit makanan untuk keluarga Anda selama pencarian ikan dilakukan. Anda pergi menemui “Punggawa”, sang Big-boss nelayan. Para nelayan mendapatkan “modal” awal berupa kapal, julu, dan jaring, yang harus dibayar dengan pembagian 50-50 dari hasil tangkapan saat sudah melaut nanti. Keadaan baik-baik saja sampai sesuatu terjadi seperti bbm langka, Anda jatuh sakit, atau keperluan-keperluan lainnya yang mendisrupsi melaut Anda. Anda akan meminta “kredit” dari Punggawa Anda yang menambah panjang daftar hutang Anda. Hubungan antara Punggawa dengan para nelayan-nelayan inilah yang menarik untuk dicermati. Katakanlah Anda telah menjadi nelayan untuk beberapa tahun dan ingin sekadar mengecek berapa sisa hutang Anda pada Punggawa, Anda tidak akan dikasi tahu kecuali Anda ingin benar-benar melunasinya. Paling-paling Anda keluar dari ruang “kantor” Punggawa mendumel, but nothing you can do about it. Nelayan tidak pernah mencatat sendiri jumlah hutang dan setoran-setorannya kepada Punggawa (antara tidak mau atau tidak mampu karena buta huruf atau tidak bisa menghitung atau ketelatenan mencatat). Kebanyakan nelayan bahkan sudah “hidup” dengan hutang di mana “melunasi hutang” punggawa tidak termasuk ke dalam agenda hidup mereka lagi. Dan ketika katakanlah, Anda sudah menjadi nelayan sang Punggawa selama 8 bulan dan (hypothetically, karena Anda tidak akan pernah tahu kapan cicilan hutang Anda pada Punggawa akan lunas) 2 bulan lagi akan lunas, namun Anda memilih tidak melaut karena mungkin Anda sakit, atau ada pekerjaan lain yang butuh perhatian (seperti panen tambak atau kegiatan lainnya), Punggawa Anda akan dapat saja mengambil seluruh modal yang pernah ia berikan kepada Anda (kapal, jaring, dan julu), seakan-akan cicilan Anda 8 bulan sebelumnya melalui kerja keras tidak pernah terjadi. Sucks, you think? Live it. Sekarang masalah harga. Bila Anda masih memiliki hutang kepada Punggawa, hasil tangkapan laut Anda akan dihargai lebih murah ketimbang hasil tangkapan nelayan yang sudah bebas dari hutang Punggawa. Hal ini adalah salah satu strategi Punggawa agar the debt-freed fisherman mau menjual hasil tangkapannya kepada dirinya. Sementara bagi nelayan yang masih berhutang, well, you dont have much choice buddy, sell the damn fish or i’ll take ur boat. Proses perhutangan ini pun berlaku untuk seluruh aktivitas yang dilakukan keluarga Anda. Bila Anda berhutang mie goreng atau telur (atau apapun) pada warung punggawa, semuanya di kreditkan pada hutang nelayan Bapaknya. Bila anak Anda membantu memukul udang kering, maka hasil kerjanya akan mendebit hutang Bapaknya. Demikian seterusnya. Mengapa Sekolah Sekolah memiliki posisi strategis karena ia satu-satunya jalan keluar memotong rantai ketergantungan tersebut. Pun ketika seorang anak putus sekolah ketika tamat SD, ia dapat belajar menabung, membaca, menulis dan kecakapan hidup yang dibutuhkan untuk melihat pilihan yang dapat ia jalani. Dengan pembiasaan mencatat dan menghemat serta menghitung, ia diharapkan dapat lebih bertanggung jawab pada setiap pilihan hidupnya. Lebih baik lagi bila seorang anak melanjutkan pendidikan hingga SMP, SMA, atau bahkan kuliah. Hal tersebut secara otomatis memberikan kesempatan yang lebih besar bagi anak tersebut untuk membebaskan dirinya dari praktik hutang-berhutang, atau bahkan dengan pekerjaan yang lebih mungkin ia dapatkan, membebaskan hutang-hutang keluarganya. Mungkin terdengar merendahkan atau egois untuk mengatakan bahwa saya tidak ingin anak-anak yang saya ajar untuk kembali menjadi nelayan. Siapa yang tidak ingin murid didiknya suatu hari ada yang menjadi dokter, bidan, polisi atau tentara. Namun, saya menyadari bahwa setidaknya, bila ia menjadi nelayan seperti orang tuanya, ia menjadi nelayan yang lebih baik dalam mengelola keuangannya, yang tidak semudah membalikan telapak tangan ketika berhutang, dan yang mengusahakan segala cara agar putra-putrinya kelak menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Cerita Lainnya

Lihat Semua