info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bagi Rapor

Patrya Pratama 30 Juli 2011
Kadang-kadang penghambat kemajuan itu ya pikiran di dalam kepala sendiri. Sudah lumrah di kalangan masyarakat Desa Labuangkallo bahwa adalah sesuatu hal yang tidak mungkin bagi sekolah untuk mendatangkan orang tua ke sekolah pada saat pembagian rapor kenaikan kelas. Ya, berbeda dengan di kota-kota di mana orang tua selalu antusias untuk mengambil laporan hasil belajar anaknya, di Labuangkallo antusiasme tersebut hampir tidak pernah ada, or so they believed. Sampai pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk give it another try. Hanya dengan inisiatif sederhana beberapa orang guru, dan sedikit dorongan bahwa hal ini layak dicoba lagi (ingat, ini bukanlah hal baru, melainkan sekadar melakukan sesuatu hal yang sudah seharusnya dilakukan: mengundang orangtua saat bagi rapor), pembagian rapor semester genap 2010-2011 kemarin pun mengundang orang tua/wali murid. Kami mengantisipasi kemungkinan bahwa warga Labuangkallo mungkin agak malas untuk datang ke sekolah sekadar mengambil rapor anaknya, jadi kami memutuskan bahwa acara tersebut akan disatupadukan dengan perpisahan siswa kelas 6 yang baru saja lulus dan peringatan Isra Mi’raj yang sebenarnya baru jatuh sekitar 2 minggu kemudian. Alasan kami adalah bahwa dengan adanya acara keagamaan desa, para pembesar-pembesar desa menjadi lebih suportif untuk hadir karena acara tersebut bersifat religius. Untuk menambah bobot acara, kami mengundang Bapak Da’i Pembangunan untuk turut hadir memberi ceramah agama tentang Isra Mi’raj (walaupun sudah diberi pesan sponsor bahwa isi ceramah akan berisi ajakan untuk tetap sekolah). Jauh-jauh hari kami memberitahu beberapa tokoh desa mengenai acara tersebut. Bahkan ketika dalam masa persiapan ini pun, skeptis banyak ditujukan kepada kami. Salah satu pengurus Mesjid –tokoh masyarakat- bahkan mengingatkan agar kami tidak kaget bila yang hadir tidak lebih dari 10 orang. Kami pun semakin giat berusaha dengan mengantarkan sendiri undangan untuk orangtua –alih-alih menitipkannya kepada murid. Mendapat undangan seperti itu sepertinya sesuatu hal yang hampir tidak pernah dialami warga Labuangkallo, sehingga walaupun mereka tidak dapat membacanya, hal tersebut memberi kesan bahwa acara tersebut cukup penting untuk dihadiri. Keterbatasan penyelenggaraan acara pun ya terjadi. Sekolah, misalnya, tidak memiliki sound system. Kita tidak pula memiliki aula yang lengkap dengan lcd-proyektor. Kami pun meminjam semua peralatan tersebut dari SD desa sebelah yang berarti mengambil risiko membawa peralatan elektronik dengan perahu nelayan dengan ombak yang dapat membuatnya basah. None of these seemed to be a problem ketika kita memang sudah niat menyelenggarakan acara. Hari-H pun tiba. Kami ingat bahwa pada saat itu adalah musim nyorong (pasang laut) sehingga banyak nelayan sedang ke laut mencari ikan. Acara bagi rapor-perpisahan-isra mi’raj yang diadakan jam 9.30 harus tepat selesai sebelum jam 1 sebelum para suami pulang dari melaut. Jadilah acara tersebut dipenuhi oleh mayoritas ibu-ibu. Saya cukup bangga mengatakan bahwa 100% dari orangtua murid hadir pada hari itu. Ruangan pun penuh sesak. Sempat terjadi beberapa peristiwa lucu seperti ibu-ibu yang tidak mengerti (namun ingin) membubuhkan tanda tangan absensi orangtua murid karena tidak pernah punya tanda tangan (biasanya cap jempol), atau seorang ibu yang ingin juga mendapatkan rapor anaknya walaupun anaknya sudah 3 tahun tidak sekolah (mungkin karena tidak mengerti konsep rapor=laporan penilaian belajar satu semester terakhir). Acara tersebut pun menjadi satu-satunya acara di mana para orangtua melihat anak-anaknya tampil membawakan paduan suara, membaca tilawah Qur’an, membaca puisi, mendapatkan penghargaan, dll. In short, the day went great. Jadi kita membuktikan spektisme itu mitos. Kita membuktikan bahwa orangtua Labuangkallo tidak peduli anak-anaknya di sekolah sebagai mitos. Kita membuktikan bahwa masyarakat tidak peduli pada sekolah sebagai mitos. Kita juga membuktikan bahwa ada acara lain selain dangdutan, kawinan, atau panen raya tambak yang mengahdirkan hampir seluruh warga desa dalam suatu tempat. The care, the attention is all there, ready to be exploited by next initiatives.  Realitas itu memang mendarat hanya sejauh pikiran kita mampu pergi.

Cerita Lainnya

Lihat Semua